Selasa, 07 Januari 2014

Prinsip motivasi dalam model kognitif dan teori motivasi akademik



PENDAHULUAN
1.        LATAR BELAKANG
Model kemampuan kognitif berasal dari pikiran orang-orang yang telah berpikir dan bercermin pada mereka. Model ini muncul dari pengalaman unik dan pelatihan seseorang. Karena itu mereka dilahirkan sebagai metode empiris dari observasi dan praktek serta hasil percobaan ilmiah. Kemampuan kognitif yang paling penting adalah diklarifikasikan di tingkat tiga (keterampilan motoric perspektual), tingkat empat (perkembangan bahasa), dan tingkat lima (kemampuan konseptual). Gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi atau pengetahuan, sikap terhadap informasi atau pengetahuan, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan belajar.
Motivasi adalah perilaku yang ingin dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat mendorong dan mengarahkan keberhasilan seseorang. Motivasi juga dapat diartikan sebagai kemampuan kita untuk memotivasi diri kita tanpa memerlukan bantuan orang lain. Memotivasi diri adalah proses menghilangkan faktor yang melemahkan kita. Model kognitif dan teori motivasi akademik mengidentifikasi disposisi individual untuk berjuang meraih sukses atau untuk menghindari kegagalan sebagai faktor-faktor motivasi utama. Jika motif untuk sukses pada diri siswa cukup tinggi, dia akan melakukan tugas-tugas untuk berprestas. Tetapi, jika disposisi untuk menghindari kegagalan tinggi, siswa akan menghindari tugas dengan cara menunda dengan cara lain. Model Kognitif dan Teori Motivasi Akademik berpengaruh terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan siswa dalam beraktivitas yang berkaitan dengan prestasi. Berkaitan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul makalah yaitu “Model Kognitif dan Teori Motivasi Akademik” yang diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan suatu pedoman pendidikan yang dapat menyongsong kemajuan.




2.        RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
a.         Apa saja prinsip motivasi dalam model kognitif dan teori motivasi akademik?
b.         Bagaimana prinsip pembelajaran dalam model kognitif dan teori motivasi akademik?
c.         Bagaimana aplikasi pendidikan model kognitif dan teori motivasi akademik?
3.        TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sesuai dengan latar belakang yang penulis paparkan di atas adalah sebagai berikut :
a.         Mengetahui dan memahami prinsip motivasi dalam model kognitif dan teori motivasi akademik
b.         Mengetahui dan memahami prinsip pembelajaran dalam model kognitif dan teori motivasi akademik
c.         Mengetahui dan memahami aplikasi pendidikan model kognitif dan teori motivasi akademik














PEMBAHASAN

1.        PRINSIP MOTIVASI
a.        Asumsi Dasar
Pendekatan utama untuk analisis motivasi memiliki tiga asumsi. Pertama, motivasi individual adalah hasil dari interaksi antara faktor lingkungan dengan karakteristik tertentu dari anak (Wiegfield & Eccles, 2002b) (Lihat Tabel 1). Di antaranya adalah norma sosial, catatan kinerja orang lain (Weiner, 1974a), reaksi afektif dari guru terhadap kesuksesan dan kegagalan siswa (Weiner, Graham, Taylor, & Meyer, 1983), jenis tujuan dan struktur kelas (Ames, 1992b), sejarah prestasi anak (Weiner, 1985b, Wigfield & Eccles, 2002a), dan keyakinan mereka tentang sifat dari kemampuan (Dweck, 2002). Kedua, pemelajar adalah pemroses informasi yang aktif.  Ketiga, terkait dengan asumsi pertama, adalah bahwa motif, kebutuhan atau tujuan siswa adalah pengetahuan eksplisit. Ini berarti siswa dapat memikirkan keyakinan ini dan mengkomunikasikannya kepada orang lain (Murphy & Alexander, 2000, h. 38).
Tabel 1
Asumsi Model Motivasi dan Teori Atribusi
Asumsi
Model atau Teori
1.      Motivasi seseorang berkembang melalui interaksi kompleks dari faktor lingkungan dengan faktor di dalam diri anak.
Model ekspektasi nilai
Model orientasi tujuan
Teori atribusi
2.      Pemelajar adalah pemroses informasi yang aktif.
Sama seperti di atas
3.      Motif, kebutuhan, atau tujuan pemelajar merupakan informasi eksplisit.
Sama seperti di atas
Selain asumsi umum, setiap pandangan tentang motivasi tertentu juga memuat asumsi yang secara spesifik relavan dengan perspektif itu. Misalnya, model berorientasi tujuan memfokus pada peran motivasional dari tujuan yang berkaitan dengan prestasi siswa. Asumsi dari salah satu pendapat orientasi tujuan adalah bahwa orientasi tujuan kelas akan mempengaruhi orientasi tujuan pribadi siswa (Ames, 1992b). Yakni, ketika orientasi kelas adalah penguasaan dan aktivitas kelas fokus pada pengembangan penguasaan keterampilan dan kapabilita, maka siswa cenderung akan menganut orientasi untuk menguasai tersebut.
b.        Komponen Proses Motivasi
Tiga pendekatan untuk studi motivasi dalam latar yang berkaitan dengan prestasi adalah:
1)        Model Ekspektasi Nilai
Model Ekspektasi nilai ini adalah perluasan dari model Atkinson (1958), yang mendefinisikan ekspektasi dan nilai sebagai konstruk motivasional. Berbeda dengan model Atkinson, versi ini memandang ekspektasi dan nilai sebagai kognitif ketimbang motivasional (Wigfield & Eccles, 1992, h. 278-279). Ini mengacu pada pentingnya melakukan yang terbaik dalam bidang atau pelajaran tertentu. Misalnya aljabar mungkin diperlukan untuk masuk perguruan tinggi dan karenanya memiliki nilai pencapaian yang tinggi.
Pilihan, kegigihan, tingkat usaha, keterlibatan kognitif, dan kinerja aktual merupakan lima prilaku yang terkait prestasi yang dipengaruhi oleh proses motivasional. Dua keyakinan motivasional utama, nilai tugas dan ekspektasi kesuksesan, secara langsung ditentukan dengan keyakinan yang terkait prestasi (Lihat Gambar 1)













