Selasa, 07 Januari 2014

PENGKONDISIAN KLASIK DAN KONEKSIONISME



A.    PENGKONDISIAN KLASIK DAN KONEKSIONISME
Dua pendekatan awal untuk mempelajari perilaku pengkondisian klasik dan koneksionisme. Keduanya pemprioritaskan belajar mengolah berbagai perilaku dalam laboratorium
Argumen dasar behaviorisme
            Perubahan di dalam masyarakat amerika membuka jalan bagi studi perilaku (leahey, 1992). Kota-kota industri menggantikan komunitas pedesaan dan migran urban perlu kertampilan baru. Selain itu filsafat amerika yang baru muncul pragmatisme, menyebut konsekuensi (hasil) konkret sebagai batu uji untuk memvalidasi ide (h.312). dengan kata lain, kebenaran adalah “hal-hal yang bisa dilakukan”
            Dalam konteks ini ,jhon watson mendukung studi perilaku. Alasannya adalah semua organisme menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui respons, dan respons-respons tertentu biasanya disebabkan oleh peristiwa (stimuli) tertentu. Setelah mendalami studi perilaku, watson menemukan riset refleks motorik dari psikolog rusia, V.M. Bekheterev. Karya Bekheterev adalah penting karena dia berhasil memanipulasi reaksi behavioral di dalam laboratorium.
Asumsi dasar
            Istilah behaviorisme merujuk pada beberapa teori yang mengandung tiga asumsi dasar tentang belajar. Asumsi itu adalah
1.      Fokus studi seharusnya adalah perilaku yang dapat diamati, bukan kejadian mental internal atau rekontruksi verbal atas kejadian.
2.      Perilaku harus dipelajari melalui elemennyayang paling sederhana (stimuli spesifik dan respons spesifikas)
3.      Proses belajar adalah perubahan behavioral. Suatu respons khusus terasosiasikan dengan kejadian dari suatu stimulus khusus dalam kehadiran stimulus tersebut.
Pavlov dan pengkondisian klasik atau refleks
Eksperimen terkenal terhadap refleks dilakukan di laboratorium ivan pavlov. Kisah riset pavlov yang secara tidak sengaja menemukan cara untuk mengontrol perilaku sederhana saat meneliti refleks keluarnya air liur anjing. Menurut kisahnya , menemukan bahwa reaksi tidak sengaja, keluarnya air liur dapat dilatih untuk merespons suara yang tidak berhubungan dengan makanan.
Pavlov dan kaum bolshevik.
Pada masa revolusi bolshevik (1917-1921) adalah masa-masa sulit bagi pavlov, keluarganya dan laboratoriumnya. Pada juni 1920, saat dia berusia 70 tahun , pavlov menulis surat kepada pemerintah untuk minta izin meremigrasi. Karena ada larangan emigrasi ilmuan yang terkenal di tingkat internasional, maka pemerintah memberi pavlov status khusus. Dia menerima tunjangan hidup, jatah makanan, mendapatkan kerja, dan dukungan laboratorium.
Riset di laboratorium pavlov
            Fokus dari riset yang diawasi oleh pavlov adalah refleks air liur anjing. Selama jalannya riset, seorang mahasiswa perisat menemukan bahwa menggoda anjing dari jarak jauh akan menimbulkan air liur (windholz 1997, h.242). pavlov menyebutnya dengan refleks yang dikondisikan.
            Riset berikutnya oleh V.N. Boldyrev menemukan bahwa refleks air liur ini bisa dilatih untuk merespons (dikondisikan) objek-objek atau kejadian dari modalitas indrawi-suara, penglihatan,atau sentuhan (windholz, 1997). Riset di laboratorium pavlov ini penting karena dua sebab. Perama, ia menunjukan bahwa reaksi keluarnya air liur adalah refleks / reaksi spontan yang terjadi secara otomatis ketika menerima stimulus tertentu. Kedua, mengubah relasi alamiah antara stimulus dan reaksi itu dianggap sebagai terobosan penting dalam studi perilaku.
Paradigma pengkondisian klasik
            Proses di mana kejadian atau stimuli mampu memicu respons dikenal sebagai refleks atau pengkondisian klasik. Proses pengkondisian klasik terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pra-eksperimental atau relasi alami antara stimulus dan reaksi. Tahap kedua, periset memasangkan stimulus asli dengan stimulus baru yang tidak ada kaitannya dengan reaksi. Setelah beberapa kali pengulangan, yang disebut percobaan, stimulus baru itu dapat menimbulkan reaksi (tahap ketiga).

Tabel 1
Contoh pengkondisian klasik
Relasi pra-eksperimental (alamiah)
Percobaan eksperimental
Relasi pasca-eksperimental (dikondisikan)
Unconditioned stimulus (USC)
Respons refleks (UCR)
Stimuli yang dipasangkan
Respons refleks
Conditioned stimulus (CS)
Conditined refleks (CR)
Makanan
Salivasi (keluarnya air liur)
Makanan suara garpu
Salivasi
Suara garpu
Salivasi
Tiupan angin
Kedipan mata
Tiupan angin
Cahaya terang
Kedipan mata
Cahaya terang
Kedipan mata
Setrum listrik
Retraksi jari
Setrum pengaget
Retraksi jari
Pengaget
Retraksi jari

            Dalam reaksi ilmiah, stimulus dan reaksi otomatisnya disebut sebagai uncondinioned stimulus (UCS) atau stimulus yang tidak dikondisikan, dan unconditioned response (UCR) atau respons yang tidak dikondisikan. Dalam relasi yang baru, yang terbentuk sebagai hasil dari training, stimulus baru itu disebut conditioned stimulus (CS). Reaksi yang terlatih merespons stimulus baru disebut conditioned respons (CR).
            Pavlov (1927) juga meneliti proses pengkondisian di level yang lebih tinggi. Periset memasangkan stimulus kedua untuk mengkondisikan (CS2) dengan stimulus yang dikondisikan pertama (CS1), bukan dengan stimulus yang belum dikondisikan (UCS). Akan tetapi, relasi ini tampaknya hanya berumur pendek.
            Dua efek atau akibat lain yang bertahan lama dari pengkondisian pavlovian adalah: (a) munculnya riset terhadap kelangsungan hidup hewan di lingkungan alam; (b) perkembangan proses yang disebut kontra pengkondisian (counterconditioning). Riset terhadap mekanisme kelangsungan hidup menunjukkan bahwa hewan belajar merespons isyarat lingkungan yang mengindikasikan adanya kehadiran predator. Kontra pengkondisian antara lain adalah metode untuk menangani neurosis hewan dan menjadi dasar bagi terapi perilaku klinis untuk masalah manusia. Neurosis hewan berkembang ketika stimuli lingkungan yang dikondisikan menguasai reaksi tipikal hewan dan menimbulkan reaksi kecemasan atau neurotik.
Pengkondisian klasik dan reaksi obat. Hasil ketiga dari riset pavlovian adalah identifikasi atas petunjuk yang memengaruhi reaksi dalam gangguan substansi habitual. Pavlov mengamati bahwa setelah beberapa waktu reaksi air liur menjadi respons terhadap kedatangan orang yang memberi makanan. Melihat orang memberi makan menjadi semacam petunjuk bahwa makanan akan datang dan hal itu menyebabkan air liur keluar. Contoh ini, reaksi terhadap isyarat sebelum datangnya makanan, juga menjelaskan relasi yang terjadi di dalam laboratorium dan studi klinis terhadap kecanduan obat. Setelah beberapa kali pemberian obat, petunjuk yang diasosiasikan dengan pemberian obat akan menyebabkan respons yang disebut conditionali-compensatory responses (CCrs). CCrs adalah penting karena ia melemahkan efek dari obat tertentu yang sedang diberikan.
            Dalam studi klinis, penurunan efekdari obat tertentu setelah pengulangan pemberian disebut sebagai toleransi obat. Ini adalah hasil dari CCRs yang ditimbulkan oleh isyarat pemberian obat, yang melemahkan efek obat. Periset telah mendokumentasikan CCCRs pada beberapa obat, termasuk obat yang kerap disalahgunakan.
            Petunjuk pra obat paling penting yang memunculkan CCRs adalah konteks di mana obat itu diberikan. Petunjuk pra-pemberian obat dari latar yang sama untuk pemberian secara perlahan akan memperkuat asosiasi CCRs; dengan kata lain toleransi obat adalah tergantung situasi .
Gambar 1
Urutan kejadian dalam penggunaan obat
UCR
Detak jantung meningkat
USC
pemberian injeksi adrenalin
Tahap 1



Pemberian injeksi adrenalin
CCR
Detak jantung turun
Kenaikan detak jantung
CS
Isyarat pemberian obat
Persiapan injeksi
Tahap 2





Koneksionisme Edward Thorndike
            Walaupun koneksionisme Edward Thorndike biasanya dirujuk sebagai teori behavioris, ia berbeda dengan pengkondisian klasik dalam dua hal. Pertama, Thorndike tertarik dengan proses mental, dan ia menyusun eksperimennya untuk meneliti proses pemikiran binatang. Kedua, Thorndike meneliti perilaku mandiri atau sukarela. Pandangan Thorndike tidak segera diterima luas. Namun, saat riset Thorndike semakin dikenal, ia menyebabkan munculnya banyak laboratorium untuk melakukan penelitian perilaku hewan.

Prosedur Eksperimental
            Thorndike melakukan suatu penelitian dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Prosedur eksperimen yang dituju ialah membuat agar hewan bisa keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan. Ketika dikurung hewan cenderung  melakukan berbagai perilaku, seperti mencakar, menggigit, menggaruk, dan menggesek-gesekkan badan ke sisi sangkar. Tidak lama kemudian hewan akan terpaksa belajar membuka kurungan guna mendapatkan makanan. Berdasarkan data percobaan yang telah didapat, dia menyimpulkan bahwa respons melarikan diri dari para hewan pelan-pelan berhasil tercapai dalam belajar trial-end-error. Karena alasan ini, teori Thorndike dideskripsikan sebagai teori asosiasi.

Hukum Belajar
            Thorndike mengidentifikasi tiga hukum belajar untuk menjelaskan proses. Pertama, hukum efek (law of effects) yang menjelaskan bahwa suatu keadaan yang memuaskan/melegakan setelah terjadi respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan perilaku yang semestinya diinginkan, dan keadaan yang menjengkelkan/yang tidak diharapkan akan melemahkan hubungan tersebut.  Kedua, hukum latihan (law of exercise) menjelaskan bahwa perulangan dari pengalaman akan meningkatkan peluang respons yang benar. Ketiga, hukum kesiapan (law of readiness) menjabarkan kondisi yang mengatur keadaan yang disebut sebagai “memuaskan” atau “menjengkelkan”.
Aplikasi ke Belajar di Sekolah
            Thorndike mendasarkan interpretasinya atas proses belajar pada studi perilaku. Namun, karena teorinya juga mencakup referensi ke kejadian mental, teorinya berada di tengah-tengah antara perspektif kognitif dan behaviorisme “murni” dari periset lain. Menurutnya, hubungan antara ide-ide akan menghasilkan pengetahuan (Thorndike, 1931b, h. 19). Sistem ini mencakup contoh spesifik. Thorndike memiliki aturan untuk pengajaran yang mengandung persyaratan untuk membangun suatu hubungan antara stimuli dan respons. Secara spesifik : a) jangan membentuk hubungan yang akan putus; dan  b) bentuk ikatan sedemikian rupa sehingga kelak perlu ditindaklanjuti (Thorndike,1992, h. 101). Thorndike juga mendeskripsikan lima hukum minor yang merupakan upaya pertama untuk menjelaskan kompleksitas kemampuan belajar manusia. Misalnya, hukum respons berganda menyatakan sering muncul brbagai respons awal terhadap stimulus, seperti belajar memukul bola  menggunakan raket dalam olahraga badminton.
            Koneksionisme menekankan pada pembentukan hubungan antara stimuli dan respons. Aplikasinya untuk mata pelajaran sekolah merupakan salah satu contoh focus dari Thorndike, yakni  mengembangkan psikologi pendidikan berdasarkan data empiris (Beatty, 1993). Thorndike juga meneliti transfer belajar dari study yang dilakukan dengan Woodworth (1901), menemukan jika latihan untuk tugas tertentu akan membantu belajar selanjutnya hanya bila tugasnya sama.

Kembali ke Laboratorium
            Thorndike memiliki pendapat bahwa laboratorium yang tepat sebagai riset adalah kelas dan subjeknya adalah siswa (Shulmsn, 1970).
Tujuan penelitian selama era 1920-an dan 1930 adalah mengembangkan teori komprehensif yang akan menjelaskan semua aspek belajar. Dua pendekatan belajar lainnya, yang disebut teori S-R, dikembangkan oleh Clark Hull dan Edwin Guthrie. Hull menjelaskan penguatan sebagai pemenuhan kebutuhan biologis dan Guthrie mengidentifikasi prinsip belajar tunggal, asosiasi atau kontiguitas dari stimulus dan respons.

B.  PSIKOLOGI GESTALT
Fokus awal riset Gestalt adalah pegalaman persepsi. Riset yag dilakukan psikolog Gestalt terhadap persepsi  visual menunjukkan bahwa ciri global dideteksi sebagai keseluruhan bukan sebagai elemen-elemen sederhana, dan proses ini konstruktif karena individual sering mentrasnformasikan input visual yang tidak lengkap ke dalam citra persetual yang lebih jelas (Lehar, 2003, h. 51). Psikolog Gestalt berfungsi sebagai penentang behaviorisme dipertengahan abad ke-20 yang fokus pada persespsi dalam belajar.
Asal Muasal                                 
Christian von Ehrenfels dalam sebuah makalah pada 1890 memberikan basis untuk psikolog Gestalt. Dia menunjukkan bahwa kualitas akan tampak dalam persepsi bersama dengan elemen-elemen yang terindra secara terpisah dari suatu pengalaman. Seperti Gestaltqualitat, yakni kualitas yang diberikan oleh sebuah pola (Murphy, 1949, h. 226).
Asumsi Dasar
Asumsi pertama, teoritis Gestalt berpendapat bahwa yang harus dipelajari adalah prilaku “molar”, bukan prilaku “molecular”. Asumsi kedua dan ketiga, menyatakan bahwa individu memahami aspek dari lingkungan sabagai organisasi stimuli dan merespons berdasarkan persepsi tersebut.
Asumsi
Contoh
1.      Yang mestinya dipelajari adalah prilaku molar, bukan prilaku molecular (kontraksi otot atau sekresi kelenjar.
Kinerja seseorang mahasiswa di kelas saat dosen memerikan kuliah (Koffka, 1935. h. 27).
2.      Organisme merespons “keseluruhan sensoris yang tersegregasi” atau Gastalten (Kohler, 1929, h. 174) ketimbangan pada stimuli spesifik atau kejadian-kejadian yang terpisah dan independen.
Susunan geometris dari 11 titik dilihat sebagai salib.

3.      Lingkungan geografis, yang hadir sebagaimana adanya berbeda dengan lingkungan behavioral, yang merupakan cara sesuatu muncul. Lingkungan behavioral adalah realitas subjektif.
Koffka (1935, h. 39) mendeskripsikan pristiwa seorang pria mengendarai kuda melewati dataran di tengah badai salju menuju sebuah penginapan. Pemilik penginapan terkejut dan bertanya apakah lelaki itu tahu dia berkuda diatas danau yang membeku. Ceritanya lelaki itu jatuh dan mati karena terkejut ketika sadar dirinya sudah menyeberangi danau berlapis es tipis sepanjang bermil-mil. 
4.      Organisasi lingkungan sensoris adalah interaksi dinamis dari kekuatan-kekuatan di dalam struktur yang mempengaruhi persepsi individu.
Tiga pola dibawah ini adalah proyeksi dari kubus yang sama namun dipersepsikan secara berbeda berdasar relasi dari garis-garisnya.
 





Hukum Organisasi Perseptual
Gestalt berpendapat bahwa tugas utama psikolog adalah mengetahui bagaimana individu secara psikologi memahami atau mempersepsi lingkungan geografis. Hukum Gestalt dasar, yakni hukum Pragnanz dan hukum terkait primer yang mendeskripsikan semua pengaruh ini.
 Hukum Pragnanz menunjukkan pengorganisasian psikologis terhadap sekelompok stimuli. Dalam setiap rangkaian stimulus, organisasinya dipersepsikan oleh individu sebagai satu stimuli yang paling komprehensif, paling stabil dan juga bebas dari sebab akibat dan arbitrer (Murphy, 1949).
Hukum terkait merupakan hukum organisasi perseptual mendeskripsikan empat karakteristik utama dari bidang visual yang mempengaruhi persepsi. Karakteristik itu adalah kedekan dari setiap elemen (proximity), ciri yang sama, seperti warna (smilarity), tendensi elemen untuk melengkapi pola (open direction), dan kontribusi elemen stimulus terhadap struktur sederhana keseluruhan (simplicity) (Wertheimer, 1938)
Riset tentang Belajar dan Pemecahan Masalah
Psikolog Gestalt memiliki beberapa konsep dalam memahami pemecahan masalah yaitu konsep wawasan, perbadaan antara balajar tanpa makna (arbitrer) dan balajar bermakna, serta studi pemecahan masalah. Kontribusi paling masyhur dari teori Gestalt adalah apa yang disebut sebagai pengalaman “wawasan” atau pemahaman (insight) yang melibatkan reorganisasi persepsi sesorang untuk melihat solusi. Wawasan merujuk pada tipe perilaku yang tidak dapat direduksi ke tipe lain . Wawasan juga tidak selalu muncul dalam satu langkah saja, terkadang dibutuhkan satu atau dua langkah , dimana masing-masing langkah adalah bagian dari wawasan (Koffka, 1935). Analisis kontemporer mengindikasikan bahwa pemahaman kreatif pada masalah baru memerlukan kerja keras dan riset, periode inkubasi, momen wawasan, dan pengkajian lebih lanjut. Dalam kehidupan sehari-hari, wawasan terhadap masalah mungkin diperoleh melalui pengaturan kembali beberapa aspek dari persoalan, elaborasi, dan relaksasi pembatas. Kesulitan dalam melakukan riset tentang wawasan adalah kurangnya definisi yang jelas (Schooler, Fallshore, & Fiore, 1995).
            Kontribusi lain dari psikologi Gestalt adalah pembedaan oleh Wertheimer, yakni dalam mengaplikasi konsep struktur dan keseluruhan ke dalam analisis belajar, Weitheimer membedakan antara metode belajar :tanpa makna” dan belajar “bermakna” di kelas. Weitheimer mengamati bahwa setelah anak mempelajari pendekatan pemecahan masalah tertentu, mereka sering kali tidak mampu melihat pendekatan lain untuk tugas serupa. Mereka biasanya akan berkata “kami belum tahu.” Penyediaan informasi yang membantu siswa untuk mereorganisasikan sudut pandang masalah harus menjadi bagian integral dari pengajaran pemecahan masalah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pemecahan masalah, yakni latihan mentransfer, pendekatan masalah dan kekakuan fungsional, dan belenggu masalah.
Karl Duncker (1926) mencatat bahwa kebanyakan teori berusaha menjelaskan pemecahan masalah yang berkenaan dengan “factor ketiga”, seperti sebagai pengalaman masa lalu. Akan tetapi analisis Duncker terhadap pemecahan masalah yang sukses mengidentifikasikan ada tiga langkah umum. Langkah itu adalah  (a)Memahami konflik atau masalah, (b) Mengembangkan identifikasi secara jelas atau kesulitan dasar,  (c) Mengembangkan solusi masalah untuk mengatasi kesulitan dasar.
Kekakuan fungsional adalah kesulitan perceptual dalam pemecahan masalah, hal ini disebabkan karena ketidak mampuan untuk melihat elemen-elemen dari masalah dengan cara baru. Konsep yang terkait adalah belenggu masalah. Konsep ini diidentifikasi oleh Abraham Lunchins (1942), yang diartikan sebagai kekakuan dalam pemecahan masalah dimana individu menganggap serangkaian masalah harus dipecahkan dengan cara yang sama. Perkambangan lain dari teori gestalt adalah aplikasi konsep gestalt ke formasi kelompok sosial dan motivasi serta konsep balajar laten.
C.  PERBANDINGAN TEORI BEHAVIORISME DAN GESTALT
Kedua teori ini mengilustrasikan perkembangan pengetahuan melalui pengukuran yang akurat dan riset dalam kondisi yang terkontrol.

Aplikasi ke Pendidikan
Psikologi Behaviorisme dan Gestalt mendasarkan risetnya pada asumsi yang berbeda mengenai sifat dan belajar serta fokus studinya. Behaviorisme mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku dan mengidentifikasi stimuli dan respons spesifik sebagai focus riset, sedangkan psikologi Gestalt berpendapat bahwa seseorang merespons stimuli yang terorganisasi dan persepsi perorangan adalah faktor penting untuk memecahkan masalah.

Behaviorisme
Pengkondisian klasik juga membahas aspek-aspek dari situasi sehari-hari, misalnya untuk hari pertama anak, di kelas taman kanak-kanak dan sekolah dasar, aktivitas yang dilakukan haruslah kegiatan yang dapat menghindari asosiasi kecemasan dan perasaan negative lainnya terhadap latar sekolah. Guthrie juga menyarankan guru untuk mengasosiasikan stimuli dan respons secara tepat. Misalnya, guru harus memastikan bahwa instruksi seperti mengantri makan siang tidak menimbulkan perilaku distruptif. Masalahnya adalah bahwa sebuah perintah dapat menjadi petunjuk untuk munculnya perilaku distruptif di masa depan.

Psikologi Gestalt
Isu yang diangkat psikologi Gestalt untuk masalah pendidikan adalah soal makna, pemahaman, dan wawasan yang merupakan karakteristik manusia. Komputer, dapat menjadi pemecah masalah manusia, setelah masalahnya dipahami.
Kesulitan dalam mengaplikasikan perspektif Gestalt di kelas adalah kurangnya prinsip yang terdefinisikan dengan jelas. Periset Gestalt mengemukakan beberapa saran untuk pembelajaran memecahkan masalah, yaitu :
a.       membuat tugas dalam belajar di dalam situasi yang konkrit dan akurat.
b.    asistensi selama pemecahan masalah tidak boleh berupa prosedur pengulangan dan peniruan.


Tabel 1.1
Perbandingan Teori Behaviorisme dan Gestalt
Karakteristik Utama
Behaviorisme
Teori Gestalt
Asumsi dasar
a.       Perilaku dapat diamati
b.      Belajar adalah perubahan
c.       Hubungan stimuli dan respon harus dipelajari
Individu bereaksi kepada sebuah kesatuan
Eksperimen umum
·      Trial dan error
·      Respon emosional atau refleks
Mereorganisasi kembali
Formula belajar
·      Stimulus – respon – imbalan
·      Respon emosional :
Stimuli 1 + simuli 2 = respon
Konstelasi stimuli organisasi-reaksi

Pendukung behaviorisme dan teori Gestalt membedakan paling tidak tiga cara dari para filsufuf yang mencoba untuk mendefinisikan pembelajaran. Pertama, para psikolog berdasarkan teori mereka tentang observasi eksperimental terhadap perilaku. Kedua, mereka membangun hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang teruji. Ketiga, mereka menerapkan prinsip-prinsip mereka pada situasi dunia nyata. Thorndike menerapkan teori pembentukan kebiasaan itu pada anasis subjek-subjek sekolah. Watson mengkondisikan reaksi takut Albert dan Wertheimer memperluas teori Gestalt pada pemecahan masalah anak-anak.
Kontribusi-kontribusi pada masa ini diantaranya aplikasi-aplikasi kondisi klasikal terhadap reaksi emosional, hukuman yang efektif, peran penemuan terbimbing dalam pemecahan masalah, dan pentingnya pengorganisasian dalam persepsi. Namun, pada pertengahan 1930an, kedua teori behaviorisme dan Gestalt menjadi semakin luas.  Masing-masing perspektif mencoba untuk mengembangkan satu teori yang komprehensif yang akan menjelaskan semua pembelajaran Pada awal 1940an, konflik antara S-R dan posisi Gestalt dikritik ketidakproduktifannya. Dua praktek berkontribusi pada masalah ini (McConnel, 1942). Pertama, istilah-istilah yang digunakan masing-masing perspektif menambah perbedaan diantara keduanya. Contohnya, istilah “insight” dan “connection” menyampaikan gambaran proses pembelajaran yang hebat. Kesulitan tugas mungkin menjadi satu faktor dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya digambarkan oleh para teoris. Jika tugas itu cukup sulit sehingga pelajar tidak dapat membangun hubungan dengan situasi itu. Subjek harus mengambil jalan percobaan dan kesalahan. Sebaliknya, tugas-tugas yang kurang sulit dimana pengalaman masa lalu mungkin berperan dan dilawan secara cepat dan akurat. Maka dari itu, kilasan tentang insight digambarkan oleh para psikolog Gestalt. Dalam beberapa kasus termasuk transfer melalui unsur-unsur sama (McConnel, 1942, hal 26).
            Kedua, gambaran berbeda pembelajaran yang dibangun pada bagian konteks eksperimen. Tugas-tugas dapat diklasifikasikan menurut jumlah penemuan yang dibutuhkan untuk membuat respon yang benar. Pembelajaran di luar kempala, contohnya direfleksikan dalam eksperimen yang sederhana sedangkan situasi yang tak terstruktut dan rumit membutuhkan pengorganisasian kembali pengalaman masa lalu dan penemuan pelajar akan pola perilaku yang seseuai (McConnell, 1942).
            Pentingnya teori Thorndike adalah bukan sebuah perspektif bhavioris yang kaku. Dalam pandangannya, hubungan antara ide-ide memperhitungkan porsi utam pengetahuan.
            Pada dekade 1950an, ketertarikan pada perkembangan semua kemunduran teori yang tercakup. Hilgard (1964), dalam ulasannya akhir dari masa perkembangan teorinya mencatat perdebatan besar antara teori-teori komprehensif yang sekarang berlebihan.

1 komentar: