A.
PENGKONDISIAN KLASIK DAN KONEKSIONISME
Dua
pendekatan awal untuk mempelajari perilaku pengkondisian klasik dan
koneksionisme. Keduanya pemprioritaskan belajar mengolah berbagai perilaku
dalam laboratorium
Argumen dasar behaviorisme
Perubahan di dalam masyarakat
amerika membuka jalan bagi studi perilaku (leahey, 1992). Kota-kota industri
menggantikan komunitas pedesaan dan migran urban perlu kertampilan baru. Selain
itu filsafat amerika yang baru muncul pragmatisme, menyebut konsekuensi (hasil)
konkret sebagai batu uji untuk memvalidasi ide (h.312). dengan kata lain,
kebenaran adalah “hal-hal yang bisa dilakukan”
Dalam konteks ini ,jhon watson
mendukung studi perilaku. Alasannya adalah semua organisme menyesuaikan diri
dengan lingkungan melalui respons, dan respons-respons tertentu biasanya
disebabkan oleh peristiwa (stimuli) tertentu. Setelah mendalami studi perilaku,
watson menemukan riset refleks motorik dari psikolog rusia, V.M. Bekheterev.
Karya Bekheterev adalah penting karena dia berhasil memanipulasi reaksi
behavioral di dalam laboratorium.
Asumsi dasar
Istilah behaviorisme merujuk pada
beberapa teori yang mengandung tiga asumsi dasar tentang belajar. Asumsi itu
adalah
1. Fokus studi seharusnya adalah perilaku yang dapat
diamati, bukan kejadian mental internal atau rekontruksi verbal atas kejadian.
2. Perilaku harus dipelajari melalui elemennyayang
paling sederhana (stimuli spesifik dan respons spesifikas)
3. Proses belajar adalah perubahan behavioral. Suatu
respons khusus terasosiasikan dengan kejadian dari suatu stimulus khusus dalam
kehadiran stimulus tersebut.
Pavlov dan pengkondisian klasik atau refleks
Eksperimen
terkenal terhadap refleks dilakukan di laboratorium ivan pavlov. Kisah riset
pavlov yang secara tidak sengaja menemukan cara untuk mengontrol perilaku
sederhana saat meneliti refleks keluarnya air liur anjing. Menurut kisahnya ,
menemukan bahwa reaksi tidak sengaja, keluarnya air liur dapat dilatih untuk
merespons suara yang tidak berhubungan dengan makanan.
Pavlov dan kaum bolshevik.
Pada
masa revolusi bolshevik (1917-1921) adalah masa-masa sulit bagi pavlov,
keluarganya dan laboratoriumnya. Pada juni 1920, saat dia berusia 70 tahun ,
pavlov menulis surat kepada pemerintah untuk minta izin meremigrasi. Karena ada
larangan emigrasi ilmuan yang terkenal di tingkat internasional, maka
pemerintah memberi pavlov status khusus. Dia menerima tunjangan hidup, jatah
makanan, mendapatkan kerja, dan dukungan laboratorium.
Riset di laboratorium pavlov
Fokus dari riset yang diawasi oleh
pavlov adalah refleks air liur anjing. Selama jalannya riset, seorang mahasiswa
perisat menemukan bahwa menggoda anjing dari jarak jauh akan menimbulkan air
liur (windholz 1997, h.242). pavlov menyebutnya dengan refleks yang
dikondisikan.
Riset berikutnya oleh V.N. Boldyrev
menemukan bahwa refleks air liur ini bisa dilatih untuk merespons
(dikondisikan) objek-objek atau kejadian dari modalitas indrawi-suara,
penglihatan,atau sentuhan (windholz, 1997). Riset di laboratorium pavlov ini
penting karena dua sebab. Perama, ia menunjukan bahwa reaksi keluarnya air liur
adalah refleks / reaksi spontan yang terjadi secara otomatis ketika menerima
stimulus tertentu. Kedua, mengubah relasi alamiah antara stimulus dan reaksi
itu dianggap sebagai terobosan penting dalam studi perilaku.
Paradigma pengkondisian klasik
Proses di mana kejadian atau stimuli
mampu memicu respons dikenal sebagai refleks atau pengkondisian klasik. Proses
pengkondisian klasik terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah
pra-eksperimental atau relasi alami antara stimulus dan reaksi. Tahap kedua,
periset memasangkan stimulus asli dengan stimulus baru yang tidak ada kaitannya
dengan reaksi. Setelah beberapa kali pengulangan, yang disebut percobaan,
stimulus baru itu dapat menimbulkan reaksi (tahap ketiga).
Tabel 1
Contoh
pengkondisian klasik
Relasi pra-eksperimental (alamiah)
|
Percobaan eksperimental
|
Relasi pasca-eksperimental (dikondisikan)
|
|||
Unconditioned stimulus (USC)
|
Respons refleks (UCR)
|
Stimuli yang dipasangkan
|
Respons refleks
|
Conditioned stimulus (CS)
|
Conditined refleks (CR)
|
Makanan
|
Salivasi (keluarnya air liur)
|
Makanan suara garpu
|
Salivasi
|
Suara garpu
|
Salivasi
|
Tiupan angin
|
Kedipan mata
|
Tiupan angin
Cahaya terang
|
Kedipan mata
|
Cahaya terang
|
Kedipan mata
|
Setrum listrik
|
Retraksi jari
|
Setrum pengaget
|
Retraksi jari
|
Pengaget
|
Retraksi jari
|
Dalam reaksi ilmiah, stimulus dan
reaksi otomatisnya disebut sebagai uncondinioned stimulus (UCS) atau stimulus
yang tidak dikondisikan, dan unconditioned response (UCR) atau respons yang
tidak dikondisikan. Dalam relasi yang baru, yang terbentuk sebagai hasil dari
training, stimulus baru itu disebut conditioned stimulus (CS). Reaksi yang
terlatih merespons stimulus baru disebut conditioned respons (CR).
Pavlov (1927) juga meneliti proses
pengkondisian di level yang lebih tinggi. Periset memasangkan stimulus kedua
untuk mengkondisikan (CS2) dengan stimulus yang dikondisikan pertama (CS1),
bukan dengan stimulus yang belum dikondisikan (UCS). Akan tetapi, relasi ini
tampaknya hanya berumur pendek.
Dua efek atau akibat lain yang
bertahan lama dari pengkondisian pavlovian adalah: (a) munculnya riset terhadap
kelangsungan hidup hewan di lingkungan alam; (b) perkembangan proses yang
disebut kontra pengkondisian (counterconditioning). Riset terhadap mekanisme
kelangsungan hidup menunjukkan bahwa hewan belajar merespons isyarat lingkungan
yang mengindikasikan adanya kehadiran predator. Kontra pengkondisian antara
lain adalah metode untuk menangani neurosis hewan dan menjadi dasar bagi terapi
perilaku klinis untuk masalah manusia. Neurosis hewan berkembang ketika stimuli
lingkungan yang dikondisikan menguasai reaksi tipikal hewan dan menimbulkan
reaksi kecemasan atau neurotik.
Pengkondisian
klasik dan reaksi obat. Hasil ketiga dari riset pavlovian adalah identifikasi
atas petunjuk yang memengaruhi reaksi dalam gangguan substansi habitual. Pavlov
mengamati bahwa setelah beberapa waktu reaksi air liur menjadi respons terhadap
kedatangan orang yang memberi makanan. Melihat orang memberi makan menjadi
semacam petunjuk bahwa makanan akan datang dan hal itu menyebabkan air liur
keluar. Contoh ini, reaksi terhadap isyarat sebelum datangnya makanan, juga
menjelaskan relasi yang terjadi di dalam laboratorium dan studi klinis terhadap
kecanduan obat. Setelah beberapa kali pemberian obat, petunjuk yang
diasosiasikan dengan pemberian obat akan menyebabkan respons yang disebut
conditionali-compensatory responses (CCrs). CCrs adalah penting karena ia
melemahkan efek dari obat tertentu yang sedang diberikan.
Dalam studi klinis, penurunan
efekdari obat tertentu setelah pengulangan pemberian disebut sebagai toleransi
obat. Ini adalah hasil dari CCRs yang ditimbulkan oleh isyarat pemberian obat,
yang melemahkan efek obat. Periset telah mendokumentasikan CCCRs pada beberapa
obat, termasuk obat yang kerap disalahgunakan.
Petunjuk pra obat paling penting
yang memunculkan CCRs adalah konteks di mana obat itu diberikan. Petunjuk
pra-pemberian obat dari latar yang sama untuk pemberian secara perlahan akan
memperkuat asosiasi CCRs; dengan kata lain toleransi obat adalah tergantung
situasi .
Gambar 1
Urutan kejadian
dalam penggunaan obat
UCR
Detak jantung meningkat
|
USC
pemberian injeksi adrenalin
|
Pemberian injeksi adrenalin
|
CCR
Detak jantung turun
|
Kenaikan detak jantung
|
CS
Isyarat pemberian obat
Persiapan injeksi
|
Koneksionisme
Edward Thorndike
Walaupun koneksionisme Edward Thorndike biasanya dirujuk sebagai teori
behavioris, ia berbeda dengan pengkondisian klasik dalam dua hal. Pertama, Thorndike
tertarik dengan proses mental, dan ia menyusun eksperimennya untuk meneliti
proses pemikiran binatang. Kedua, Thorndike meneliti perilaku mandiri
atau sukarela. Pandangan Thorndike tidak segera diterima luas. Namun, saat
riset Thorndike semakin dikenal, ia menyebabkan munculnya banyak laboratorium
untuk melakukan penelitian perilaku hewan.
Prosedur
Eksperimental
Thorndike melakukan suatu penelitian dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing,
dan monyet. Prosedur eksperimen yang dituju ialah membuat agar hewan bisa
keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan. Ketika dikurung hewan cenderung
melakukan berbagai perilaku, seperti
mencakar, menggigit, menggaruk, dan menggesek-gesekkan badan ke sisi sangkar. Tidak
lama kemudian hewan akan terpaksa belajar membuka kurungan guna mendapatkan
makanan. Berdasarkan data percobaan yang telah didapat, dia menyimpulkan bahwa
respons melarikan diri dari para hewan pelan-pelan berhasil tercapai dalam
belajar trial-end-error. Karena alasan ini, teori Thorndike
dideskripsikan sebagai teori asosiasi.
Hukum
Belajar
Thorndike mengidentifikasi tiga hukum
belajar untuk menjelaskan proses. Pertama, hukum efek (law of effects)
yang menjelaskan bahwa suatu keadaan yang memuaskan/melegakan setelah terjadi
respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan perilaku yang semestinya
diinginkan, dan keadaan yang menjengkelkan/yang tidak diharapkan akan
melemahkan hubungan tersebut. Kedua, hukum latihan (law of
exercise) menjelaskan bahwa perulangan dari pengalaman akan meningkatkan
peluang respons yang benar. Ketiga, hukum kesiapan (law of readiness)
menjabarkan kondisi yang mengatur keadaan yang disebut sebagai “memuaskan” atau
“menjengkelkan”.
Aplikasi
ke Belajar di Sekolah
Thorndike mendasarkan
interpretasinya atas proses belajar pada studi perilaku. Namun, karena teorinya
juga mencakup referensi ke kejadian mental, teorinya berada di tengah-tengah
antara perspektif kognitif dan behaviorisme “murni” dari periset lain.
Menurutnya, hubungan antara ide-ide akan menghasilkan pengetahuan (Thorndike,
1931b, h. 19). Sistem ini mencakup contoh spesifik. Thorndike memiliki aturan untuk
pengajaran yang mengandung persyaratan untuk membangun suatu hubungan antara
stimuli dan respons. Secara spesifik : a) jangan membentuk hubungan yang akan
putus; dan b) bentuk ikatan sedemikian rupa sehingga kelak perlu
ditindaklanjuti (Thorndike,1992, h. 101). Thorndike juga mendeskripsikan lima
hukum minor yang merupakan upaya pertama untuk menjelaskan kompleksitas
kemampuan belajar manusia. Misalnya, hukum respons berganda menyatakan sering
muncul brbagai respons awal terhadap stimulus, seperti belajar memukul
bola menggunakan raket dalam olahraga
badminton.
Koneksionisme menekankan pada
pembentukan hubungan antara stimuli dan respons. Aplikasinya untuk mata
pelajaran sekolah merupakan salah satu contoh focus dari Thorndike, yakni mengembangkan psikologi pendidikan
berdasarkan data empiris (Beatty, 1993). Thorndike juga meneliti transfer
belajar dari study yang dilakukan dengan Woodworth (1901), menemukan jika
latihan untuk tugas tertentu akan membantu belajar selanjutnya hanya bila
tugasnya sama.
Kembali ke Laboratorium
Thorndike memiliki pendapat bahwa
laboratorium yang tepat sebagai riset adalah kelas dan subjeknya adalah siswa
(Shulmsn, 1970).
Tujuan
penelitian selama era 1920-an dan 1930 adalah mengembangkan teori komprehensif
yang akan menjelaskan semua aspek belajar. Dua pendekatan belajar lainnya, yang
disebut teori S-R, dikembangkan oleh Clark Hull dan Edwin Guthrie. Hull
menjelaskan penguatan sebagai pemenuhan kebutuhan biologis dan Guthrie
mengidentifikasi prinsip belajar tunggal, asosiasi atau kontiguitas dari
stimulus dan respons.
B.
PSIKOLOGI
GESTALT
Fokus awal riset
Gestalt adalah pegalaman persepsi. Riset yag dilakukan psikolog Gestalt
terhadap persepsi visual menunjukkan
bahwa ciri global dideteksi sebagai keseluruhan bukan sebagai elemen-elemen
sederhana, dan proses ini konstruktif karena individual sering
mentrasnformasikan input visual yang tidak lengkap ke dalam citra persetual
yang lebih jelas (Lehar, 2003, h. 51). Psikolog Gestalt berfungsi sebagai
penentang behaviorisme dipertengahan abad ke-20 yang fokus pada persespsi dalam
belajar.
Asal Muasal
Christian von Ehrenfels
dalam sebuah makalah pada 1890 memberikan basis untuk psikolog Gestalt. Dia
menunjukkan bahwa kualitas akan tampak dalam persepsi bersama dengan
elemen-elemen yang terindra secara terpisah dari suatu pengalaman. Seperti
Gestaltqualitat, yakni kualitas yang diberikan oleh sebuah pola (Murphy, 1949,
h. 226).
Asumsi Dasar
Asumsi pertama, teoritis Gestalt
berpendapat bahwa yang harus dipelajari adalah prilaku “molar”, bukan prilaku
“molecular”. Asumsi kedua dan ketiga, menyatakan bahwa individu memahami aspek
dari lingkungan sabagai organisasi stimuli dan merespons berdasarkan persepsi
tersebut.
Asumsi
|
Contoh
|
1.
Yang mestinya dipelajari adalah prilaku molar, bukan prilaku molecular
(kontraksi otot atau sekresi kelenjar.
|
Kinerja
seseorang mahasiswa di kelas saat dosen memerikan kuliah (Koffka, 1935. h.
27).
|
2.
Organisme merespons “keseluruhan sensoris yang tersegregasi” atau
Gastalten (Kohler, 1929, h. 174) ketimbangan pada stimuli spesifik atau
kejadian-kejadian yang terpisah dan independen.
|
Susunan geometris dari 11 titik dilihat sebagai salib.
|
3.
Lingkungan geografis, yang hadir sebagaimana adanya berbeda dengan
lingkungan behavioral, yang merupakan cara sesuatu muncul. Lingkungan
behavioral adalah realitas subjektif.
|
Koffka
(1935, h. 39) mendeskripsikan pristiwa seorang pria mengendarai kuda melewati
dataran di tengah badai salju menuju sebuah penginapan. Pemilik penginapan
terkejut dan bertanya apakah lelaki itu tahu dia berkuda diatas danau yang
membeku. Ceritanya lelaki itu jatuh dan mati karena terkejut ketika sadar
dirinya sudah menyeberangi danau berlapis es tipis sepanjang bermil-mil.
|
4.
Organisasi lingkungan sensoris adalah interaksi dinamis dari
kekuatan-kekuatan di dalam struktur yang mempengaruhi persepsi individu.
|
Tiga pola
dibawah ini adalah proyeksi dari kubus yang sama namun dipersepsikan secara
berbeda berdasar relasi dari garis-garisnya.
|
Hukum Organisasi Perseptual
Gestalt
berpendapat bahwa tugas utama psikolog adalah mengetahui bagaimana individu
secara psikologi memahami atau mempersepsi lingkungan geografis. Hukum Gestalt
dasar, yakni hukum Pragnanz dan hukum terkait primer yang mendeskripsikan semua
pengaruh ini.
Hukum Pragnanz menunjukkan pengorganisasian psikologis
terhadap sekelompok stimuli. Dalam setiap rangkaian stimulus, organisasinya
dipersepsikan oleh individu sebagai satu stimuli yang paling komprehensif,
paling stabil dan juga bebas dari sebab akibat dan arbitrer (Murphy, 1949).
Hukum terkait merupakan
hukum organisasi perseptual mendeskripsikan empat karakteristik utama dari
bidang visual yang mempengaruhi persepsi. Karakteristik itu adalah kedekan dari
setiap elemen (proximity), ciri yang
sama, seperti warna (smilarity),
tendensi elemen untuk melengkapi pola (open
direction), dan kontribusi elemen stimulus terhadap struktur sederhana
keseluruhan (simplicity) (Wertheimer,
1938)
Riset tentang
Belajar dan Pemecahan Masalah
Psikolog Gestalt memiliki beberapa konsep dalam
memahami pemecahan masalah yaitu konsep wawasan, perbadaan antara balajar tanpa
makna (arbitrer) dan balajar bermakna, serta studi pemecahan masalah.
Kontribusi paling masyhur dari teori Gestalt adalah apa yang disebut sebagai
pengalaman “wawasan” atau pemahaman (insight)
yang melibatkan reorganisasi persepsi sesorang untuk melihat solusi. Wawasan merujuk
pada tipe perilaku yang tidak dapat direduksi ke tipe lain . Wawasan juga tidak
selalu muncul dalam satu
langkah saja, terkadang dibutuhkan satu atau dua langkah , dimana masing-masing
langkah adalah bagian dari wawasan (Koffka, 1935). Analisis kontemporer
mengindikasikan bahwa pemahaman kreatif pada masalah baru memerlukan kerja
keras dan riset, periode inkubasi, momen wawasan, dan pengkajian lebih lanjut.
Dalam kehidupan sehari-hari, wawasan terhadap masalah mungkin diperoleh melalui
pengaturan kembali beberapa aspek dari persoalan, elaborasi, dan relaksasi
pembatas. Kesulitan dalam melakukan riset tentang wawasan adalah
kurangnya definisi yang jelas (Schooler, Fallshore, & Fiore, 1995).
Kontribusi lain dari psikologi
Gestalt adalah pembedaan oleh Wertheimer, yakni dalam
mengaplikasi konsep struktur dan keseluruhan ke dalam analisis belajar,
Weitheimer membedakan antara metode belajar :tanpa makna” dan belajar
“bermakna” di kelas. Weitheimer mengamati bahwa setelah anak mempelajari
pendekatan pemecahan masalah tertentu, mereka sering kali tidak mampu melihat
pendekatan lain untuk tugas serupa. Mereka biasanya akan berkata “kami belum
tahu.” Penyediaan informasi yang membantu siswa untuk mereorganisasikan sudut
pandang masalah harus menjadi bagian integral dari pengajaran pemecahan
masalah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi pemecahan
masalah, yakni latihan
mentransfer, pendekatan masalah dan kekakuan fungsional, dan belenggu masalah.
Karl Duncker (1926) mencatat bahwa kebanyakan teori
berusaha menjelaskan pemecahan masalah yang berkenaan dengan “factor ketiga”,
seperti sebagai pengalaman masa lalu. Akan tetapi analisis Duncker terhadap
pemecahan masalah yang sukses mengidentifikasikan ada tiga langkah umum.
Langkah itu adalah (a)Memahami konflik atau masalah, (b) Mengembangkan
identifikasi secara jelas atau kesulitan dasar, (c) Mengembangkan
solusi masalah untuk mengatasi kesulitan dasar.
Kekakuan fungsional adalah kesulitan perceptual dalam pemecahan
masalah, hal ini disebabkan karena ketidak mampuan untuk melihat elemen-elemen
dari masalah dengan cara baru. Konsep yang terkait adalah belenggu masalah.
Konsep ini diidentifikasi oleh Abraham Lunchins (1942), yang diartikan sebagai
kekakuan dalam pemecahan masalah dimana individu menganggap serangkaian masalah
harus dipecahkan dengan cara yang sama. Perkambangan lain dari teori gestalt
adalah aplikasi konsep gestalt ke formasi kelompok sosial dan motivasi serta
konsep balajar laten.
C. PERBANDINGAN
TEORI BEHAVIORISME DAN GESTALT
Kedua teori ini mengilustrasikan
perkembangan pengetahuan melalui pengukuran yang akurat dan riset dalam kondisi
yang terkontrol.
Aplikasi ke
Pendidikan
Psikologi Behaviorisme dan Gestalt mendasarkan
risetnya pada asumsi yang berbeda mengenai sifat dan belajar serta fokus
studinya. Behaviorisme mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku dan
mengidentifikasi stimuli dan respons spesifik sebagai focus riset, sedangkan
psikologi Gestalt berpendapat bahwa seseorang merespons stimuli yang
terorganisasi dan persepsi perorangan adalah faktor penting untuk memecahkan
masalah.
Behaviorisme
Pengkondisian klasik juga membahas
aspek-aspek dari situasi sehari-hari, misalnya untuk hari pertama anak, di
kelas taman kanak-kanak dan sekolah dasar, aktivitas yang dilakukan haruslah
kegiatan yang dapat menghindari asosiasi kecemasan dan perasaan negative
lainnya terhadap latar sekolah. Guthrie juga menyarankan guru untuk mengasosiasikan
stimuli dan respons secara tepat. Misalnya, guru harus memastikan bahwa
instruksi seperti mengantri makan siang tidak menimbulkan perilaku distruptif.
Masalahnya adalah bahwa sebuah perintah dapat menjadi petunjuk untuk munculnya
perilaku distruptif di masa depan.
Psikologi
Gestalt
Isu yang diangkat psikologi Gestalt
untuk masalah pendidikan adalah soal makna, pemahaman, dan wawasan yang
merupakan karakteristik manusia. Komputer, dapat menjadi pemecah masalah
manusia, setelah masalahnya dipahami.
Kesulitan dalam mengaplikasikan
perspektif Gestalt di kelas adalah kurangnya prinsip yang terdefinisikan dengan
jelas. Periset Gestalt mengemukakan beberapa saran untuk pembelajaran
memecahkan masalah, yaitu :
a.
membuat tugas dalam belajar di dalam situasi yang konkrit dan akurat.
b. asistensi
selama pemecahan masalah tidak boleh berupa prosedur pengulangan dan peniruan.
Tabel
1.1
Perbandingan
Teori Behaviorisme dan Gestalt
Karakteristik Utama
|
Behaviorisme
|
Teori Gestalt
|
Asumsi dasar
|
a. Perilaku
dapat diamati
b. Belajar adalah
perubahan
c. Hubungan
stimuli dan respon harus dipelajari
|
Individu bereaksi kepada sebuah kesatuan
|
Eksperimen umum
|
· Trial dan
error
· Respon
emosional atau refleks
|
Mereorganisasi kembali
|
Formula belajar
|
· Stimulus –
respon – imbalan
· Respon
emosional :
Stimuli 1 + simuli 2 = respon
|
Konstelasi stimuli organisasi-reaksi
|
Pendukung behaviorisme dan teori Gestalt membedakan paling
tidak tiga cara dari para filsufuf yang mencoba untuk mendefinisikan
pembelajaran. Pertama, para psikolog berdasarkan teori mereka tentang observasi
eksperimental terhadap perilaku. Kedua, mereka membangun hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang teruji. Ketiga, mereka menerapkan prinsip-prinsip mereka
pada situasi dunia nyata. Thorndike menerapkan teori pembentukan kebiasaan itu
pada anasis subjek-subjek sekolah. Watson mengkondisikan reaksi takut Albert
dan Wertheimer memperluas teori Gestalt pada pemecahan masalah anak-anak.
Kontribusi-kontribusi pada masa ini diantaranya
aplikasi-aplikasi kondisi klasikal terhadap reaksi emosional, hukuman yang
efektif, peran penemuan terbimbing dalam pemecahan masalah, dan pentingnya
pengorganisasian dalam persepsi. Namun, pada pertengahan 1930an, kedua teori
behaviorisme dan Gestalt menjadi semakin luas.
Masing-masing perspektif mencoba untuk mengembangkan satu teori yang
komprehensif yang akan menjelaskan semua pembelajaran Pada awal 1940an, konflik
antara S-R dan posisi Gestalt dikritik ketidakproduktifannya. Dua praktek
berkontribusi pada masalah ini (McConnel, 1942). Pertama, istilah-istilah yang
digunakan masing-masing perspektif menambah perbedaan diantara keduanya.
Contohnya, istilah “insight” dan “connection” menyampaikan gambaran proses
pembelajaran yang hebat. Kesulitan tugas mungkin menjadi satu faktor dalam
proses pembelajaran yang pada akhirnya digambarkan oleh para teoris. Jika tugas
itu cukup sulit sehingga pelajar tidak dapat membangun hubungan dengan situasi
itu. Subjek harus mengambil jalan percobaan dan kesalahan. Sebaliknya,
tugas-tugas yang kurang sulit dimana pengalaman masa lalu mungkin berperan dan
dilawan secara cepat dan akurat. Maka dari itu, kilasan tentang insight digambarkan oleh para psikolog
Gestalt. Dalam beberapa kasus termasuk transfer melalui unsur-unsur sama
(McConnel, 1942, hal 26).
Kedua, gambaran berbeda pembelajaran
yang dibangun pada bagian konteks eksperimen. Tugas-tugas dapat
diklasifikasikan menurut jumlah penemuan yang dibutuhkan untuk membuat respon
yang benar. Pembelajaran di luar kempala, contohnya direfleksikan dalam eksperimen
yang sederhana sedangkan situasi yang tak terstruktut dan rumit membutuhkan
pengorganisasian kembali pengalaman masa lalu dan penemuan pelajar akan pola
perilaku yang seseuai (McConnell, 1942).
Pentingnya teori Thorndike adalah
bukan sebuah perspektif bhavioris yang kaku. Dalam pandangannya, hubungan
antara ide-ide memperhitungkan porsi utam pengetahuan.
Pada dekade 1950an, ketertarikan
pada perkembangan semua kemunduran teori yang tercakup. Hilgard (1964), dalam
ulasannya akhir dari masa perkembangan teorinya mencatat perdebatan besar
antara teori-teori komprehensif yang sekarang berlebihan.
ini sumbernya dari mana ya?
BalasHapus