Gambar 1. Ringkasan Komponen Utama Dari Model Ekspektasi Nilai
 
 














Nilai tugas (domain) dan nilai ekspektasi. Nilai tugas dalam model ini mencakup empat komponen, yaitu nilai pencapaian, nilai intrinsik, nilai kemanfaatan, dan biaya (Eccles et al., 1983; Wigfield & Eccles, 1992). Nilai pencapaian mengacu pada arti penting melakukan yang terbaik dalam bidang atau pelajaran tertentu dan nilai intrinstik mengacu pada kesenangan siswa dalam menjalankan tugas dengan baik atau minat subjektif siswa (lihat tabel 2).
Tabel 2
Komponen Nilai Tugas dalam Model Ekspektasi Nilai
Komponen
Definisi
Nilai Percakapan
Arti penting melakukan yang terbaik dalam bidang studi atau pelajaran tertentu.
Nilai Instrinstik
Kesenangan siswa dalam melakukan tugas dengan baik atau minat subjektif siswa.
Nilai Kemanfaatan
Kegunaan pelajaran atau bidang studi bagi anak.
Biaya
Sejauh mana pemilihan untuk terlibat dalam suatu aktivitas, seperti mengerjakan tugas sekolah, membatasi kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas lain.
Determinan langsung dari nilai tugas (Domain) dan Ekspektasi. Dua keyakinan yang secara langsung menentukan nilai tugas dan ekspektasi adalah memori afektif siswa yang tujuannya (Wigfield & Eccles, 2002). Misalnya yaitu motivasi seseorang untuk mendaftar di kelas matematika lanjut adalah berkaitan dengan reaksi afektif terhadap pelajaran matematika di masa lalu. Selain itu juga keyakinan motivasional yang mendukung lainnya yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Model ini mendefinisikan keyakinan kemampuan sebagai persepsi siswa tentang kompetensi saat diarea tertentu (Wigfield & Eccles, 2000).
Faktor yang Berkonstribusi pada Keyakinan Motivasional. Faktor yang berkonstribusi pada keyakinan motivasional siswa adalah dunia sosial dimana siswa menjalankan fungsinya, persepsinya tentang pengalaman social, lingkungan, dan faktor yang berkaitan dengan prestasi di masa lalu dan sikap siswa. Misalnya Klise kultural dalam dunia anak adalah bahwa orang hispanik tidak bisa menjadi insinyur karena mereka tidak pintar matematika. Persepsi penting yang memberi konstribusi pada keyakinan motivasional adalah persepsi siswa tentang klise dan interpretasinya atas pengalaman prestasi di masa lalu.
2)        Model Berorientasi Tujuan
Berbeda dengan model ekspektasi nilai, model berorientasi tujuan membahas alasan  siswa untuk melakukan  tugas akademik (Anderman, Austin, dan Johnson,2002; Pintrich & Schunk, 2002).  Misalnya, tujuan siswa di pelajaran biologi adalah untuk mendapatkan nilai A, namun pernyataan ini tidak mengindikasikan tujuan dari mengikuti pelajaran itu.
Orientasi Tujuan yang Terkait Belajar. Tiga jenis belajar atau orientasi usaha diiringkas di tabel 3.
Tabel 3
Orientasi Tujuan yang Berkaitan dengan Belajar

Orientasi
Definisi
Tujuan belajar (Dweck,1986, 1989, 2002, Dweck & Leggett, 1988)
Meningkatkan kompetensi seseorang; orientasi berhubungan dengan teori peningkatan intelegensi.
Tujuan penguasaan (Ames, 1992b; Ames& Acher, 1988)
Mengembangkan keterampilan baru, berusaha memahami kerja, atau mendapatkan pemahaman penguasaan berdasarkan standar referensi sendiri (Amen 1992b, h. 262).
Tujuan berfokus tugas (Anderman & Midgley, 1997; Maehr & Midgley, 1991; Midgleyet al, 1998)
Meningkatkan kompetensi seseorang, berusaha menguasai tugas.
Orientasi tugas (Nicholas, 1984, 1989).
Sejauh mana siswa melaporkan perasaan kesuksesan atau kesenangan saat mereka melakukan tugas tertentu.
Difinisi sukses bagi siswa dengan orientasi tujuan yang terkait dengan belajar adalah mereka bisa menguasai tugas baru, membuat kemajuan dalam keterampilan belajar, atau merasa senang ketika mereka melakukan tugas yang menantang.
Orientasi Tujuan Kinerja. Koseptualisasi awal dari orientasi tujuan mengindentifikasi orientasi yang berkaitan dengan kinerja dan ego sebagai kontraproduktif terhadap belajar. Seperti diilustrasikan di Tabel 4, tujuan kinerja melibatkan fokus pada demontrasi kerja superior.  Informasi perbanding social (seberapa baik orang lain atau seberapa besar besar upaya mereka) adalah standar untuk penilaian diri tentang kemampuan ini. Dweck (1989) juga mencatat bahwa anak dengan orientasi tujuan kinerja cenderung memandang intelegensi sebagai bakat, pandangan “entitas” tentang intelegensi.
Konseptuaisasi awal struktur tujuan, menurut Elliot( 1997, 1999; Elliot & Church, 1997) adalah tidak cukup untuk menjelaskan data perilaku yang terkait prestasi dan hasil prestasi. Karenanya dia mengusulkan pembedaan anatar pendekatan kinerja dan orientasi penghidaran kinerja. Pengindaran kejra menyangkut rasa takut dianggap bodoh.
Tabe1 4
Orientasi Tujuan Performa

Orientasi
Definisi
Tujuan performa (Ames, 1992b; Ames & Acher,1998; Anderman & Midgley, 1997; Dweck 1996, 1989, 2002; Elliot & Dweck, 1988;  Kaplan & Midgley, 1997; Maehr & Midgley, 1991)

Orientasi yang melibatkan ego (Jagacinski, 1992; Jagacinski & Nicholls, 1987; Nichols, 1984,
(a)    Komponen pendekatan performa
(b)   Komponen penghindaran performa

(Elliot, 1997; Elliot & Church, 1997; Harackiewicz et ab, 2002; Middleton & Midgley, 1997)
Menentukan kemampuan seseorang dengan melampaui orang lain; menunjukan kemampuan kepada guru dan teman; dan mendapatkan pengakuan publik atas keunggulan performannya.
Merasa sukses ketika tahu lebih banyak ketimbang orang lain.
Mendapatkan penilaian baik atas kompetensinya.
Menghindari penilaian yang buruk atas kompetensinya.
Masalah dengan Tujuan Kinerja. Masalah umum dengan tujuan kinerja adalah bahwa orientasi ini mengarahkan pada keterlibatan dangkal dalam tugas yang berkaitan dengan prestasi.Masalah kedua adalah pendapat bahwa siswa mungkin mengejar banyak tujuan secara bersama. Koordinasi tujuan sulit terutama untuk siswa yang kesulitan di sekolah dasar dan menengah.
Orientasi Tujuan Lain. Dua orientasi tujuan lain yang diukur oleh periset adalah penghindaran kerja atau penghindaran kegagalan. Penghindaran kerja tampaknya merepresentasikan ketiadaan tujuan prestasi, dan keinginan untuk “merampungkan” persyaratan tugas(Acher,1994; Elliot, 1999, h. 184). Penghindaran kegagalan melibatkan upaya menghindari tampak bodoh di kelas dengan strategi melindungi diri seperti tidak menjawab pertanyaan guru.
3)        Teori Atribusi
Teori atribusi membahas pemikiran, emosi, dan ekspektasi seseorang setelah muncul hasil yang terkait dengan pencapaian. (Weiner, 1980b dalam Margaret). Atribusi adalah sebuah teori yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku kita sendiri. teori ini mencakup modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik sangat termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat merasa baik tentang diri mereka sendiri. Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan gabungan dari dua bidang minat utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan penelitian atribusi. Teori yang diawali dengan motivasi, seperti halnya teori belajar dikembangkan terutama dari pandangan stimulus-respons yang cukup popular dari pertengahan 1930-an sampai 1950-an.
Teori ini didasarkan pada tiga asumsi yang berkaitan dengan prestasi, yakni (1) pencarian pemahaman adalah motivator utama dari tindakan, (2) atribusi untuk hasil yang berkaitan dengan keberhasilan merupakan sumber informasi yang kompleks, (3) prilaku masa depan ditentukan sebagian oleh anggapan tentang penyebab dari hasil sebelumnya.
Teori atribusi mendeskripsikan: (a) proses yang terlibat dalam menentukan  sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan (atribusi), dan (b) emosi dan ekspektasi yang memengaruhi perilaku selanjutnya. Misalnya seorang pelajar yang mengatribusikan kegagalan ujian matematika pada kurangnya pada kurangnya kemampuan yang menyebabkan emosi yang negatif.
Beragam penyebab hasil dalam kawasan prestasi dapat diidentifikasi (Weiner, 1985b). Atribusi khusus untuk kesuksesan dan kegagalan adalah kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan (Weiner, 1972).
Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat dianalisis dalam tiga karakteristik, yakni :
1. Penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin internal atau eksternal. Artinya, kita mungkin berhasil atau gagal karena faktor-faktor yang berasal dari dalam diri kita atau karena faktor yang berasal di lingkungan kita.
2. Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau tidak stabil. Maksudnya, jika kita percaya penyebab stabil maka hasilnya mungkin akan sama jika melakukan perilaku yang sama pada kesempatan lain.
3. Penyebab keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak terkendali/terkontrol. Faktor terkendali adalah salah satu yang kita percaya dapat mengubah diri kita sendiri jika kita ingin melakukannya. Adapun factor tak terkendali adalah salah satu yang kita tidak percaya kita dengan mudah dapat mengubahnya.
Properti atribusi menghasilkan emosi tertentu. Hal ini tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 5
Atribusi Menghasilkan Emosi
Atribusi
Dimensi
Konsekuensi
Kemampuan
Internal


Menimbulkan perasaan kompetensi atau inkompetensi dan perasaan bangga atau malu.

Stabil
Hasil yang sama diharapkan lagi, emosi kebanggan dan malu lebih besar; untuk kegagalan, pengunduran diri dan apati lebih besar.
Tidak terkontrol
Untuk kegagalan memperbesar perasaan resignasi dan apati.
Usaha


Internal
Menimbulkan rasa bangga akan kesuksesan
Tidak stabil
Untuk menurunkan ekspektasi kesuksesan
Dapat dikontrol
Memperbesar rasa bangga atau rasa bersalah
Keberuntungan
Eksternal
Citra diri tidak berubah
Tidak stabil
Tidak ada penurunan ekspektasi sukses
Tidak terkontrol
Menimbulkan kejutan baik untuk kesuksesan maupun kegagalan
Lain-lain
Eksternal
Citra diri tidak berubah
Tidak stabil
Tidak ada penuruna ekspektasi sukses
Tidak terkontrol (oleh penerima hasil)
Menimbulkan terima kasih atas pertolongan dan kemarahan atas pengelakan
Kesulitan tugas
Eksternal
Tidak memperkuat harga diri karena hasil yang sukses
Stabil
Beberapa hasil diharapkan lagi
Tidak terkontrol
Depresi dan frustasi atas kegagalan hasil

Peran reaksi emosional. Emosi adalah penting dalam perspektif atribusional karena merupakan motivator dari perilaku selanjutnya. “atribusi memberitahu kita apa perasaan kita, dan perasaan memberi tahu kita apa yang mesti dilakukan” (Weiner, 1983, h. 69). Berikut ini tabel yang menjelaskan emosi yang dimunculkan oleh properti atribusi.
Tabel 6
Emosi yang Dimunculkan oleh Properti Atribusi
Hubungan dimensi/ hasil
Reaksi emosional
Hasil positif

Sebab internal
Rasa bangga atau harga diri
Sebab yang dapat dikontrol
Rasa percaya diri
Sebab stabil
Memaksimalkan rasa bangga, ketangguhan diri, dan kepercayaan diri
Sebab yang tidak terkontrol
Rasa terima kasih/ bersyukur
Hasil negative

Sebab internal
Rasa malu, bersalah, dan dipermalukan
Sebab yang dapat dikontrol
Rasa bersalah
Sebab stabil
Memaksimalkan rasa malu, apati dan pengunduran diri yang diasosiasikan dengan sebab internal yang dapat dikontrol
Sebab yang tidak dapat dikontrol
Rasa marah
Setelah mendapat hasil positif, individu mungkin merasa bangga, percaya diri, atau bersyukur. Identifikasi individual atau karakteristik personal sebagai sebuah atribusi untuk hasil yang positif akan menimbulkan perasaan bangga dan harga diri karena penyebabnya adalah internal. Kant mendeskripsikan lokus hubungan kausalitas-rasa bangga saat dia mengatakan bahwa setiap orang saat makan mungkin menikmati makanan yang enak, tetapi yang merasa bangga hanya juru masaknya. Sebaliknya sukses yang dihubungkan dengan sebab-sebab eksternal, seperti keberuntungan atau bantuan dari orang lain, tidak memengaruhi harga diri atau keterlibatan tugas di masa depan (Weiner, 1982). Contohnya adalah mendapat nilai A dari guru yang hanya memberi penghargaan pada nilai bagus (sebab eksternal); kesuksesan tidak menyebabkan bangga. Sukses yang diatribusikan pada sebab eksternal biasanya menimbulkan perasaan berterima kasih. Kesuksesan yang diatribusikan pada sebab-sebab internal akan mempengaruhi citra diri. Demikian pula kegagalan yang diatribusikan pada sebab-sebab internal memberi kontribusi pada citra diri negatif.
Sumber Informasi untuk Atribusi.
Tabel 7
Sumber Informasi untuk Atribusi
Sumber
Implikasi
Sejarah kesuksesan pemelajar di masa lalu
Determinan primer untuk pemilihan kemampuan atau kekurangan kemampuan sebagai atribusi.
Norma sosial dan perfoma orang lain
Kegagalan melakukan tugas yang dapat dicapai orang lain atribusi pada kurangnya kemampuan
Skema klausal pemelajar
(a) Kemampuan atau upaya  mungkin menyebabkan kesuksesan
(b) Kemampuan dan upaya adalah penting bagi kesusesan.
Karakteristik individual
Contoh: konsep diri; anak sekolah dasar yang mempunyai konsep tinggi menganggap keterampilan dan kemampuan sebagai penyebab kesuksesan.
Tingkat perkembangan
Anak taman kanak-kanak dan anak kelas satu memiliki persepsi tinggi atas kemampuan dan ekspektasi atas kesuksesan.
Catatan: Dikompilasi dari Weiner (1974a, 1977).
Seperti diindikasikan pada tabel 11. 7 individu menggunakan beberapa sumber informasi dalam mencari atribusi klausal. Determinan utama adalah sejarah kesuksesan sebelumnya. Catatan prestasi masa lalu yang konsisten akan menimbulkan atribusi kemampuan untuk sukses, sedangkan catatan kesuksesan yang moderat kemungkinan melahirkan anggapan bahwa upayalah yang menyebabkan kesuksesan. Sebaliknya, sukses untuk individu dengan catatan prestasi yang senantiasa rendah kemungkinan diatribusikan pada faktor keberuntungan, dan kegagalan diatribusikan kekurangannya kemampuan.
Norma sosial dan catatan kinerja orang lain juga memberi informasi. Sukses menjalankan tugas yang gagal dilakukan oleh orang lain menimbulkan persepsi bahwa diri seseorang itu mampu (Weiner, 1974a).
Skema kausal individual dan karakteristik individual juga memengaruhi atribusi, Skema kausal yang mencukupi adalah keyakinan bahwa kemampuan atau usaha mungkin menyebabkan kesuksesan (Weiner, 1974a). Sebaliknya, skema kausal yang diperlukan adalah keyakinan bahwa kemampuan dan usaha adalah penting bagi kesuksesan, dan sering kali kesuksesan dianggap sebagai hasil dari baik itu kemampuan maupun kerja keras (Dai, Moor & Feldhusen, 1998). Karakteristik individual yang penting dan terkait dengan atribusi kausal yang dibuat anak merupakan konsep diri. Siswa sekolah dasar dengan konsep diri yang tinggi akan menganggap kesuksesan berasal dari keterampilan dan kemampuan. Mereka juga lebih banyak terlibat dalam memberi imbalan diri setelah sukses dibandingkan anak dengan konsep diri rendah (Ames, 1978; Ames, Ames & Felker, 1977).
Tingkat perkembangan juga memengaruhi seleksi atribusi. Kebanyakan anak taman kanak – kanak dan kelas satu menganut persepsi diri yang tinggi atas kemampuan mereka dan ekspektasi kesuksesan yang tinggi. Mereka juga lebih mungkin mengatribusikan kesuksesan dan kegagalan pada keberuntungan ketimbang anak yang lebih tua (Wigfield & Harold, 1992, h. 102).
Proses Atribusional. Proses atribusional dimulai dengan hasil yang berkaitan dengan prestasi. Pemelajar pertama – tama menilai kinerjanya dan memberi nilai subjektif pada kontinum dari sukses sampai gagal. Kemudian seseorang mengidentifikasi penyebab hasil atau mulai mencari penyebab yang mungkin.
Identifikasi hasil sebagai sukses atau gagal menimbulkan reaksi emosional berupa kepuasan, atau mungkin kesenangan untuk kesuksesan, dan rasa frustrasi atau kecewa untuk kegagalan (lihat gambar 11.2).
 















Gambar 2
Kejadian – kejadian Utama dalam Model Motivasi Atribusional
Pemelajar kemudian mengidentifikasi atribusi kausal untuk kesuksesan atau kegagalan. Sumber informasi untuk keputusan ini menyangkut sejarah kesuksesan sebelumnya, norma sosial dan kinerja orang lain, skema kausal pemelajar, dan karakteristik individual. Sifat – sifat atau dimensi atribusi yang dipilih akan menghasilkan emosi tertentu dan mungkin memengaruhi ekspektasi pemelajar untuk hasil yang akan datang.
Contoh d ari proses atribusional adalah pemain liga basket Little League yang bermain buruk dalam satu pertandingan. Anak itu bermain buruk di masa lalu, dan anak lainnya bermain baik. Anak itu juga telah berusaha meningkatkan kemampuan dengan berlatih berjam – jam. Berdasarkan sejarah, perbandingan sosial, dan upaya yang dikerahkan, anak itu kemungkinan menyimpulkan bahwa dia gagal karena memang tidak pandai main basket (kurang kemampuan) (Weiner, 1985b, h. 566).
Ringkasnya, dasar dari model atribusional adalah atribusi individual untuk kesuksesan dan kegagalan hasil dan dimensi atribusi itu. Atribusi tipikal adalah kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan keberuntungan. Yang lainnya adalah suasana hati, sakit, keletihan, dan bantuan dari orang lain. Informasi yang memberi kontribusi pada identifikasi atribusi partikular mencakup petunjuk informasi spesifik, skema kausal individual, dan predisposisi individual.
2.        PRINSIP PEMBELAJARAN
Teori motivasional belum mengembangkan prinsip pembelajaran yang eksplisit. Namun mereka mengidentifikasi karakteristik pembelajaran kelas yang memengaruhi motivasi siswa.
a)        Asumsi Dasar
Asumsi yang sama dari model ekspektasi nilai, model orientasi tujuan, dan teori atribusi yang berlaku pada pembelajaran kelas. Asumsi itu adalah (a) motivasi akademik berkembang sebagian dari interaksi kompleks faktor di kelas dengan faktor di dalam diri siswa; (b) siswa adalah prosesor aktif dan penafsir aktif atas latar kelas; (c) siswa dapat memikirkan dan melaporkan persepsi mereka pada orang lain; dan (d) bahwa motivasi adalah spesifik sesuai subjek artinya nilai dan tujuan siswa mungkin berbeda-beda untuk subjek pelajaran matematika, biologi, sejarah, sastra, dan pelajaran lainnya.
b)       Pengaruh Kelas terhadap Motivasi Siswa
Latar kelas adalah tempat dimana ratusan interaksi terjadi antara siswa dan guru. Interaksi ini adalah sumber informasi baik bagi keyakinan guru maupun siswa tentang kemampuan siswa dan keyakinan motivasional siswa. Berikut akan dibahas struktur kelas, reaksi guru terhadap kinerja siswa, dan implemetasi orientasi tujuan belajar.
1)        Struktur Tujuan Kelas
Riset mengenai orientasi tujuan kinerja dan penguasaan oleh Amesmengindikasi bahwa orientasi tujuan kelas memengaruhi orientasi tujuan siswa. Aktivitas dan penekanan di kelas mungkin berorientasi pada penguasaan/kinerja. Kelas yang berorientasi pada penguasaan menekankan upaya peningkatan dan tantangan. Guru mendukung ketekunan dan usaha siswa, kesalahan dianggap sebagai kesempatan untuk belajar, menunjukkan emosi yang positif dan mengajak siswa untuk bertanggung jawab terhadap pelajarannya. Guru sebaiknya menata kelasnya untuk memaksimalkan keterlibatan siswa dalam tugas-tugas akademik. Artinya guru membangun lingkungan agar siswa dapat mengalami peningkatan dan menguasai materi.
2)        Reaksi Guru Terhadap Kinerja Siswa
Reaksi guru terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa di kelas, untuk penilaian formal ataupun informal dapat memengaruhi atribusi siswa untuk hasil penilaian. Secara spesifik, guru mengevaluasi kinerja sebagai kesuksesan atau kegagalan, memberi atribusi untuk hasil, dan menyampaikan hasil kepada siswa.
3)        Menerapkan Orientasi Tujuan Belajar
Karakteristik kelas yang berorientasi belajar antara lain adalah ada kelompok belajar yang fleksibel, variasi dalam penugasan sesuai tingkat keterampilan siswa, tidak menonjolkan perbandingan normative, tugas kelompok yang lebih sering, tolong-menolong sesame teman, dan komentar substansi atas kerja siswa (Stipek & Daniels, 1988).
Keputusan dan mendesain tugas yang memberi tantangan yang masuk akal bagi siswa (lihat gambar 3).











Struktur
 

Strategi Pembelajaran
 

Pola Motivasi
 



 






















Pernyataan motivasional guru, penghargaan dan dukungan untuk siswa, dan ekspresi mereka terhadap belajar penting dalam menerapkan orientasi tujuan belajar atau penguasaan. Praktik yang tampak di kelas berorientasi penguasaan di kelas diringkas sebagai berikut.
Partisipasi Siswa. Dalam satu kelas, guru melibatkan siswa dalam membuat aturan di kelas.
Otonomi. Guru memberi kebebasan di kelas bagi siswa untuk berbicara dengan orang lain, meraut pensil, dan sebagainya, asalkan mereka tidak terganggu belajarnya dan tidak mengganggu siswa lain.
Pengakuan dan dukungan. Guru mengakui upaya belajar siswa dengan “pujian hangat yang juga terkait dengan tugas, jelas, kontingen, dan kridibel”, dan tidak terbatas hanya pada sedikit siswa.
Hakikat Belajar. Guru yang berorientasi penguasaan dalam studi akan menekankan bahwa belajar adalah proses. Guru mangatakan bahwa melihat, mendengar, dan berbuat adalah cara belajar dan kelas akan melakukan ketiganya.
c)        Mengembangkan Program untuk Perubahan Motivasional
Satu jenis pola motivasi yang maladatif adalah penurunan keyakinan motivasional positif pada beberapa siswa selama masa sekolah. Di antaranya adalah keyakinan kompetensi, ekspektasi kesuksesan, arti penting dan kemanfaatan pelajaran sekolah, penurunan semangat pada tujuan penguasaan, dan perubahan dalam atribusi untuk kegagalan dari yang dikaitkan dengan usaha ke yang dikaitkan dengan kemampuan.
Pendekatan yang didiskusikan adalah menekankan keterlibatan membaca, yang mencakup variable motivasional dan kognitif. Karakteristik  esensialnnya mencakup menerapkan pembelajaran berbasis standar yang terintergrasi dan mendalam, menjaga penekanan pada numerisasi dan literisasi. Isu motivasi yang terkait adalah relasi antara perilaku disruptif dan tujuan kelas. Jenis kedua dari keyakinan motivasi maladaftif disebut sebagai “keputusan yang dipelajari”. Program latihan atribusi yang diterapkan dengan siswa “berputus asa” dan siswa dengan kesulitan belajar mengandung tiga tujuan, yaitu: a) untuk  mengarahkan siswa focus pada tugas ketimbang pada rasa takut gagal; b) mendorong siswa untuk merunut kembali tindakan mereka dalam situasi pemecahan masalah untuk menentukan strategi alternative; dan c) membantu siswa mengatribusikan kegagalan pada usaha yang kurang ketimbang pada kurangnnya kecerdasan.
Review atas 20 intervensi latihan atribusi oleh Robertson(2000) menghasilkan  lima rekomendasi yang dapat diihat pada Tabel 11.8.

TABEL 8
Rekomendasikan untuk Latihan Atribusi
a)      Atribusi ke kemampuan dan usaha haruslah akurat agar bisa memengaruhi motivasi.
b)      Mendorong atribusi kesuksesan pada penggunakan strategi, bukan pada kemampuan dan usaha.
c)      Mengombinasikan latihan atribusi dengan pembelajaran strategi dilakukan hanya ketika pembelajaran tidak memahami relasi kasual antara penggunaan strategi dan kesuksesan dan kegagalan.
d)     Model teman sebaya akan lebih efektif ketimbang metode tidak langsung dalam mendemontrasikan efek dari atribusi atau penggunaan strategi.
e)      Tidak direkomendasikan latihan atribusi pada satu kelompok besar.

Pertama, pastikan bahwa anak memiliki kemampuan anak sukses pada tugas khusus sebelum memperkenalkan atrubusi untuk usaha. Kedua, mendorong atribusi siswa ke penggunaan strategi. Ketiga, pelatihan atribusi sebagai tambahan latihan strategi adalah tidak diperlukan kecuali anak tidak memahami hubungan kasual. Keempat, model teman sebaya lebih efektif ketimbang guru. Kelima, latihan atribusi tidak boleh dilakukan pada kelompok besar.
3.        APLIKASI PENDIDIKAN
Kontribusi utama dari perspektif motivasional untuk pendidikan adalah analisis interaksi kelas. pada skala yang lebih luas, teori atribusi mengandung implikasi bagi cara kultur kita mendifinisikan kesuksesan.
a)        Isu Kelas
Isu-isu tentang karakterristik siswa, proses kognitif dan pembelajaran, dan konteks social untuk belajar.
b)       Karakteristik Pemelajar
Karakteristik yang menjadi perhatian utama bagi pendidikan adalah perbedaan individu, kesiapan untuk belajar, dan motivasi. Perbedaan Individual, model motivasional dan teori motivasi mengindentifikasikan beragam factor, seperti sejarah prestasi dan konteks social pemelajar. Kesiapan belajar, meskipun kesiapan belum diriset oleh perspektif motivasional, implikasinya sudah jelas. Motivasi, teori- teori belajar biasanya memperlakukan motivasi sebagai konsep yang dekat prinsip untuk menciptakan belajar pada siswa.

c)        Proses Kogtinif dan Pembelajaran
Tiga isu kognitif yang memiliki arti penting bagi pendidikan adalah transfer belajar, pembelajaran memecahkan masalah, dan mempelajari keterampilan bagaimana belajar. Pespektif motivasional mengidentifikasikan bahwa strategi penghindaran dan merintangi diri yang kemungkinan ditransfer ke tugas prestasi selanjutnya sebagai pendekatan pemecahan masalah yang maladatif.
d)       Implikasi Untuk Penilaiaan
Salah satu alternatif adalah beberapa variasi dari model belakar pengusahaan Bloom (1968). Kebanyakan siswa dapat menguasai pelajaran disekolah umum jika diberi waktu tambahan untuk belajar. Fungsi penilaian formatif adalah memberi umpan balik pada guru dan siswa tentang kekeliruan dan kesalahan pemahaman siswa. Keyakinan bahwa penerapan penilaian formatif mungkin mencegah beberapa kasus kegagalan. Kelemahan dari model ini adalah dibutuhkan waktu belajar tambahan untuk konsep yang belum dikuasai dan kesulitan dalam menangani masalah yang parah, seperti keterampilan membaca yang rendah.
e)        Hubungan dengan Perspektif lain
Perspektif motivasional mengindetifikasi pemelajar sebagai faktor utama dalam pengembangan motivasi untuk belajar disekolah. Melalui interpretasi atas informasi dalam latar social dan pengalaman masa lalu, pemelajar mengembangkan keyakinan yang menguatkan atau melemahkan keterlibatan dalam tugas yang berkaitan dengan prestasi.
f)         Mengembangkan Strategi Kelas
Langkah 1       : Merestrukturisasi tujuan kelas dalam pengertian proses belajar atau strategi
Langkah 2       : Mengidentifikasi metode evaluasi
Langkah 3       :  Mengidentifikasi aktivitas kelas yang 1) tidak menekankan persaingan interpersonal, dan 2) menfasilitasi pengembangan strategi menangani tugas dan upaya.
Lngkah 4         : Membuat pernyataan tanggapan verbal yang menyampaikan pesan atribusi yang tepat.
.
PENUTUP
1.        SIMPULAN
a.       Tiga analisis proses motivasional dalam latar yang berkaitan dengan prestasi adalah model ekspektasi nilai, model orientasi tujuan, dan atribusi. Asumsi dasar yang sama dalam tiga analisis ini adalah motivasi individu berkembang dari interaksi kompleks dari faktor lingkungan dengan faktor di dalam diri anak, siswa adalah pemroses informasi yang aktif, motivasi, tujuan, atau atribusi siswa merupakan pengetahuan eksplisit yang dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.
b.      Dua pengaruh kelas terhadap perkembangan keyakinan motivasional siswa adalah sifat dari struktural tujuan kelas dan reaksi guru terhadap siswa yang berbeda kemampuannya. Karakteristik dua kelas yang berorientasi penguasaan mencakup partisipasi siswa dalam membuat aturan kelas, otonomi siswa, pengakuan dan dukungan terhadap upaya siswa, dan pandangan terhadap belajar sebagai proses yang fokus pada pemahaman dan peningkatan.
c.       Aplikasi perspektif motivasional di kelas mengimplikasikan kebutuhan akan strategi proaktif ketimbang mengandalkan pada respons reaktif terhadap aktivitas siswa yang berkaitan dengan prestasi. Tujuan kelas ditekankan pada meningkatkan strategi belajar, waktu kelas distrukturisasikan untuk meminimalkan kompetisi antarpribadi, dan umpan balik pada siswa meminimalkan atribusi ke kemampuan atau kurangnya kemampuan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar