PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Model kemampuan
kognitif berasal dari pikiran orang-orang yang telah berpikir dan bercermin
pada mereka. Model ini muncul dari pengalaman unik dan pelatihan seseorang.
Karena itu mereka dilahirkan sebagai metode empiris dari observasi dan praktek
serta hasil percobaan ilmiah. Kemampuan kognitif yang paling penting adalah
diklarifikasikan di tingkat tiga (keterampilan motoric perspektual), tingkat
empat (perkembangan bahasa), dan tingkat lima (kemampuan konseptual). Gaya
kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan
dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi atau pengetahuan, sikap
terhadap informasi atau pengetahuan, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan
lingkungan belajar.
Motivasi adalah perilaku
yang ingin dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat mendorong dan
mengarahkan keberhasilan seseorang. Motivasi juga dapat diartikan sebagai
kemampuan kita untuk memotivasi diri kita tanpa memerlukan bantuan orang lain.
Memotivasi diri adalah proses menghilangkan faktor yang melemahkan kita. Model
kognitif dan teori motivasi akademik mengidentifikasi disposisi individual
untuk berjuang meraih sukses atau untuk menghindari kegagalan sebagai
faktor-faktor motivasi utama. Jika motif untuk sukses pada diri siswa cukup
tinggi, dia akan melakukan tugas-tugas untuk berprestas. Tetapi, jika disposisi
untuk menghindari kegagalan tinggi, siswa akan menghindari tugas dengan cara
menunda dengan cara lain. Model Kognitif dan Teori Motivasi Akademik berpengaruh
terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan siswa dalam beraktivitas
yang berkaitan dengan prestasi. Berkaitan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul makalah yaitu
“Model Kognitif dan Teori Motivasi Akademik” yang diharapkan
dapat bermanfaat dan dijadikan suatu pedoman pendidikan yang dapat menyongsong
kemajuan.
2.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah
sesuai dengan latar belakang yang dipaparkan di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut.
a.
Apa saja prinsip motivasi dalam model
kognitif dan teori motivasi akademik?
b.
Bagaimana prinsip pembelajaran dalam
model kognitif dan teori motivasi akademik?
c.
Bagaimana aplikasi pendidikan model
kognitif dan teori motivasi akademik?
3.
TUJUAN
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini sesuai dengan latar belakang yang penulis paparkan di
atas adalah sebagai berikut :
a.
Mengetahui
dan memahami prinsip motivasi dalam model kognitif dan teori motivasi
akademik
b.
Mengetahui
dan memahami prinsip pembelajaran dalam model kognitif dan teori
motivasi akademik
c.
Mengetahui
dan memahami aplikasi pendidikan model kognitif dan teori motivasi
akademik
PEMBAHASAN
1.
PRINSIP MOTIVASI
a.
Asumsi Dasar
Pendekatan
utama untuk analisis motivasi memiliki tiga asumsi. Pertama, motivasi individual adalah hasil dari interaksi antara
faktor lingkungan dengan karakteristik tertentu dari anak (Wiegfield &
Eccles, 2002b) (Lihat Tabel 1). Di antaranya adalah norma sosial, catatan
kinerja orang lain (Weiner, 1974a), reaksi afektif dari guru terhadap kesuksesan
dan kegagalan siswa (Weiner, Graham, Taylor, & Meyer, 1983), jenis tujuan
dan struktur kelas (Ames, 1992b), sejarah prestasi anak (Weiner, 1985b,
Wigfield & Eccles, 2002a), dan keyakinan mereka tentang sifat dari
kemampuan (Dweck, 2002). Kedua, pemelajar
adalah pemroses informasi yang aktif. Ketiga, terkait dengan asumsi pertama,
adalah bahwa motif, kebutuhan atau tujuan siswa adalah pengetahuan eksplisit.
Ini berarti siswa dapat memikirkan keyakinan ini dan mengkomunikasikannya
kepada orang lain (Murphy & Alexander, 2000, h. 38).
Tabel 1
Asumsi Model Motivasi dan Teori Atribusi
Asumsi
|
Model
atau Teori
|
1. Motivasi
seseorang berkembang melalui interaksi kompleks dari faktor lingkungan dengan
faktor di dalam diri anak.
|
Model
ekspektasi nilai
Model
orientasi tujuan
Teori atribusi
|
2. Pemelajar
adalah pemroses informasi yang aktif.
|
Sama seperti
di atas
|
3. Motif,
kebutuhan, atau tujuan pemelajar merupakan informasi eksplisit.
|
Sama seperti
di atas
|
Selain asumsi umum,
setiap pandangan tentang motivasi tertentu juga memuat asumsi yang secara
spesifik relavan dengan perspektif itu. Misalnya, model berorientasi tujuan
memfokus pada peran motivasional dari tujuan yang berkaitan dengan prestasi
siswa. Asumsi dari salah satu pendapat orientasi tujuan adalah bahwa orientasi
tujuan kelas akan mempengaruhi orientasi tujuan pribadi siswa (Ames, 1992b).
Yakni, ketika orientasi kelas adalah penguasaan dan aktivitas kelas fokus pada
pengembangan penguasaan keterampilan dan kapabilita, maka siswa cenderung akan
menganut orientasi untuk menguasai tersebut.
b.
Komponen Proses Motivasi
Tiga pendekatan untuk
studi motivasi dalam latar yang berkaitan dengan prestasi adalah:
1)
Model
Ekspektasi Nilai
Model Ekspektasi nilai
ini adalah perluasan dari model Atkinson (1958), yang mendefinisikan ekspektasi
dan nilai sebagai konstruk motivasional. Berbeda dengan model Atkinson, versi
ini memandang ekspektasi dan nilai sebagai kognitif ketimbang motivasional
(Wigfield & Eccles, 1992, h. 278-279). Ini mengacu pada pentingnya
melakukan yang terbaik dalam bidang atau pelajaran tertentu. Misalnya aljabar
mungkin diperlukan untuk masuk perguruan tinggi dan karenanya memiliki nilai
pencapaian yang tinggi.
Pilihan, kegigihan,
tingkat usaha, keterlibatan kognitif, dan kinerja aktual merupakan lima prilaku
yang terkait prestasi yang dipengaruhi oleh proses motivasional. Dua keyakinan
motivasional utama, nilai tugas dan ekspektasi kesuksesan, secara langsung
ditentukan dengan keyakinan yang terkait prestasi (Lihat Gambar 1)
|
Nilai
tugas (domain) dan nilai ekspektasi. Nilai tugas dalam
model ini mencakup empat komponen, yaitu nilai pencapaian, nilai intrinsik,
nilai kemanfaatan, dan biaya (Eccles et
al., 1983; Wigfield & Eccles, 1992). Nilai pencapaian mengacu pada arti
penting melakukan yang terbaik dalam bidang atau pelajaran tertentu dan nilai
intrinstik mengacu pada kesenangan siswa dalam menjalankan tugas dengan baik
atau minat subjektif siswa (lihat tabel 2).
Tabel
2
Komponen
Nilai Tugas dalam Model Ekspektasi Nilai
Komponen
|
Definisi
|
Nilai Percakapan
|
Arti penting melakukan yang terbaik
dalam bidang studi atau pelajaran tertentu.
|
Nilai Instrinstik
|
Kesenangan siswa dalam melakukan tugas
dengan baik atau minat subjektif siswa.
|
Nilai Kemanfaatan
|
Kegunaan pelajaran atau bidang studi
bagi anak.
|
Biaya
|
Sejauh mana pemilihan untuk terlibat
dalam suatu aktivitas, seperti mengerjakan tugas sekolah, membatasi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas lain.
|
Determinan
langsung dari nilai tugas (Domain) dan Ekspektasi. Dua
keyakinan yang secara langsung menentukan nilai tugas dan ekspektasi adalah
memori afektif siswa yang tujuannya (Wigfield & Eccles, 2002). Misalnya
yaitu motivasi seseorang untuk mendaftar di kelas matematika lanjut adalah berkaitan
dengan reaksi afektif terhadap pelajaran matematika di masa lalu. Selain itu
juga keyakinan motivasional yang mendukung lainnya yaitu tujuan jangka pendek
dan jangka panjang. Model ini mendefinisikan keyakinan kemampuan sebagai
persepsi siswa tentang kompetensi saat diarea tertentu (Wigfield & Eccles,
2000).
Faktor
yang Berkonstribusi pada Keyakinan Motivasional. Faktor
yang berkonstribusi pada keyakinan motivasional siswa adalah dunia sosial
dimana siswa menjalankan fungsinya, persepsinya tentang pengalaman social,
lingkungan, dan faktor yang berkaitan dengan prestasi di masa lalu dan sikap
siswa. Misalnya Klise kultural dalam dunia anak adalah bahwa orang hispanik
tidak bisa menjadi insinyur karena mereka tidak pintar matematika. Persepsi
penting yang memberi konstribusi pada keyakinan motivasional adalah persepsi
siswa tentang klise dan interpretasinya atas pengalaman prestasi di masa lalu.
2)
Model
Berorientasi Tujuan
Berbeda dengan model
ekspektasi nilai, model berorientasi tujuan membahas alasan siswa untuk melakukan tugas akademik (Anderman, Austin, dan Johnson,2002;
Pintrich & Schunk, 2002). Misalnya,
tujuan siswa di pelajaran biologi adalah untuk mendapatkan nilai A, namun
pernyataan ini tidak mengindikasikan tujuan dari mengikuti pelajaran itu.
Orientasi
Tujuan yang Terkait Belajar. Tiga jenis belajar atau
orientasi usaha diiringkas di tabel 3.
Tabel
3
Orientasi
Tujuan yang Berkaitan dengan Belajar
Orientasi
|
Definisi
|
Tujuan belajar (Dweck,1986, 1989,
2002, Dweck & Leggett, 1988)
|
Meningkatkan kompetensi seseorang;
orientasi berhubungan dengan teori peningkatan intelegensi.
|
Tujuan penguasaan (Ames, 1992b;
Ames& Acher, 1988)
|
Mengembangkan keterampilan baru,
berusaha memahami kerja, atau mendapatkan pemahaman penguasaan berdasarkan
standar referensi sendiri (Amen 1992b, h. 262).
|
Tujuan berfokus tugas (Anderman &
Midgley, 1997; Maehr & Midgley, 1991; Midgleyet al, 1998)
|
Meningkatkan kompetensi seseorang,
berusaha menguasai tugas.
|
Orientasi tugas (Nicholas, 1984,
1989).
|
Sejauh mana siswa melaporkan perasaan
kesuksesan atau kesenangan saat mereka melakukan tugas tertentu.
|
Difinisi sukses bagi
siswa dengan orientasi tujuan yang terkait dengan belajar adalah mereka bisa
menguasai tugas baru, membuat kemajuan dalam keterampilan belajar, atau merasa
senang ketika mereka melakukan tugas yang menantang.
Orientasi Tujuan
Kinerja. Koseptualisasi awal dari orientasi tujuan mengindentifikasi orientasi
yang berkaitan dengan kinerja dan ego sebagai kontraproduktif terhadap belajar.
Seperti diilustrasikan di Tabel 4, tujuan kinerja melibatkan fokus pada
demontrasi kerja superior. Informasi
perbanding social (seberapa baik orang lain atau seberapa besar besar upaya
mereka) adalah standar untuk penilaian diri tentang kemampuan ini. Dweck (1989)
juga mencatat bahwa anak dengan orientasi tujuan kinerja cenderung memandang
intelegensi sebagai bakat, pandangan “entitas” tentang intelegensi.
Konseptuaisasi awal
struktur tujuan, menurut Elliot( 1997, 1999; Elliot & Church, 1997) adalah
tidak cukup untuk menjelaskan data perilaku yang terkait prestasi dan hasil
prestasi. Karenanya dia mengusulkan pembedaan anatar pendekatan kinerja dan
orientasi penghidaran kinerja. Pengindaran kejra menyangkut rasa takut dianggap
bodoh.
Tabe1 4
Orientasi
Tujuan Performa
Orientasi
|
Definisi
|
Tujuan performa (Ames, 1992b; Ames
& Acher,1998; Anderman & Midgley, 1997; Dweck 1996, 1989, 2002;
Elliot & Dweck, 1988; Kaplan &
Midgley, 1997; Maehr & Midgley, 1991)
Orientasi yang melibatkan ego
(Jagacinski, 1992; Jagacinski & Nicholls, 1987; Nichols, 1984,
(a)
Komponen pendekatan performa
(b)
Komponen penghindaran performa
(Elliot, 1997; Elliot & Church,
1997; Harackiewicz et ab, 2002; Middleton & Midgley, 1997)
|
Menentukan kemampuan seseorang dengan
melampaui orang lain; menunjukan kemampuan kepada guru dan teman; dan
mendapatkan pengakuan publik atas keunggulan performannya.
Merasa sukses ketika tahu lebih banyak
ketimbang orang lain.
Mendapatkan
penilaian baik atas kompetensinya.
Menghindari
penilaian yang buruk atas kompetensinya.
|
Masalah
dengan Tujuan Kinerja. Masalah umum dengan tujuan kinerja
adalah bahwa orientasi ini mengarahkan pada keterlibatan dangkal dalam tugas
yang berkaitan dengan prestasi.Masalah kedua adalah pendapat bahwa siswa
mungkin mengejar banyak tujuan secara bersama. Koordinasi tujuan sulit terutama
untuk siswa yang kesulitan di sekolah dasar dan menengah.
Orientasi Tujuan Lain. Dua orientasi
tujuan lain yang diukur oleh periset adalah penghindaran kerja atau
penghindaran kegagalan. Penghindaran kerja tampaknya merepresentasikan
ketiadaan tujuan prestasi, dan keinginan untuk “merampungkan” persyaratan
tugas(Acher,1994; Elliot, 1999, h. 184). Penghindaran kegagalan melibatkan
upaya menghindari tampak bodoh di kelas dengan strategi melindungi diri seperti
tidak menjawab pertanyaan guru.
3)
Teori
Atribusi
Teori atribusi membahas
pemikiran, emosi, dan ekspektasi seseorang setelah muncul hasil yang terkait
dengan pencapaian. (Weiner, 1980b dalam Margaret). Atribusi adalah sebuah teori
yang membahas tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk memahami
penyebab-penyebab perilaku kita dan orang lain. Definisi formalnya, atribusi
berarti upaya untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain, dan dalam
beberapa kasus juga penyebab di balik perilaku kita sendiri. teori ini mencakup
modifikasi perilaku dalam arti bahwa ia menekankan gagasan bahwa peserta didik sangat
termotivasi dengan hasil yang menyenangkan untuk dapat merasa baik tentang diri
mereka sendiri. Teori yang dikembangkan oleh Bernard Weiner ini merupakan
gabungan dari dua bidang minat utama dalam teori psikologi yakni motivasi dan
penelitian atribusi. Teori yang diawali dengan motivasi, seperti halnya teori
belajar dikembangkan terutama dari pandangan stimulus-respons yang cukup
popular dari pertengahan 1930-an sampai 1950-an.
Teori ini didasarkan
pada tiga asumsi yang berkaitan dengan prestasi, yakni (1) pencarian pemahaman
adalah motivator utama dari tindakan, (2) atribusi untuk hasil yang berkaitan
dengan keberhasilan merupakan sumber informasi yang kompleks, (3) prilaku masa
depan ditentukan sebagian oleh anggapan tentang penyebab dari hasil sebelumnya.
Teori atribusi mendeskripsikan: (a)
proses yang terlibat dalam menentukan
sebab-sebab kesuksesan dan kegagalan (atribusi), dan (b) emosi dan
ekspektasi yang memengaruhi perilaku selanjutnya. Misalnya seorang pelajar yang
mengatribusikan kegagalan ujian matematika pada kurangnya pada kurangnya
kemampuan yang menyebabkan emosi yang negatif.
Beragam penyebab hasil dalam kawasan
prestasi dapat diidentifikasi (Weiner, 1985b). Atribusi khusus untuk kesuksesan
dan kegagalan adalah kemampuan, usaha, kesulitan tugas dan keberuntungan
(Weiner, 1972).
Menurut teori atribusi, keberhasilan atau kegagalan
seseorang dapat dianalisis dalam tiga karakteristik, yakni :
1. Penyebab keberhasilan atau kegagalan mungkin internal atau eksternal.
Artinya, kita mungkin berhasil atau gagal karena faktor-faktor yang berasal
dari dalam diri kita atau karena faktor yang berasal di lingkungan kita.
2. Penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang dapat berupa stabil atau
tidak stabil. Maksudnya, jika kita percaya penyebab stabil maka hasilnya
mungkin akan sama jika melakukan perilaku yang sama pada kesempatan lain.
3. Penyebab keberhasilan atau kegagalan dapat berupa dikontrol atau tidak
terkendali/terkontrol. Faktor terkendali adalah salah satu yang kita percaya
dapat mengubah diri kita sendiri jika kita ingin melakukannya. Adapun factor
tak terkendali adalah salah satu yang kita tidak percaya kita dengan mudah
dapat mengubahnya.
Properti atribusi menghasilkan emosi tertentu. Hal ini
tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 5
Atribusi
Menghasilkan Emosi
Atribusi
|
Dimensi
|
Konsekuensi
|
Kemampuan
|
Internal
|
Menimbulkan
perasaan kompetensi atau inkompetensi dan perasaan bangga atau malu.
|
Stabil
|
Hasil yang
sama diharapkan lagi, emosi kebanggan dan malu lebih besar; untuk kegagalan,
pengunduran diri dan apati lebih besar.
|
|
Tidak terkontrol
|
Untuk
kegagalan memperbesar perasaan resignasi dan apati.
|
|
Usaha
|
Internal
|
Menimbulkan
rasa bangga akan kesuksesan
|
Tidak stabil
|
Untuk
menurunkan ekspektasi kesuksesan
|
|
Dapat dikontrol
|
Memperbesar
rasa bangga atau rasa bersalah
|
|
Keberuntungan
|
Eksternal
|
Citra diri
tidak berubah
|
Tidak stabil
|
Tidak ada
penurunan ekspektasi sukses
|
|
Tidak terkontrol
|
Menimbulkan
kejutan baik untuk kesuksesan maupun kegagalan
|
|
Lain-lain
|
Eksternal
|
Citra diri
tidak berubah
|
Tidak stabil
|
Tidak ada
penuruna ekspektasi sukses
|
|
Tidak terkontrol (oleh penerima hasil)
|
Menimbulkan
terima kasih atas pertolongan dan kemarahan atas pengelakan
|
|
Kesulitan tugas
|
Eksternal
|
Tidak
memperkuat harga diri karena hasil yang sukses
|
Stabil
|
Beberapa
hasil diharapkan lagi
|
|
Tidak terkontrol
|
Depresi
dan frustasi atas kegagalan hasil
|
Peran reaksi
emosional. Emosi adalah penting dalam perspektif atribusional
karena merupakan motivator dari perilaku selanjutnya. “atribusi memberitahu
kita apa perasaan kita, dan perasaan memberi tahu kita apa yang mesti
dilakukan” (Weiner, 1983, h. 69). Berikut ini tabel yang menjelaskan emosi yang
dimunculkan oleh properti atribusi.
Tabel 6
Emosi yang
Dimunculkan oleh Properti Atribusi
Hubungan
dimensi/ hasil
|
Reaksi
emosional
|
Hasil
positif
|
|
Sebab internal
|
Rasa bangga atau harga diri
|
Sebab yang dapat dikontrol
|
Rasa percaya diri
|
Sebab stabil
|
Memaksimalkan rasa bangga,
ketangguhan diri, dan kepercayaan diri
|
Sebab yang tidak terkontrol
|
Rasa terima kasih/ bersyukur
|
Hasil negative
|
|
Sebab internal
|
Rasa malu, bersalah, dan
dipermalukan
|
Sebab yang dapat dikontrol
|
Rasa bersalah
|
Sebab stabil
|
Memaksimalkan rasa malu, apati dan
pengunduran diri yang diasosiasikan dengan sebab internal yang dapat
dikontrol
|
Sebab yang tidak dapat dikontrol
|
Rasa marah
|
Setelah mendapat hasil positif,
individu mungkin merasa bangga, percaya diri, atau bersyukur. Identifikasi
individual atau karakteristik personal sebagai sebuah atribusi untuk hasil yang
positif akan menimbulkan perasaan bangga dan harga diri karena penyebabnya
adalah internal. Kant mendeskripsikan lokus hubungan kausalitas-rasa bangga
saat dia mengatakan bahwa setiap orang saat makan mungkin menikmati makanan
yang enak, tetapi yang merasa bangga hanya juru masaknya. Sebaliknya sukses
yang dihubungkan dengan sebab-sebab eksternal, seperti keberuntungan atau
bantuan dari orang lain, tidak memengaruhi harga diri atau keterlibatan tugas
di masa depan (Weiner, 1982). Contohnya adalah mendapat nilai A dari guru yang
hanya memberi penghargaan pada nilai bagus (sebab eksternal); kesuksesan tidak
menyebabkan bangga. Sukses yang diatribusikan pada sebab eksternal biasanya
menimbulkan perasaan berterima kasih. Kesuksesan yang diatribusikan pada
sebab-sebab internal akan mempengaruhi citra diri. Demikian pula kegagalan yang
diatribusikan pada sebab-sebab internal memberi kontribusi pada citra diri
negatif.
Sumber Informasi untuk
Atribusi.
Tabel
7
Sumber
Informasi untuk Atribusi
Sumber
|
Implikasi
|
Sejarah kesuksesan
pemelajar di masa lalu
|
Determinan primer
untuk pemilihan kemampuan atau kekurangan kemampuan sebagai atribusi.
|
Norma sosial dan
perfoma orang lain
|
Kegagalan melakukan
tugas yang dapat dicapai orang lain atribusi pada kurangnya kemampuan
|
Skema klausal
pemelajar
|
(a) Kemampuan atau upaya
mungkin menyebabkan kesuksesan
(b) Kemampuan dan upaya adalah penting bagi kesusesan.
|
Karakteristik
individual
|
Contoh: konsep diri;
anak sekolah dasar yang mempunyai konsep tinggi menganggap keterampilan dan
kemampuan sebagai penyebab kesuksesan.
|
Tingkat perkembangan
|
Anak taman
kanak-kanak dan anak kelas satu memiliki persepsi tinggi atas kemampuan dan
ekspektasi atas kesuksesan.
|
Catatan:
Dikompilasi dari Weiner (1974a, 1977).
Seperti diindikasikan
pada tabel 11. 7 individu menggunakan beberapa sumber informasi dalam mencari
atribusi klausal. Determinan utama adalah sejarah kesuksesan sebelumnya.
Catatan prestasi masa lalu yang konsisten akan menimbulkan atribusi kemampuan
untuk sukses, sedangkan catatan kesuksesan yang moderat kemungkinan melahirkan
anggapan bahwa upayalah yang menyebabkan kesuksesan. Sebaliknya, sukses untuk
individu dengan catatan prestasi yang senantiasa rendah kemungkinan
diatribusikan pada faktor keberuntungan, dan kegagalan diatribusikan
kekurangannya kemampuan.
Norma sosial dan
catatan kinerja orang lain juga memberi informasi. Sukses menjalankan tugas
yang gagal dilakukan oleh orang lain menimbulkan persepsi bahwa diri seseorang
itu mampu (Weiner, 1974a).
Skema kausal individual
dan karakteristik individual juga memengaruhi atribusi, Skema kausal yang
mencukupi adalah keyakinan bahwa kemampuan atau usaha mungkin menyebabkan
kesuksesan (Weiner, 1974a). Sebaliknya, skema kausal yang diperlukan adalah
keyakinan bahwa kemampuan dan usaha adalah penting bagi kesuksesan, dan sering
kali kesuksesan dianggap sebagai hasil dari baik itu kemampuan maupun kerja
keras (Dai, Moor & Feldhusen, 1998). Karakteristik individual yang penting
dan terkait dengan atribusi kausal yang dibuat anak merupakan konsep diri.
Siswa sekolah dasar dengan konsep diri yang tinggi akan menganggap kesuksesan
berasal dari keterampilan dan kemampuan. Mereka juga lebih banyak terlibat
dalam memberi imbalan diri setelah sukses dibandingkan anak dengan konsep diri
rendah (Ames, 1978; Ames, Ames & Felker, 1977).
Tingkat perkembangan
juga memengaruhi seleksi atribusi. Kebanyakan anak taman kanak – kanak dan
kelas satu menganut persepsi diri yang tinggi atas kemampuan mereka dan
ekspektasi kesuksesan yang tinggi. Mereka juga lebih mungkin mengatribusikan
kesuksesan dan kegagalan pada keberuntungan ketimbang anak yang lebih tua
(Wigfield & Harold, 1992, h. 102).
Proses Atribusional.
Proses atribusional dimulai dengan hasil yang berkaitan dengan prestasi.
Pemelajar pertama – tama menilai kinerjanya dan memberi nilai subjektif pada
kontinum dari sukses sampai gagal. Kemudian seseorang mengidentifikasi penyebab
hasil atau mulai mencari penyebab yang mungkin.
Identifikasi hasil
sebagai sukses atau gagal menimbulkan reaksi emosional berupa kepuasan, atau
mungkin kesenangan untuk kesuksesan, dan rasa frustrasi atau kecewa untuk
kegagalan (lihat gambar 11.2).
Gambar
2
Kejadian
– kejadian Utama dalam Model Motivasi Atribusional
Pemelajar kemudian
mengidentifikasi atribusi kausal untuk kesuksesan atau kegagalan. Sumber
informasi untuk keputusan ini menyangkut sejarah kesuksesan sebelumnya, norma
sosial dan kinerja orang lain, skema kausal pemelajar, dan karakteristik
individual. Sifat – sifat atau dimensi atribusi yang dipilih akan menghasilkan
emosi tertentu dan mungkin memengaruhi ekspektasi pemelajar untuk hasil yang
akan datang.
Contoh d ari proses
atribusional adalah pemain liga basket Little League yang bermain buruk dalam
satu pertandingan. Anak itu bermain buruk di masa lalu, dan anak lainnya
bermain baik. Anak itu juga telah berusaha meningkatkan kemampuan dengan
berlatih berjam – jam. Berdasarkan sejarah, perbandingan sosial, dan upaya yang
dikerahkan, anak itu kemungkinan menyimpulkan bahwa dia gagal karena memang
tidak pandai main basket (kurang kemampuan) (Weiner, 1985b, h. 566).
Ringkasnya, dasar dari
model atribusional adalah atribusi individual untuk kesuksesan dan kegagalan
hasil dan dimensi atribusi itu. Atribusi tipikal adalah kemampuan, usaha,
kesulitan tugas, dan keberuntungan. Yang lainnya adalah suasana hati, sakit,
keletihan, dan bantuan dari orang lain. Informasi yang memberi kontribusi pada
identifikasi atribusi partikular mencakup petunjuk informasi spesifik, skema
kausal individual, dan predisposisi individual.
2.
PRINSIP
PEMBELAJARAN
Teori motivasional
belum mengembangkan prinsip pembelajaran yang eksplisit. Namun mereka
mengidentifikasi karakteristik pembelajaran kelas yang memengaruhi motivasi
siswa.
a)
Asumsi
Dasar
Asumsi yang sama dari model ekspektasi nilai, model
orientasi tujuan, dan teori atribusi yang berlaku pada pembelajaran kelas.
Asumsi itu adalah (a) motivasi akademik berkembang sebagian dari interaksi
kompleks faktor di kelas dengan faktor di dalam diri siswa; (b) siswa adalah
prosesor aktif dan penafsir aktif atas latar kelas; (c) siswa dapat memikirkan
dan melaporkan persepsi mereka pada orang lain; dan (d) bahwa motivasi adalah
spesifik sesuai subjek artinya nilai dan tujuan siswa mungkin berbeda-beda
untuk subjek pelajaran matematika, biologi, sejarah, sastra, dan pelajaran lainnya.
b)
Pengaruh
Kelas terhadap Motivasi Siswa
Latar
kelas adalah tempat dimana ratusan interaksi terjadi antara siswa dan guru.
Interaksi ini adalah sumber informasi baik bagi keyakinan guru maupun siswa
tentang kemampuan siswa dan keyakinan motivasional siswa. Berikut akan dibahas
struktur kelas, reaksi guru terhadap kinerja siswa, dan implemetasi orientasi
tujuan belajar.
1)
Struktur
Tujuan Kelas
Riset mengenai
orientasi tujuan kinerja dan penguasaan oleh Amesmengindikasi bahwa orientasi
tujuan kelas memengaruhi orientasi tujuan siswa. Aktivitas dan penekanan di
kelas mungkin berorientasi pada penguasaan/kinerja. Kelas yang berorientasi
pada penguasaan menekankan upaya peningkatan dan tantangan. Guru mendukung
ketekunan dan usaha siswa, kesalahan dianggap sebagai kesempatan untuk belajar,
menunjukkan emosi yang positif dan mengajak siswa untuk bertanggung jawab
terhadap pelajarannya. Guru sebaiknya menata kelasnya untuk memaksimalkan
keterlibatan siswa dalam tugas-tugas akademik. Artinya guru membangun lingkungan
agar siswa dapat mengalami peningkatan dan menguasai materi.
2)
Reaksi
Guru Terhadap Kinerja Siswa
Reaksi
guru terhadap keberhasilan atau kegagalan siswa di kelas, untuk penilaian
formal ataupun informal dapat memengaruhi atribusi siswa untuk hasil penilaian.
Secara spesifik, guru mengevaluasi kinerja sebagai kesuksesan atau kegagalan,
memberi atribusi untuk hasil, dan menyampaikan hasil kepada siswa.
3)
Menerapkan
Orientasi Tujuan Belajar
Karakteristik
kelas yang berorientasi belajar antara lain adalah ada kelompok belajar yang
fleksibel, variasi dalam penugasan sesuai tingkat keterampilan siswa, tidak
menonjolkan perbandingan normative, tugas kelompok yang lebih sering,
tolong-menolong sesame teman, dan komentar substansi atas kerja siswa (Stipek
& Daniels, 1988).
Keputusan dan mendesain tugas yang
memberi tantangan yang masuk akal bagi siswa (lihat gambar 3).
|
|
|
|||||||
Pernyataan motivasional guru,
penghargaan dan dukungan untuk siswa, dan ekspresi mereka terhadap belajar
penting dalam menerapkan orientasi tujuan belajar atau penguasaan. Praktik yang
tampak di kelas berorientasi penguasaan di kelas diringkas sebagai berikut.
Partisipasi
Siswa. Dalam satu kelas, guru melibatkan siswa dalam
membuat aturan di kelas.
Otonomi.
Guru
memberi kebebasan di kelas bagi
siswa untuk berbicara dengan orang lain, meraut pensil, dan sebagainya, asalkan
mereka tidak terganggu belajarnya dan tidak mengganggu siswa lain.
Pengakuan
dan dukungan. Guru mengakui upaya belajar siswa dengan
“pujian hangat yang juga terkait dengan tugas, jelas, kontingen, dan kridibel”,
dan tidak terbatas hanya pada sedikit siswa.
Hakikat
Belajar. Guru yang berorientasi penguasaan dalam studi akan
menekankan bahwa belajar adalah proses. Guru mangatakan bahwa melihat, mendengar,
dan berbuat adalah cara belajar dan kelas akan melakukan ketiganya.
c)
Mengembangkan
Program untuk Perubahan Motivasional
Satu jenis pola
motivasi yang maladatif adalah penurunan keyakinan motivasional positif pada
beberapa siswa selama masa sekolah. Di antaranya adalah keyakinan kompetensi,
ekspektasi kesuksesan, arti penting dan kemanfaatan pelajaran sekolah,
penurunan semangat pada tujuan penguasaan, dan perubahan dalam atribusi untuk
kegagalan dari yang dikaitkan dengan usaha ke yang dikaitkan dengan kemampuan.
Pendekatan yang
didiskusikan adalah menekankan keterlibatan membaca, yang mencakup variable
motivasional dan kognitif. Karakteristik
esensialnnya mencakup menerapkan pembelajaran berbasis standar yang
terintergrasi dan mendalam, menjaga penekanan pada numerisasi dan literisasi.
Isu motivasi yang terkait adalah relasi antara perilaku disruptif dan tujuan
kelas. Jenis kedua dari keyakinan motivasi maladaftif disebut sebagai
“keputusan yang dipelajari”. Program latihan atribusi yang diterapkan dengan
siswa “berputus asa” dan siswa dengan kesulitan belajar mengandung tiga tujuan,
yaitu: a) untuk mengarahkan siswa focus
pada tugas ketimbang pada rasa takut gagal; b) mendorong siswa untuk merunut
kembali tindakan mereka dalam situasi pemecahan masalah untuk menentukan
strategi alternative; dan c) membantu siswa mengatribusikan kegagalan pada
usaha yang kurang ketimbang pada kurangnnya kecerdasan.
Review atas 20
intervensi latihan atribusi oleh Robertson(2000) menghasilkan lima rekomendasi yang dapat diihat pada Tabel
11.8.
TABEL
8
Rekomendasikan
untuk Latihan Atribusi
a)
Atribusi ke kemampuan dan usaha haruslah akurat
agar bisa memengaruhi motivasi.
b)
Mendorong atribusi kesuksesan pada penggunakan
strategi, bukan pada kemampuan dan usaha.
c)
Mengombinasikan latihan atribusi dengan
pembelajaran strategi dilakukan hanya ketika pembelajaran tidak memahami
relasi kasual antara penggunaan strategi dan kesuksesan dan kegagalan.
d)
Model teman sebaya akan lebih efektif ketimbang
metode tidak langsung dalam mendemontrasikan efek dari atribusi atau
penggunaan strategi.
e)
Tidak direkomendasikan latihan atribusi pada satu
kelompok besar.
|
Pertama, pastikan bahwa anak memiliki
kemampuan anak sukses pada tugas khusus sebelum memperkenalkan atrubusi untuk
usaha. Kedua, mendorong atribusi siswa ke penggunaan strategi. Ketiga,
pelatihan atribusi sebagai tambahan latihan strategi adalah tidak diperlukan
kecuali anak tidak memahami hubungan kasual. Keempat, model teman sebaya lebih
efektif ketimbang guru. Kelima, latihan atribusi tidak boleh dilakukan pada
kelompok besar.
3.
APLIKASI
PENDIDIKAN
Kontribusi utama dari
perspektif motivasional untuk pendidikan adalah analisis interaksi kelas. pada
skala yang lebih luas, teori atribusi mengandung implikasi bagi cara kultur
kita mendifinisikan kesuksesan.
a)
Isu
Kelas
Isu-isu tentang
karakterristik siswa, proses kognitif dan pembelajaran, dan konteks social
untuk belajar.
b)
Karakteristik
Pemelajar
Karakteristik yang
menjadi perhatian utama bagi pendidikan adalah perbedaan individu, kesiapan untuk
belajar, dan motivasi. Perbedaan Individual, model motivasional dan teori
motivasi mengindentifikasikan beragam factor, seperti sejarah prestasi dan
konteks social pemelajar. Kesiapan belajar, meskipun kesiapan belum diriset
oleh perspektif motivasional, implikasinya sudah jelas. Motivasi, teori- teori
belajar biasanya memperlakukan motivasi sebagai konsep yang dekat prinsip untuk
menciptakan belajar pada siswa.
c)
Proses
Kogtinif dan Pembelajaran
Tiga isu kognitif yang
memiliki arti penting bagi pendidikan adalah transfer belajar, pembelajaran
memecahkan masalah, dan mempelajari keterampilan bagaimana belajar. Pespektif
motivasional mengidentifikasikan bahwa strategi penghindaran dan merintangi
diri yang kemungkinan ditransfer ke tugas prestasi selanjutnya sebagai
pendekatan pemecahan masalah yang maladatif.
d)
Implikasi Untuk Penilaiaan
Salah satu
alternatif adalah beberapa variasi dari model belakar pengusahaan Bloom (1968).
Kebanyakan siswa dapat menguasai pelajaran disekolah umum jika diberi waktu
tambahan untuk belajar. Fungsi penilaian formatif adalah memberi umpan balik
pada guru dan siswa tentang kekeliruan dan kesalahan pemahaman siswa. Keyakinan
bahwa penerapan penilaian formatif mungkin mencegah beberapa kasus kegagalan.
Kelemahan dari model ini adalah dibutuhkan waktu belajar tambahan untuk konsep
yang belum dikuasai dan kesulitan dalam menangani masalah yang parah, seperti
keterampilan membaca yang rendah.
e)
Hubungan dengan Perspektif lain
Perspektif
motivasional mengindetifikasi pemelajar sebagai faktor utama dalam pengembangan
motivasi untuk belajar disekolah. Melalui interpretasi atas informasi dalam
latar social dan pengalaman masa lalu, pemelajar mengembangkan keyakinan yang
menguatkan atau melemahkan keterlibatan dalam tugas yang berkaitan dengan
prestasi.
f)
Mengembangkan Strategi Kelas
Langkah 1 : Merestrukturisasi tujuan kelas dalam
pengertian proses belajar atau strategi
Langkah 2 : Mengidentifikasi metode evaluasi
Langkah 3 : Mengidentifikasi
aktivitas kelas yang 1) tidak menekankan persaingan interpersonal, dan 2)
menfasilitasi pengembangan strategi menangani tugas dan upaya.
Lngkah 4 : Membuat pernyataan tanggapan verbal
yang menyampaikan pesan atribusi yang tepat.
.
PENUTUP
1.
SIMPULAN
a.
Tiga analisis
proses motivasional dalam latar yang berkaitan dengan prestasi adalah model
ekspektasi nilai, model orientasi tujuan, dan atribusi. Asumsi dasar yang sama
dalam tiga analisis ini adalah motivasi individu berkembang dari interaksi
kompleks dari faktor lingkungan dengan faktor di dalam diri anak, siswa adalah
pemroses informasi yang aktif, motivasi, tujuan, atau atribusi siswa merupakan
pengetahuan eksplisit yang dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.
b.
Dua pengaruh
kelas terhadap perkembangan keyakinan motivasional siswa adalah sifat dari
struktural tujuan kelas dan reaksi guru terhadap siswa yang berbeda
kemampuannya. Karakteristik dua kelas yang berorientasi penguasaan mencakup
partisipasi siswa dalam membuat aturan kelas, otonomi siswa, pengakuan dan
dukungan terhadap upaya siswa, dan pandangan terhadap belajar sebagai proses
yang fokus pada pemahaman dan peningkatan.
c.
Aplikasi
perspektif motivasional di kelas mengimplikasikan kebutuhan akan strategi
proaktif ketimbang mengandalkan pada respons reaktif terhadap aktivitas siswa
yang berkaitan dengan prestasi. Tujuan kelas ditekankan pada meningkatkan
strategi belajar, waktu kelas distrukturisasikan untuk meminimalkan kompetisi
antarpribadi, dan umpan balik pada siswa meminimalkan atribusi ke kemampuan
atau kurangnya kemampuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar