Selasa, 07 Januari 2014

Problem Centered Learning (PCL)

A.      JUDUL PENELITIAN
Pengaruh Pendekatan Problem Centered Learning (PCL) terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester Genap SD di Gugus I Desa Sakti Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2013/2014.

B.       IDENTITAS PENELITI
Nama          : I Kadek Winaya
NIM           : 1111031114
Jurusan       : Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas      : Ilmu Pendidikan

C.      LATAR BELAKANG
Kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang vital dalam mewujudkan kemajuan bangsa, sebab sumber daya manusia yang berkualitas merupakan wujud dari bangsa yang maju dan bermartabat. Hal ini sesuai dengan pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 dinyatakan dengan tegas bahwa fungsi pendidikan nasional adalah sebagai berikut.
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Perwujudan dari harapan ini harus dibangun dengan potensi yang sangat kuat melalui pendidikan yang berkualitas pula. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak juga hal yang dapat dilakukan untuk bangsa, karena secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi siswa untuk bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga Negara. Pendidikan diberi arti sebagai proses yang terus menerus seumur hidup, berlangsung dimana dan kapan saja, serta tidak terikat pada kelompok tertentu. Semiawan (1999: 245) menyatakan bahwa “belajar merupakan aktivitas atau pengalaman yang menghasilkan perubahan pengetahuan, prilaku dan pribadi yang bersifat permanen. Perubahan itu dapat bersifat penambahan atau pengayaan pengetahuan, perilaku atau kepribadian dan mungkin juga dapat bersifat pengurangan atau reduksi pengetahuan”. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang kehidupan manusia akan selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau tujuan yang ingin dicapai.
Perubahan pendidikan kearah yang positif ditentukan oleh peranan guru dalam proses pembelajaran khususnya kemampuan guru dalam mengefektifkan penerapan teori-teori belajar dengan mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang sudah ada sehingga pembelajaran yang dilaksanakan lebih bermakna. Menurut teori Ausubel (dalam Muhsetyo dkk 2007: 19), kebermaknaan pembelajaran akan membuat kegiatan belajar lebih menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga penanaman konsep pada pembelajaran khususnya pembelajaran matematika akan lebih mudah dipahami dan lebih tahan lama diingat oleh siswa.
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan yang sangat besar baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian, melainkan beragam jenis topik dan persoalan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Dalam perdagangan kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika, minimal penjumlahan dan pengurangan. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu, dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Sedangkan menurut Soedjadi (2001: 143) menyatakan bahwa “dewasa ini matematika sering dipandang sebagai bahasa ilmu, alat komunikasi antara ilmu dan ilmuwan, serta merupakan alat analisis”. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of science) dan sangat berguna dalam kehidupan, sehingga matematika sangat penting diajarkan di sekolah.
Pendidikan matematika, khususnya pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar mempunyai peranan yang sangat penting, sebab jenjang ini merupakan pondasi  bagi pembentukan konsep dalam diri siswa. Konsep matematika yang diterima siswa pada jenjang sekolah dasar akan terus dikembangkan pada jenjang selanjutnya dan memiliki keterhubungan dengan konsep yang lain. Penguasaan konsep yang dimiliki siswa pada jenjang dasar akan menentukan baik buruknya penguasaan konsep yang lainnya. Penguasaan konsep yang dimiliki siswa dapat diketahui salah satunya dengan melihat kemampuannya dalam memecahkan masalah matematika yang diberikan guru.
Budhayanti (2008: 1) menyatakan bahwa “pemecahan masalah merupakan salah satu topik yang penting dalam mempelajari matematika”. Hal ini sejalan dengan pendapat Suherman, dkk (2003: 89) yaitu,
pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran, siswa akan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.

Masalah matematika yang dapat dipecahkan tidak hanya bersifat rutin, melainkan juga bersifat tidak rutin. Pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin membutuhkan pemikiran yang lebih tinggi dibandingkan dengan soal rutin. Dengan kata lain, dengan pemecahan masalah siswa dapat melatih keterampilan intelektual tingkat tinggi, seperti yang dikatakan oleh Gagne (dalam Suherman, 2003:  89) bahwa “keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah”.
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dalam proses pembelajaran di kelas hanya berorientasi pada target menuntaskan materi dan kurikulum. Dalam pembelajaran yang berorientasi untuk menuntaskan materi kurikulum, guru mengusahakan agar materi yang ada pada kurikulum habis disampaikan dan disajikan di kelas tanpa memperhatikan apakah siswa sudah dapat menguasai materi tersebut atau belum. Guru mengabaikan pemahaman siswa terhadap materi yang telah disajikan. Pembelajaran yang hanya bertujuan menuntaskan materi, akan berdampak pada siswa, yaitu siswa akan sulit menemukan atau mengaitkan materi yang dipelajari dikelas dengan situasi nyata. Pembelajaran seperti ini hanya berhasil mengembangkan kompetensi siswa  mengingat konsep yang diajarkan dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan masalah dalam jangka panjang. Siswa mengetahui tentang konsep-konsep matematika dan dapat memecahkan soal-soal akademis secara tepat, namun ketika menemui persoalan dalam kehidupan nyata siswa kebingungan dalam menggunakan konsep-konsep yang telah dimiliki.
Kedua, pendidikan matematika di sekolah pada umumnya masih berada pada pendidikan konvensional yang banyak ditandai proses yang struktural dan mekanistik. Pada proses pembelajaran konvensional tersebut, siswa diharapkan untuk memahami dan menyususun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka pembelajaran lebih berpusat pada guru sehingga terkesan kurang menarik dan menyenangkan.
Ketiga, penyajian masalah/soal-soal matematika di sekolah pada umumnya lebih di dominasi oleh soal  dalam bentuk tertutup (closed problem) seperti yang terdapat di buku-buku paket sekolah dasar (SD). Soal dalam bentuk tertutup maksudnya adalah permasalahan matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga hanya memiliki satu jawaban yang benar dan satu cara pemecahannya (Sudiarta, 2008). Penyajian soal dalam bentuk tertutup biasanya akan menyebabkan siswa dengan mudah menebak dan mendapat solusinya, tanpa melalui “proses mengerti”. Sebaliknya, siswa akan mengalami masalah atau gagal mengerjakan soal matematika, jika soalnya sedikit dirubah atau jika konteksnya dibuat sedikit berbeda dari contoh-contoh yang telah diberikan. Oleh karena itu dalam memecahkan masalah siswa cenderung terpaku pada contoh-contoh penyelesaian masalah yang diberikan oleh guru. Siswa jarang diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya. Sehingga hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, yang nantinya akan sangat berpengaruh pada hasil belajar matematika siswa.
Dari hasil observasi ke lapangan, ternyata  hasil belajar yang diperoleh siswa kurang memuaskan. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dan studi dokumen yang dilakukan ke seluruh SD di Gugus I Kecamatan Nusa Penida, yaitu dengan 6 orang guru yang mengajarkan mata pelajaran matematika kelas V SD diperoleh informasi bahwa soal ulangan matematika siswa kelas V SD sudah mengacu pada soal pemecahan masalah. Pada soal yang diberikan kepada siswa sudah terdapat beberapa soal cerita yang menuntut pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Namun hasil ulangan umum siswa kelas V menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesalahan pada soal cerita. Kesalahan ini disebabkan karena siswa tidak mampu memahami masalah yang diberikan dan tidak mampu mengubah soal cerita ke dalam bentuk matematika sehingga siswa sulit menemukan penyelesaian dari soal tersebut yang pada akhirnya nilai ulangan akhir semester matematika siswa kelas V rendah. Hal ini dibuktikan dari dokumen hasil ulangan akhir matematika siswa yang sebagian besar memperoleh nilai menengah kebawah, bahkan ada yang masih memperoleh nilai dibawah Kriteria Ketuntasan  Minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah yang ada di gugus I Kecamatan Nusa Penida. Berikut data rata-rata nilai ulangan akhir semester (UAS) Matematika dan KKM pada seluruh SD yang ada di Gugus I Nusa Penida dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.   Nilai Rata-rata UAS dan KKM pada Seluruh SD yang ada di Gugus I Kecamatan Nusa Penida
No
Nama Sekolah Dasar
Rata-rata nilai ulangan akhir Matematika
KKM
   1
SD No. 1 Sakti
65,62
65
   2
SD No. 2 Sakti
66,07
65
   3
SD No. 3 Sakti
65,46
65
   4
SD No. 4  Sakti
66,18
65
   5
SD No. 5  Sakti
62,43
65
   6
SD No. 6  Sakti
61,71
65
                 (Sumber: Tata Usaha SD di Gugus I Nusa Penida, 2013)
   Berdasarkan uraian di atas, maka proses pembelajaran matematika perlu dioptimalkan kualitasnya dalam rangka membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sehingga mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Strategi pembelajaran matematika hendaknya mempertimbangkan keadaan siswa dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika merupakan suatu aktivitas manusia (a human activity), dan harus ditemukan kembali (re-invented), bukan disajikan sebagai sebuah produk siap pakai (ready-made product) (Freudenthal, 1973: 114–121). Salah satu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika yaitu pendekatan belajar berpusat masalah atau pendekatan PCL. Pendekatan ini terdiri atas tiga tahapan utama yaitu: memecahkan masalah secara individu, membahas masalah dalam kelompok, dan berbagi (sharing) masalah dalam kelas. Pendekatan PCL merupakan suatu pembelajaran yang senantiasa menghadirkan ide-ide matematika dalam situasi berpusat pada masalah. Pendekatan ini sebagai titik tolak pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa melakukan identifikasi masalah yang muncul, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan masalah, dan mencoba memberikan alternatif solusi.
Siswa dalam pendekatan PCL, melakukan investigasi melalui negosiasi dalam menentukan dan mengonstruksi ide-ide matematika yang tersirat dalam situasi masalah yang diberikan, sehingga memperoleh pengetahuan yang direncanakan. Pendekatan PCL memungkinkan siswa menstimulasikan pikirannya untuk membuat konsep yang ada menjadi logis berdasarkan masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan konsep-konsep tersebut sesuai dengan aturan matematika yang diketahui menurut bahasa atau pemahaman sendiri. Melalui aktivitas pembelajaran pada masalah-masalah yang menarik, siswa selalu berusaha memecahkan masalah, mementingkan komunikasi, memfokuskan pada proses-proses penyelidikan dan penalaran, dan mengembangkan kepercayaan diri dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini mengkaji tentang Pengaruh Pendekatan PCL Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester Genap SD di Gugus I Desa Sakti Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2013/2014?

D.      PEMBATASAN MASALAH
Menyadari banyak teridentifikasi permasalahan dalam proses pembelajaran Matematika seperti yang diungkap sebelumnya, maka penelitian ini dilaksanakan terbatas pada pengaruh model pembelajaran Pendekatan PCL dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar dari penerapan model pembelajaran ini akan dibandingkan dengan hasil belajar dari kegiatan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru (konvensional). Hasil belajar siswa yang ditekankan adalah hasil belajar pada ranah kognitif saja, namun tampa mengesampingkan pemerolehan hasil belajar pada ranah afektif dan psikomotor. Hasil belajar berfokus pada keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Standar kompetensi yang ditentukan terbatas pada kompetensi dasar membuat jaring-jaring bangun ruang sederhana, menunjukkan sifat-sifat kesebangun antarbangun, menunjukkan dan menentukan sifat-sifat simetri lipat dan simetri putar, dan menghitung masalah yang berkaitan dengan bangun datar.

E.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut.
apakah terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan PCL dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V semester Genap tahun pelajaran 2013/2014 di SD Gugus I Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung?

F.    TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan PCL dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V semester Genap tahun pelajaran 2013/2014 di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung.

G.   MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai sebagai berikut.
1.    Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat member sumbangan atau menambah khazanah dalam ilmu pengetahuan di bidang pendidikan, khususnya dalam pelajaran matematika di SD. Melalui penelitian ini akan terkumpul informasi tentang ada tidaknya perbedaan hasil belajar matematika siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan PCL dan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan informasi yang diperoleh, maka secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan dan penelitan-penelitian lebih lanjut.  
2.    Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yaitu bagi siswa, guru, sekolah dan peneliti, dengan penjelasan sebagai berikut.
a.      Bagi Siswa
Meningkatkan hsail belajar khususnya pada mata pelajaran matematika, dan lebih mengembangakn kemampuannya menyelesaikan suatu permasalahan matematika.
b.      Bagi Guru
Dengan mengetahui pembelajaran Pendekatan PCL, guru mampu mengembangkan pembelajaran dengan mengembangakan pembelajaran dengan pendekatan yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
  1. Bagi Sekolah
Dengan mengembangkan pembelajaran dan pendekatan yang tepat, sekolah dapat meningkatkan mutu sekolah yang memiliki tenega pengajar yang professional dan murid yang mampu berdaya saing.
  1. Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman mengenai pendekatan PCL dalam upaya meningkatkan hasil belajar.
e.       Bagi Peneliti lain
Dapat memberikan motivasi atau menginspirasi peneliti lain untuk mengembangkan pendekatan PCL.




H.   KAJIAN PUSTAKA
1.    Hasil Belajar
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek dalam belajar, sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar. Dua konsep belajar dan mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan yang disebut proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran tentunya ada suatu tujuan yang ingin dicapai, hasil pencapaian tujuan pembelajaran inilah yang disebut sebagai hasil belajar. Banyak pakar pendidikan dan psikologi yang telah mendefinisikan tentang hasil belajar. Sebagaimana yang dikemukakan Sudjana (1989: 22) bahwa “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Sedangkan Sanjaya (2011) menjelaskan bahwa “hasil belajar adalah kemampuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan itu dalam kehidupan sehari-hari”. Demikian pula Arikunto mengatakan bahwa “hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati dan dapat diukur” (Anonim, 2011). Selain itu, Nasution juga mengemukakan bahwa “hasil belajar adalah suatu perubahan pada diri individu” (Anonim, 2011). Perubahan yang dimaksud tidak hanya perubahan pengetahuan, tetapi juga meliputi perubahan kecakapan, sikap, pengertian, dan penghargaan diri pada individu tersebut.
Dari pengertian hasil belajar yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh oleh siswa dalam bentuk kemampuan, keterampilan, dan sikap setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar yang diperoleh oleh siswa dapat diamati dan dapat diukur melalui kegiatan penilaian. Penilaian dapat diartikan sebagai sutu tindakan atau kegiatan untuk menilai sejauh mana tujuan-tujuan intruksional dapat tercapai dan sejauh mana materi yang diberikan dikuasai siswa.
Pada tahun 1940-an, tedapat beberapa pakar pendidikan di Amerika Serikat yaitu, Benjamin S. Bloom, M.D. Englehart, E. Furst, W.H. Hill, Daniel R. Krathwohl dan didukung pula oleh Ralph E. Tylor, untuk mengembangkan metode pengklasifikasian tujuan pendidikan yang disebut taxonomy. Mereka berkumpul kurang lebih lima tahun untuk mendiskusikan pengelompokan tujuan pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan sebuah karya Bloom dan kawan-kawan, dengan judul: Taxonomy of Educational Objectives (1956). Pendapat yang dimunculkan oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan adalah bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: Ranah proses berpikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi hasil belajar maka ketiga ranah itulah yang dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Hal ini bertujuan agar evaluator mampu untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik.
a. Ranah Kognitif
Ranah kognitif merupakan ranah yang mencakup kegiatan mental. Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, dari tingkatan terendah sampai tingkatan tertinggi, yaitu, pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), penilaian (evaluation).
1.    Pengetahuan (knowledge)
Merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya. Contohnya adalah siswa diberikan tugas/tes yang mampu menguji kembali pengetahuan siswa tentang rumus luas segi empat (p x l) yang sudah diajarkan.
2.  Pemahaman (comprehension)
Merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesatu itu diketahui dan diingat. Memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat menjelaskan sesuatu lebih rinci tentang hal itu menggunakan kata-katanya sendiri. Contoh: siswa dapat memverbalkan/membahasakan rumus luas segi empat (p x l) dengan bahasanya sendiri.
3.    Penerapan atau Aplikasi (application)
Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara atau metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebgaianya, dalam situasi yang kongkret. Ini setingkat lebih tinggi dari pemahaman. Peserta didik dikatakan mampu melakukan penerapan apabila peserta didik bisa menggunakan pengetahuan dan pemahamannya terhadap masalah yang dihadapi di dunia nyata. Contoh: Siswa mampu menerapkan rumus luas segiempat ( p x l ) untuk mencari luas dari lantai yang berbentu segiempat dalam suatu ruangan 
4.    Analisis (analysis)
Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagian atau faktor-faktor lainnya. Contoh: menganalisis bentuk, jenis atau arti suatu puisi
5.  Sintesis (synthesis)
Adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsure secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Contoh: mengformulasikan hasil penelitian di laboratorium
6.    Penilaian atau evaluasi (evaluation)
Adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom. Penilaian atau evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide, misalnya seseorang dihadapkan dengan suatu pilihan, ia akan mampu memilih pilihan yang terbaik, sesuai dengan patokan atau kriteria yang sudah ada. Peserta didik dikatakan mampu mengevaluasi apa bila dia tahu keputusan apa yang harus dia pilih dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi sesuai dengan karakteristik masalahnya. Contoh: siswa diberikan suatu persoalan terkait dengan pemakaian rumus volume dari prisma beralas segitiga, namun tidak tercantum berapa panjang alas dari segitiga tersebut. Disini siswa harus mampu menerapkan pemahaman dan pengetahuannya tentang segitiga dan prisma sebagi pertumbangan atau acuan dalam menyelesaikan soal.
Keenam jenjang berpikir pada ranah kognitif Taksonomi Bloom, jika diuraikan secara herarki pyramidal adalah sebagaimana terlukis pada berikut.


 







GAMBAR 1. Enam jenjang Berpikir pada Ranah Kognitif

Keenam jenjang berpikir pada ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom itu bersifat kontinum dan overlap (tumpang tindih), ranah yang paling tinggi meliputi semua ranah di bawahnya.





                 


GAMBAR 2. Ovelap antara Enam Jenjang pada Ranah Kognitif
Keterangan:
Pengetahuan (1). Pemahaman (2). Aplikasi atau Penerapan (3) Analisis (4) Sintesis (5) Evaluasi (6)

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama “Revisi Taksonomi Bloom”. Dalam revisi ini ada perubahan kata kunci, pada kategori dari kata benda menjadi kata kerja. Masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja. Hal ini diakibatkan karena adanya pandangan bahwa sintesis dan analisis memiliki kedudukan yang sama.
Misalnya, macam-macam bangun ruang adalah Kubus, Balok, Prisma segitiga, Kerucut, Limas segi empat, Bola, dan lainya. Dari bangun ruang-bangun ruang tersebut dapat di sintesiskan menjadi 3 bagian yang umum yaitu Prisma, Limas, dan Bola. Kubus (prisma beralas persegi), Balok (Prisma beralas persegi panjang), dan Prisma segitiga masuk ke katagori prisma sesuai dengan ciri yang dimiliki yaitu alas dan tutupnya sama (sebangun), kemudian Kerucut (limas beralas lingkaran) dan limas segi empat termasuk limas, dan bola hanya terdiri dari bola. Setelah disintesis, bangun ruang diatas dapat di analisis kembali bahwa Prisma memiliki ciri, tutup dan alas yang sebangun dan semua bangun ruang yang memiliki cirri tersebut masuk kedalam katagori Prisma. Bangun ruang iru antara lain Kubus, Balok, Prisma segitiga, Prisma segi lima, Prisma segi duapuluh dan lainnya. Analisis seperti ini juga bisa di terapkan pada Limas dan Bola.
Dari contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis adalah lawan dari sintesis. Dan apa yang dianalisis bisa disintesiskan, serta apa yang disintesiskan bisa dianalisis. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada gambar berikut,




GAMBAR 3. Hubungan Sintesis dan Analisis
Disini Lorin Anderson memasukan kategori baru yaitu create (menciptakan) yang sebelumnya tidak ada, sehingga jumlah komponen dari taksonomi Bloom dan Revisi Taksonomi Bloom adalah sama yaitu enam. Menciptakan/berkreasi berarti membuat sesuatu yang baru. Dan untuk menciptakan sesuatu yang baru memerlukan kemampuan dalam memahami, menerapkan, menganalisis, serta mengevaluasi. Misalnya siswa diberikan suatu persoalan untuk mencari volume dari benda yang berbentuk prisma segi enam, disini siswa harus memakai rumus tertentu untuk mencari luas alas dari prisma tersebut baru kemudian menghubungkannya dengan pencarian volume. Jika siswa memiliki kemampuan untuk menciptakan mungkin dia akan menemukan rumus yang langsung mendapatkan hasil tanpa harus melalui prosedur yang sudah ada.
Berikut adalah pyramidal dari Revisi Taksonomi Bloom.


 







GAMBAR 4. Jenjang kognitif pada Revisi Taksonomi Bloom

b. Aspek Non Kognitif
1.    Ranah Afektif
Taksonomi untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. krathwohl dan kawan-kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomy of Education Objectives: Affective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-cirinya adalah tampak pada perilaku, seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran, motivasinya yang tinggi, dan lain sebagainya. Ranah afektif oleh Krathwohl (1974) dan kawan-kawan ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu:
a.    menerima atau memperhatikan
Adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receving atau ettenting juga diartikan sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu obyek. Disini peserta didik dibina untuk bersedia menerima nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai. Contoh: siswa menyadari bahwa rajin wajib ditingkatkan, sedangkan sifat malas harus disingkirkan.
b.    menanggapi
Kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contoh: peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi.
c.    Menilai atau menghargai
Merupakan memberikan penilaian atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Disini siswa tidak hanya menerima nilai yang diajarkan namun juga dapat menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Contoh: tumbuhnya kemauan untuk berlaku sopan santun di sekolah, rumah, maupun masyarakat.
d.                Mengatur atau mengorganisasikan
Artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum.mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu system organisasi, termasuk di dalmnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh: siswa mendukung penegakan hukum atau aturan yang berlaku di sekolah.
e.                 Karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai
Ini merupakan keterpadukan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hierarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan mempengaruhi emosinya. Ini tingkatan paling tinggi, peserta didik sikap batinnya benar-benar bijaksana, ia telah memiliki philosofhy of life yang mapan. Contoh: peserta didik disini telah memiliki kebulatan sikap, dalam hubungannya dengan sikap santun, di sekolah, rumah, dan masyarakat.
2. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar ini merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku. Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.
Ranah psikomotor:
a.     Meniru (perception)
b.    Menyusun (manipulating)
c.     Melakukan dengan prosedur (precision)
d.    Melakukan dengan baik dan tepat (articulation)
e.     Melakukan tindakan secara alami ( naturalization)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil (meliputi tiga ranah, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor) yang diperoleh setelah mengikuti suatu program pembelajaran tertentu.

2.    Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika
Schoenfeld (dalam Budhayanti, 2008: 2) menyatakan bahwa “definisi masalah selalu relatif bagi setiap individu.” Hal ini dikarenakan suatu pertanyaan dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi bisa hanya menjadi pertanyaan biasa bagi orang lain. Dengan kata lain, tidak semua pertanyaan dapat dikatakan sebagai masalah. Seperti yang dikatakan oleh Cooney (dalam Budhayanti, 2008:2) bahwa “suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui oleh si pelaku.” Adanya tantangan dalam pertanyaan yang diajukan akan menentukan apakah soal tersebut dapat dikatakan sebagai masalah atau tidak oleh orang yang bersangkutan. Hal itu juga berlaku pada mata pelajaran matematika. “Dalam matematika suatu pertanyaan akan merupakan masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut” (Hudojo, 2001: 162). Beliau juga mengatakan bahwa,
syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah, a) pertanyaan yang diajukan kepada seorang siswa hendaknya dapat dimengerti oleh siswa dan menjadi sebuah tantangan bagi siswa tersebut untuk dapat menjawabnya, b) pertanyaan yang diajukan tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

Jadi, masalah yang akan diajukan kepada seorang siswa, khususnya siswa SD berbeda dengan yang akan ditujukan kepada orang dewasa. Adanya masalah-masalah tersebut akan menuntut adanya suatu pemecahan. Jadi, siswa akan dituntut untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah. Poyla (dalam Budhayanti, 2008: 4) menyatakan bahwa “pemecahan masalah adalah usaha untuk mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.” Dengan kemampuan pemecahan masalah ini, siswa akan dapat memperdalam pemahaman konsep dan prinsip utama yang dimilikinya. Selain itu, pemecahan masalah ini juga akan membantu siswa untuk menerapkan konsep dan prinsip itu pada berbagai persoalan.
Suherman, dkk (2003: 89) yang menyatakan bahwa,
pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran, siswa akan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.

Selain itu dalam pemecahan masalah siswa dapat menerapkan semua pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Dengan begitu, pemecahan masalah dapat digunakan untuk mentransfer konsep atau keterampilan yang telah dimiliki ke situasi baru untuk mendapatkan suatu pengalaman baru. Penyajian materi matematika yang berupa masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari pelajaran tersebut, sebab jika masalah yang diberikan tersebut dapat mereka pecahkan maka akan dapat menimbulkan rasa puas dalam diri siswa. Kepuasan intelektual ini merupakan hadiah intrinsik bagi siswa. 
Menurut Polya (Suherman, 2003) solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaian, yaitu sebagai berikut. a) Memahami masalah, yang merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Jika kita tidak memahami masalah tersebut, kita akan mengalami kesulitan dalam penyelesaiannya. b) Merencanakan pemecahannya. Setelah kita memahami masalah yang diberikan, langkah kedua yang harus dilakukan adalah menyusun rencana untuk memecahkannya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan kita dalam penyelesaiannya dengan langkah atau urutan yang jelas. c) Menyelesaikan masalah sesuai rencana yang telah disusun. Setelah rencana telah siap, langkah selanjutnya adalah melaksanakan rencana tersebut. Pada tahap ini kita akan mendapatkan suatu hasil dari apa yang telah dilakukan. d)        Memeriksa atau meninjau kembali hasil yang diperoleh, merupakan langkah terakhir yang dilakukan. Hasil yang telah didapatkan tadi diperiksa kembali. Begitu juga dengan langkah-langkah yang telah dilewati, langkah pertama sampai ketiga dikaji dan diperiksa agar mendapatkan hasil yang terjamin kebenarannya.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mampu memecahkan suatu masalah matematika, seorang siswa harus melalui tahapan-tahapan yang sangat penting, yaitu memahami masalah yang diberikan, merencanakan, menyelesaikan, dan memeriksa kembali hasil yang didapatkan. Jika siswa sudah mampu untuk melaksanakan hal tersebut, maka siswa tersebut dapat dikatakan mampu memecahkan masalah matematika dengan baik.

3.    Matematika SD
Matematika merupakan salah satu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari, baik pada tingkat dasar maupun lanjut. “Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari” (Muhsetyo. 2008). Beliau juga mengemukakan bahwa,
salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi pembelajaran matematika, yang sesuai dengan 1) topik yang sedang dibicarakan, 2) tingkat perkembangan intelektual peserta didik, 3) prinsip dan teori belajar, 4) keterlibatan aktif peserta didik sehari-hari, 5) keterkaitan dengan kehidupan peserta didik sehari-hari, dan 6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis.

Menurut Suherman (2003) penerapan strategi yang dipilih dalam pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh unsur pembelajaran. Hal tersebut menandakan bahwa dalam pembelajaran matematika, khususnya di SD tidak boleh sembarangan. Hal ini dikarenakan pemilihan strategi pembelajaran akan memberikan dampak pada keberhasilan pembelajaran tersebut. Seorang guru harus mampu memilih strategi pembelajaran matematika yang sesuai dengan karakteristik siswa yang diajarnya dan juga sesuai dengan materi pelajaran yang akan diajarkan. Selain itu, guru juga harus mampu mengaitkan pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari sehingga siwa akan merasa tertarik untuk belajar dan cepat paham akan materi yang diajarkan. Jika, semua itu telah terlaksana, maka apapun yang dijadikan tujuan pembelajaran matematika tersebut akan terpenuhi.
Adapun tujuan umum pendidikan matematika menurut Puskur Balitbang Depdiknas (2002) ditekankan pada siswa untuk memiliki hal-hal sebagai berikut.
1) Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun yang berkaitan dengan kehidupan nyata. 2) Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat pemecahan masalah. 3) Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersikap objektif, bersikap jujur, dan disiplin dalam memandang dan menyelesaikan suatu masalah.

Heruman (2008: 4) menyatakan bahwa “dalam pembelajaran matematika di tingkat SD diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas”. Untuk beberapa orang yang telah mengetahui suatu hal akan menganggap hal tersebut adalah penemuan yang sederhana, namun bagi siswa SD penemuan tersebut sangatlah berarti dan menganggap hal yang ditemukannya itu sebagai hal yang baru. Bruner (dalam Heruman, 2008: 4) mengungkapkan bahwa “dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya”. Dalam pembelajaran ini, guru harus banyak berperan sebagai pembimbing. Tujuannya adalah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih berbagai kemampuan intelektual siswa, merangsang keinginan, dan memotivasi kemampuan mereka.
Lebih lanjut Heruman (2008: 2) menyatakan bahwa “pada pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan”. Dalam matematika, antar konsep yang satu dengan konsep yang lain terdapat keterkaitan atau saling berhubungan atau menjadi syarat bagi konsep selanjutnya. Artinya, jika suatu konsep sudah bisa dikuasai, maka kita dapat melanjutkannya ke konsep yang lain. Begitu juga sebaliknya, jika suatu konsep belum dapat dikuasai, maka kita tidak boleh melanjutkan ke konsep yang lain. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Antonius. Menurut Antonius (2006: 1) “matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain”.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika sangatlah penting untuk diajarkan kepada siswa sejak SD. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antar konsep dalam pemahaman matematika tersebut. Selain itu, adanya keterkaitan antara pengalaman belajar siswa dengan konsep matematika tersebut. Dengan pembelajaran matematika siswa akan dapat  menemukan suatu pengetahuan baru dengan berbagai cara yang menarik.

4.    Pembelajaran Konvensional
 Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang sering diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran. “Pembelajaran konvensional merupakan metode yang paling efisien dalam mengajar yang bersifat hafalan atau ingatan” (Sulaeman dalam Rasana 2009: 18). Pembelajaran konvensional cenderung diberikan dengan metode ceramah. Ceramah merupakan salah satu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang (guru) kepada sejumlah pendengar (siswa) di suatu ruangan. Karena dalam penerapan pembelajaran konvensional menggunakan metode ceramah, maka cenderung kegiatan pembelajaran yang dilakukan akan berpusat pada guru (teacher centered) dan terjadi komunikasi searah, yaitu dari guru kepada siswa. Guru mendominasi seluruh kegiatan dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya memperhatikan dan membuat catatan seperlunya.
Coleman (dalam Rasana, 2009) mengatakan bahwa,
pembelajaran konvensional merupakan asimilasi informasi dengan ciri-ciri (1) pemerolehan informasi, (2) pengorganisasian informasi menjadi prinsip umum, (3) penggunaan prinsip umum pada kasus-kasus yang spesifik, dan (4) penerapan prinsip umum pada keadaan-keadaan baru. Berdasarkan pendapat Coleman, guru berperan sebagai pemroses informasi yang diberikan kepada pebelajar. Sedangkan pebelajar berperan memperoleh informasi tersebut dengan cepat dan tepat melalui kegiatan-kegiatan mendengarkan dan membaca informasi.

Dalam pembelajaran konvensional biasanya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan dalam proses pembelajaran siswa cenderung pasif. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yang ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut.
Menurut Juliantara (2009) “pembelajaran konvensional memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat membedakan dengan model pembelajaran lainnya, diantaranya: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis”.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran yang berpusat pada guru, tidak ada kelompok kooperatif, dan interaksi siswanya kurang, sehingga pembelajaran cenderung pasif. Jika pembelajaran cenderung pasif maka hasil belajar yang diharapkan juga kurang optimal. Secara umum kegiatan dalam pembelajaran konvensional terdiri dari 5 fase (Jihad & Haris, 2008) yaitu seperti pada Tabel 2.
           




Tabel 2. Fase Pembelajaran Konvensional
Fase
Peran Guru
1.
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi dan mempersiapkan siswa.
2.
Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan
Mendemonstrasikan keterampilan atau menyajikan informasi tahap demi tahap
3.
Membimbing pelatihan
Guru memberikan latihan terbimbing
4.
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
Mengecek kemampuan siswa dan memberikan umpan balik
5.
Memberikan latihan dan penerapan konsep
Mempersiapkan latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan sehari-hari

5.    Pembelajaran Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
a.    Pengertian Pembelajaran Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Konsep jenis-jenis pembelajaran memiliki akar di dalam Teori Howard Gardner (Kurniawan, 2008: 19) bahwa, “Mengenai Intelegensi ganda yang menantang para pendidik untuk memperluas konsep mereka mengeni kemampuan siswa dan bagaimana mereka akan terangsang dalam mengembangkan kemampuannya”.
Menurut Dunn ( dalam Kurniawan, 2008: 19) mengemukakan bahwa,
Mengidentifikasi lima kategori jenis atau gaya pembelajaran, yaitu reaksi pada lingkungan ruangan kelas, emosionalitas yang dimilki anak, sosiologis (hubungan dengan masyarakat), pelajaran yang disukai, karakteristik psikologis, dan menghadapi analisis global.

Memperhatikan lima kategori tersebut bisa dilihat pada pendekatan PCL. pendekatan PCL merupakan pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan partisipasi dalam belajar dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang potensial. Menurut Jakubowski (Kurniawan, 2008: 19) bahwa, “PCL melibatkan siswa dalam akivitas-aktivitas yang potensial untuk menstimulasi siswa dalam berpikir dan membuat pengertian konsep matematika dengan cara mereka sendiri”.
Untuk menciptakan suatu kelas yang efektif, guru harus mendesain pengalaman yang memungkinkan para siswa dapat mencapai tujuan yang sudah direncanakan dan harus mengantarkan siswa sehingga siswa dapat belajar dari pengalaman tersebut. Pengalaman ini harus ditemukan pada saat proses di mana para siswa mengembangkan pemahaman matematika. Para siswa mengembangkan pemahaman matematika ketika mereka diminta untuk memunculkan pengetahuan baru dengan cara mempertimbangkan, menciptakan dan berargumen tentang matematika.
Para siswa harus mengalami permasalahan yang memerlukan penggunaan pengetahuan yang fleksibel bukan sekedar pekerjaan matematika yang rutin saja. Pertanyaan yang diarahkan dan dipusatkan harus memberikan tantangan bagi para siswa untuk menggunakan berbagai strategi. Para siswa harus meneliti permasalahan, menentukan informasi apa yang diperlukan untukk memecahkannya, dan merancang solusi. Untuk hal itu sudah seharusnya guru melibatkan semua siswa sehingga siswa ada kemungkinan terjadinya pengembangan-pengembanagan yang boleh jadi akan mendorong para siswa mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga pembelajaran menjadi optimal. Guru di sini berperan sebagai pelatih yang memudahkan penyelidikan siswa terhadap masaah itu atau dengan kata lain guru berperan sebagai fasilitator.
Terkait peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran, maka soal yang akan diberikan kepada siswa harus lebih dari soal rutin sehingga peran guru di sini akan benar-benar optimal. Hal ini tidak biasa dipandang sebagai suatu pengayaan pengajaran dikelas, tetapi lebih menjadi suatu tujuan yang penting. Pemecahan masalah harus dipandang sebagai suatu prosedur yang penting untuk menuju kepada pemahaman matematika. Melibatkan pra siswa di dalam pembelajaran berpusat pada masalah akan memberikan kemungkinan bagi para siswa akan mengembangkan kemampuan itu untuk itu menyelesaikan dan memilih bermacam-macam strategi yang cocok untuk merancang solusi. Pendekatan PCL menciptakan suatu model dengan situasi di mana siswa biasa menjadi pemikir dan sibuk dengan penyelidikan untuk menciptakan solusi.

b.   Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Menurut Von (Kurniawan, 2008: 20) bahwa, “Inspirasi teoritis untuk sebuah lingkungan PCL adalah konstruktivisme”. Jakubowski (Kurniawan, 2008: 20) berpendapat bahwa, “PCL merupakan pendekatan pembelajaran yang memfokuskan kemampuan siswa untuk mengkonstruksi pengertian yang dimilikinya terhadap konsep-konsep matematika”. Selain itu Whetley (Kurniawan, 2008: 20) berpendapat bahwa, “tujuan dari PCL adalah mengkonstruksi pengetahuan siswa yaitu siswa dapat menjelaskan dan memberi alasan, mempunyai kekonsistenan, dapat merefleksikan dan menanamkan ke dalam pengetahuan lain”.
Menurut Wheatley (Kurniawan, 2008: 21) menyatakan bahwa, pendekatan PCL melibatkan tiga komponen, yaitu sebagai berikut.
1.    Mengerjakan tugas. Pertama-tama guru menyiapkan kelas, kemudian menugakan siswa untuk mengerjakan tugas. Guru harus memilih tugas-tugas yang menantang, tetapi para siswa tidak ditunjukkan prosedur-prosedur khusus untuk memecahakan soal-soal yang menantang. Berikut ini salah satu contoh soal yang dapat menantang :Sebuah katak berada di dasar sebuah galian tanah sedalam 3 m. setiap hari katak itu melompat ke atas setinggi 90 cm dan malamnya turun 60 cm. dalam berapa hari katak tersebut dapat keluar dari lubang galian tersebut?
2.    Kegiatan kelompok. Guru mengkondisikan siswa untuk melanjutkan kegiatan kelompok. Langkah kedua ini guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan kemampuan siswa, di sini siswa diharuskan melakukan kolaborasi dalam aktivitas kelompok untuk menemukan pemecahan dari masalah dari hasil pemikiran meraka sendiri.
3.    Berbagi (sharing). Pada langkah terakhir ini, semua siswa disatukan menjadi diskusi kelas. Seluruh anggota dari setiap kelompok bersama-sama berbagi strategi jalan keluar atau solusi yang berbeda. Di sini peran guru hanya berperan sebagai fasilitator dan setiap uasaha dibuat untuk tidak bersifat menilai tetapi hanya bersifat mendorong.
Dengan demikian, inti dari pendekatan PCL adalah upaya siswa dapat melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri, dengan temannya, ataupun dengan gurunya. Negosiasi ini berarti adanya interaksi/komunikasi, baik itu dengan diri sendiri, dengan temannya, maupun dengan gurunya dalam memecahkan suatu masalah. Seperti halnya seluruh teori ilmiah bernegosiasi antara para ahli. Siswa-siswa juga dapat memperoleh makna-makna matematik.
Pada saat siswa mengerjakan tugas mereka berarti sedang melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri. Lain halnya dengan kegiatan diskusi. Pada saat kegiatan diskusi guru harus berperan sebagai fasilitator agar kegiatan ini berlangsung denga baik. Selain itu, siswa diberi keleluasan untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri agar diperoleh solusi berdasarkan pemikiran sendiri.
Dilakukannya kerja kelompok dan diskusi kelas (sharing) dalam pendekatan PCL berarti siswa dapat memperdalam permasalahannya suatu konsep. Menurut Turmudi (Kholis, 2007: 9) bahwa, “Bekerja kelompok dapat mengurangi salah konsep yang diperbuat siswa”. Kesalahan konsep ini dapat membuat siswa mengalami kesalahan dalam merencanakan solusi dari masalah (soal) yang diberikan dan juga dapat mengakibatkan jawabannya tidak sesuai dengan yang harapkan. Selain itu menurut Marsigit, dkk. (Nuryati, 2000: 11) bahwa, “Kerja kelompok juga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan menemukan pendekatan yang berbeda, melatih siswa menerima pendapat orang lain”.
           Pendekatan PCL didesain oleh Wheatley untuk memfasilitasi keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar dengan mendorong mereka.
1.      Menemukan cara-cara mereka sendiri dalam memecahkan masalah,
2.      Saling bertukar pandangan yang tidak hanya memperkuat jawaban-jawaban yang benar saja,
3.       Untuk berpikir kreatif yang tidak hanya sekedar menghitung alat tulis.

6.    Kerangka Berpikir
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan yang cukup besar baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Namun kenyataan menunjukkan banyaknya keluhan dari murid tentang pelajaran matematika yang sulit, tidak menarik, dan membosankan. Keluhan ini secara langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika pada setiap jenjang pendidikan. Prestasi belajar ini sangat ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Namun, kenyataan yang ada adalah hasil prestasi belajar siswa masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan siswa kurang mampu memecahkan masalah matematika yang diberikan oleh guru, seperti yang dialami oleh siswa-siswi SD di Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida. Sebagian besar siswa SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida  mengalami kesulitan dalam memecahkan soal matematika, apalagi soal yang disajikan berupa soal cerita. Padahal dengan adanya soal-soal seperti itu akan dapat merangsang siswa untuk berpikir kreatif dalam memecahkannya. Meskipun upaya untuk mengatasi kemampuan memecahkan soal matematika yang rendah telah dilakukan oleh guru yang mengajar matematika di SD  Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida, namun itu semua tidak merubah keadaan. Hal itu sesuai dengan hasil observasi awal dengan guru mata pelajaran matematika di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya harus dicarikan solusi guna membantu siswa dalam memecahkan permasalahan matematika. Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang sesuai dengan masalah tersebut adalah pendekatan PCL. Pendekatan PCL, siswa diajarkan untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, terutama masalah matematika dengan baik, dari mulai merencanakan, memantau, hingga merefleksi hasil yang didapatkan.
Berdasarkan pemaparan kerangka berpikir di atas, diduga bahwa hasil kemampuan memecahkan masalah matematika siswa sesudah diterapkannya pendekatan PCL akan lebih tinggi daripada menggunakan model pembelajaran konvensional.

7.    Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut.
Ha. Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara sebelum dan sesudah diterapkan pendekatan PCL pada siswa kelas V semester II tahun pelajaran 2013/2014 SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida.



I. METODE PENELITIAN
1.    Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Gugus 1 Nusa Penida pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014 mulai bulan Januari sampai Maret.

2.    Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:117). Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh kelas V SD Gugus 1 Kecamatan, Nusa Penida yang terdiri dari SD No. 1 Sakti, SD No. 2 Sakti, SD No. 3 Sakti, SD No. 4 Sakti, SD No. 5 Sakti, SD No. 6 Sakti. Jumlah siswa kelas V masing-masing sekolah SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida  pelajaran 2012/2013 yang disajikan pada Tabel 3
Tabel 3. Komposisi Anggota Populasi Penelitian
No
Kelas Populasi
Jumlah Siswa
1
SD No. 1 Sakti
30
2
SD No. 2 Sakti,
30
3
SD No. 2 Sakti,
35
4
SD No. 2 Sakti,
32
5
SD No. 2 Sakti,
33
6
SD No. 2 Sakti,
35
Jumlah total populasi
195

Jumlah populasi dalam penelitian ini cukup besar sehingga perlu ditentukan sebagian dari jumlah populasi sebagai sumber data. “Bagian yang dipilih dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi disebut sampel” (Sugiyono, 2012: 118). Sampel diambil dengan cara group random sampling. Teknik ini digunakan sebagai teknik pengambilan sampel karena individu-individu pada populasi telah terdistribusi ke dalam kelas-kelas sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu-individu dalam populasi.
Dari 6 sekolah yang ada di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida dilakukan pengundian untuk diambil dua kelas yang akan dijadikan subjek penelitian. Dua  Sekolah yang dijadikan sampel penelitian merupakan kelas yang memiliki kemampuan akademik relatif sama jika dilihat dari perolehan nilai pada ulangan umum semester I. Untuk mengetahui sampel benar-benar setara, dilakukan uji-t kesetaraan dengan rumus sebagai berikut.


 
                                           (Koyan, 2012: 38)


Keterangan:      
   = rata-rata skor ulangan Matematika semester I kelas V1
   = rata-rata skor ulangan Matematika semester I kelas V2
n1   = banyak siswa kelas V1
n2   = banyak siswa kelas V2
s12   = varians kelas V1
s22   = varians kelas V2

Kriteria pengujian, jika thitung > ttab, maka H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga kelas tidak setara. Jika  thitung  ttab, maka H0 diterima dan H1 ditolak sehingga kelas setara. Berdasarkan uji kesetaraan yang telah dilakukan maka didapatkan data seperti Tabel 4.
Tabel 4. Uji Kesetaraan Kelas V SD di Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida
No
Sekolah
t hitung
t tabel
Keterangan
1
SD No. 1 Sakti
0,13
2,00
Setara
2
SD No. 1 Sakti
0,13
2,00
Setara
3
SD No. 1 Sakti
-0,05
2,00
Setara
4
SD No. 1 Sakti
0,14
2,00
Setara
5
SD No. 1 Sakti
0,15
2,00
Setara
6
SD No. 1 Sakti
0,14
2,00
Setara

Berdasarkan data hasil uji kesetaraan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh kelas V yang ada di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida memiliki kemampuan yang setara. Peneliti memilih dua sampel sekolah  yaitu SD No. 1 Sakti dan SD No. 2 Sakti. Dalam menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol, peneliti melakukan sistem undian. Berdasarkan sistem undian yang telah dilakukan, diperoleh hasil Sekolah SD No. 1 Sakti sebagai kelompok eksperimen dan Sekolah SD No. 2 Sakti sebagai kelompok control.


3.    Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasi satu atau lebih variabel pada satu atau lebih kelompok eksperimental. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang tidak dimanipulasi). Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena tidak semua variabel yang muncul dalam kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat.

4.    Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control group design. Dalam desain non equivalent post-test only control group design terdapat dua kelompok yang dipilih sebagai kelas eskperimen dan kelas kontrol. Desain eksperimennya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Non Equivalent Post-test Only Control Group Design
Kelas
Treatment
Post-test
Eksperimen
X
O1
Kontrol
O2
                                                                                    (Sugiyono, 2012: 112)
     Keterangan:           
E     = kelompok eksperimen
K    = kelompok control
O1    =  post-test terhadap kelompok eksperimen
O2    = post-test terhadap kelompok control
X     = treatment terhadap kelompok eksperimen pendekatan PCL
     = tidak memberikan treatment

Kelompok pertama yang merupakan kelas eksperimen yang diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan PCL, sedangkan kelompok kedua merupakan kelas kontrol yang mendapat perlakuan berupa pembelajaran Matematika dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

5.    Identifikasi Variabel dan Definisi Konseptual Variabel Penelitian
a.    Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel ialah objek penelitian atau segala sesuatu yang menjadi titik fokus perhatian dalam suatu penelitian (Agung, 2011). Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut.
1.    Variabel Bebas
            Variabel bebas yaitu satu atau lebih dari variabel-variabel yang sengaja dipelajari pengaruhnya terhadap variabel tergantung (Agung, 2011). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan PCL yang diterapkan pada kelompok eksperimen dan pembelajaran konvensional yang diterapkan pada kelompok kontrol.
2.    Variabel Terikat/Tergantung
            Variabel tergantung yaitu variabel yang keberadaanya atau munculnya bergantung pada variabel bebas (Agung, 2011). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah hasil belajar. Hasil belajar yang dimaksud adalah hasil belajar pada mata pelajaran matematika.
b.   Definisi Konseptual Variabel
1.    Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Pembelajaran dengan menerapkan pendekatan PCL merupakan pembelajaran yang dapat menjamin keterlibatan total semua siswa, dapat meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok ataupun pembelajaran, dan mampu membentuk karakter peserta didik.
2.    Model Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan dalam proses pembelajaran siswa cenderung pasif.
3.    Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa dalam mengikuti suatu program pengajaran pada satu jenjang pendidikan tertentu. Dalam hasil belajar tersebut diharapkan terjadi perubahan tingkah laku peserta didik meliputi semua aspek, yaitu: pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor). Pada penelitian ini, hasil belajar yang ditekankan adalah hasil belajar pada aspek pengetahuan (kognitif).
c.    Definisi Operasional Variabel
Hasil belajar matematika merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri siswa setelah mengikuti pembelajaran matematiaka dalam kurun waktu tertentu yang difokuskan pada aspek kognitif dan diukur dengan tes hasil belajar. Indikator yang digunakan dalam mengukur hasil belajar Matematika antara lain, (1) membuat jaring-jaring bangun ruang sederhana, (2) menunjukkan sifat-sifat kesebangun antarbangun, (3) menunjukkan dan menentukan sifat-sifat simetri lipat dan simetri putar, dan (5)  menghitung masalah yang berkaitan dengan bangun datar. Perangkat tes yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang hasil belajar matematika adalah tes objektif dalam bentuk pilihan ganda. Data yang dikumpulkan berbentuk skor pada skala interval.

6.    Prosedur Penelitian dan Langkah-langkah Eksperimen
a.    Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan untuk menentukan tindakan-tindakan yang mengarahkan peneliti menjalankan penelitian. Prosedur penelitian eksperimen dalam penelitian ini mempergunakan prosedur penelitian yang disajikan pada Gambar berikut.




Rounded Rectangle: Merancang perangkat serta instrument pembelajaran
 















Dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu sebagai berikut.
a.         Menentukan sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. Sekolah yang dipilih adalah sekolah yang belum pernah menggunakan pembelajaran dengan pendekatan PCL Hal ini dilakukan agar mendapat hasil yang signifikan dalam penelitian.
b.         Menentukan sampel berupa kelas dari populasi yang tersedia dengan cara mengundi.
c.         Mengunjungi sekolah yang telah terpilih dan meminta izin kepada kepala sekolah untuk melaksanakan penelitian.
d.        Menyiapkan materi yang akan dibahas selama penelitian. Pada penelitian ini dibahas pokok bahasan     menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana
e.         Menyiapkan alat dan bahan pembelajaran, yaitu: (1) menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada pokok menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana pendekatan PCL, (2) menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) pada pokok bahasan memahami kebebasan berorganisasi dengan pendekatan PCL dan (3) menyiapkan alat dan media yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
f.          Menyiapkan instrumen penelitian, yaitu: (1) menyiapkan tes dengan materi yang dikaji yaitu pada pokok bahasan memahami menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana, dan (2) menyiapkan kunci jawaban tes yang akan digunakan.
g.         Mengkonsultasikan perangkat pembelajaran dan instrumen yang akan digunakan untuk penelitian dengan dosen pembimbing. Kemudian menguji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya beda instrumen tersebut.
h.         Memberikan perlakuan pembelajaran yang diteliti. Pembelajaran dengan pendekatan PCL dan pembelajaran dengan strategi konvensional pada kelas kontrol.
i.           Memberikan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Post-test dilaksanakan setelah perlakuan pembelajaran.
j.           Melakukan analisis data hasil belajar sesuai data yang diperoleh.
k.         Menyusun laporan penelitian.
b.   Langkah-langkah Eksperimen
            Kegiatan penelitian ini dilaksanakan atas kerja sama dengan guru pengampu mata pelajaran Matematika di kelas V SD No. 1 dan 2 Sakti. Langkah-langkah dan perbandingan perlakuan antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Langkah-langkah dan Perbedaan Perlakuan terhadap Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
No
Komponen Perlakuan
Kelas
Eksperimen
Kelas
Kontrol
1
Materi Pelajaran
menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana
menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana
2
Waktu Pembatasan
Pembelajaran dilakukan 1 kali seminggu, tiap pertemuan 2 jam pelajaran, selama 12 kali pertemuan.
Pembelajaran dilakukan 1 kali seminggu, tiap pertemuan 2 jam pelajaran, selama 12 kali pertemuan.
3
Kegiatan Penelitian
1)   Pertemuan 1-11
Penerapan pembelajaran dengan Pendekatan Problem Centered Learning (PCL) 
2)   Pertemuan 12
Memberikan post-test.
1)   Pertemuan 1-11
Penerapan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional.
2)   Pertemuan 12
Memberikan post-test.
4
Tes Hasil Belajar Matematika
Tes Objektif (Pilihan Ganda)
Tes Objektif (Pilihan Ganda)
5
Jumlah Butir Tes
30
30

7.        Instrumen Penelitian
a.    Konsepsi
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar matematika dalam penelitian ini berupa tes objektif (pilihan ganda) dengan satu jawaban benar yang berjumlah 30 butir soal. Setiap soal disertai dengan empat alternatif jawaban (a, b, c, dan d) yang akan dipilih siswa. Setiap butir item akan diberikan skor 1 untuk siswa yang menjawab benar (jawaban dicocokkan dengan kunci jawaban) dan skor 0 untuk siswa yang menjawab salah. Skor setiap jawaban kemudian dijumlahkan dan jumlah tersebut merupakan skor variabel hasil belajar matematika. Rentang skor ideal yang mungkin diperoleh siswa adalah 0-30. Skor 0 merupakan skor minimal ideal dan skor 30 merupakan skor maksimal ideal tes hasil belajar matematiaka.
Berdasarkan uraian di atas, metode pengumpulan data dan instrumen penelitian ini dapat disimpulkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Metode Pengumpulan Data
Variabel
Metode
Instrumen
Sumber Data
Sifat Data
Hasil Belajar
Tes
Tes Objektif (Pilihan Ganda)
Siswa Kelompok Eksperimen dan Kontrol
Skor (Interval)

b.   Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen untuk mengukur variabel hasil belajar matematika digunakan untuk memperjelas aspek yang akan dinilai.
c.    Uji Coba Instrumen Penelitian
Suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2002). Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk mendapat gambaran secara empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen penelitian. Instrumen penelitian tersebut terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan uji: validitas tes, reliabilitas tes, taraf kesukaran tes, dan daya beda tes.
1.        Validitas Tes
Validitas tes berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar dalam Rizkianto,  2009). Sebuah tes dikatakan valid atau sahih jika tes tersebut dapat mengukur dan mampu menyingkap objek yang hendak diukur (ketepatan alat ukur dengan hal yang diukur) (Agung, 2010). Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi yang seharusnya dievaluasi.
Suatu item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyatakan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebuah item mempunyai kesejajaran dengan skor total.  Kesejajaran antara validitas item dengan skor total
dapat diartikan sebagai korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item digunakan rumus korelasi (Arikunto, 2002).
Rumus korelasi yang digunakan untuk menguji data yang berbentuk dikotomi adalah teknik korelasi point biserial, dengan rumus sebagai berikut.

            (Koyan, 2011: 129)       
Keterangan: 
rpbi   =   koefisien korelasi point biserial
Mp   =   rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi butir yang dicari validitasnya
Mt   =   rerata skor total
st     =   standar deviasi dari skor total
p     =   proporsi peserta didik yang menjawab betul (banyaknya peserta didik yang menjawab betul dibagi dengan jumlah seluruh peserta didik)
q     =   proporsi peserta didik yang menjawab salah (q = 1 – p)

Suatu butir tes dinyatakan valid jika r hitung lebih besar daripada r tabel dengan taraf signifikansi atau taraf kekeliruan 5% (r-hit > r-tab dengan t.s. 5%).
2.        Reliabilitas Tes
Suatu tes dapat dikatakan mempunyai tingkat kepercayan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (ajeg). Untuk menghitung reliabilitas konsistensi internal yang datanya berbentuk dikotomi, digunakan rumus Kuder Richardson 20 (KR-20) dengan rumus sebagai berikut.

        (Koyan, 2011:133)
Keterangan: 
r1.1          =  koefisien reliabilitas tes
k            =  banyak butir tes
p            =  proporsi testee yang menjawab betul
q            = proporsi testee yang menjawab salah
       =  varian total tes
pq          = p x q



Untuk menentukan derajat reliabilitas tes, dapat digunakan kriteria yang dikemukakan Guilford (dalam Koyan, 2011: 136) sebagai berikut.
0       £   0,20   : sangat rendah
0,20  £  0,40   : rendah
0,40  £   0,60   : sedang
0,60  £   0,80   : tinggi
0,80  £   1,00   : sangat tinggi
3.        Taraf Kesukaran Tes
Derajat kesukaran adalah kemampuan tes tersebut dalam menjaring banyaknya subjek peserta tes yang dapat menjawab dengan betul (Arikunto, 2002). Koyan (2011: 139) menyatakan ”taraf kesukaran adalah kesulitan tes dipandang dari kemampuan peserta didik untuk menjawab soal tersebut; artinya, tes tersebut akan lebih banyak dijawab benar oleh peserta didik yang pandai dan lebih banyak dijawab salah oleh peserta didik yang bodoh”.
Tingkat kesukaran butir tes merupakan bilangan yang menunjukkan proporsi peserta ujian (testee) yang dapat menjawab betul butir soal tersebut. Sedangkan tingkat kesukaran perangkat tes adalah bilangan yang menunjukkan rata-rata proporsi testee yang dapat menjawab seluruh (perangkat) tes tersebut. Tingkat kesukaran perangkat tes dapat diukur dengan rumus sebagai berikut.

      (Koyan, 201: 139)
Keterangan:
Pp   =   tingkat kesukaran perangkat tes
P     =   tingkat kesukaran tiap butir
n     =   banyaknya butir tes

Tingkat kesukaran tiap butir, dihitung dengan rumus sebagai berikut:
             (Koyan, 2011:140)
Keterangan:
P     =   tingkat kesukaran butir tes
nB   =   banyaknya subjek yang menjawab soal dengan betul
n     =   jumlah subjek (testee) seluruhnya

Kriteria tingkat kesukaran (P):
0,00 – 0,29 =   sukar
0,30 – 0,70 =   sedang
0,71 – 1,00 =   mudah

Fernandes (dalam Koyan, 2011: 140) menyatakan ”tes yang baik adalah tes yang memiliki taraf kesukaran antara 0,25-0,75”.

4.        Daya Beda Tes
Daya beda butir tes adalah kemampuan butir tes tersebut membedakan antara testee kelompok atas (pinter) dan testee kelompok bawah (lemah). Daya beda perangkat tes adalah rata-rata kemampuan tiap butir tes membedakan antara testee kelompok atas (pinter) dan testee kelompok bawah (lemah) (Agung, 2010).
Koyan (2011: 140) menyatakan,
daya pembeda tes adalah kemampuan tes untuk membedakan antara peserta didik yang pandai dan bodoh; artinya, jika tes tersebut diberikan kepada anak yang tergolong pandai akan lebih banyak dapat dijawab dengan benar, sedangkan jika diberikan kepada peserta didik yang tergolong bodoh akan lebih banyak dijawab salah.

Rumus untuk menghitung tingkat daya beda tes adalah sebagai berikut.
     (Koyan, 2011:1 41)
Keterangan:
Dp   =   daya beda tes
n     =   jumlah butir tes

Rumus untuk menghitung daya beda butir tes adalah sebagai berikut.

   (Koyan, 2011:141)
Keterangan:
nBA =   jumlah subjek yang menjawab betul pada kelompok atas
nBB =   jumlah subjek yang menjawab betul pada kelompok bawah
nA    =   jumlah subjek kelompok atas
nB    =   jumlah subjek kelompok bawah

Kriteria daya beda tes (D):
0,00 – 0,19 =   kurang baik
0,20 – 0,39 =   cukup baik
0,40 – 0,70 =   baik
0,71 – 1,00 =   sangat baik
Fernandes (dalam Koyan, 2011: 141) menyatakan ”jika ’D’ negatif, soal tersebut sangat buruk dan harus dibuang”. Tes yang baik, apabila memiliki D antara 0,15-0,20 atau lebih.

8.    Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial.
a.    Deskripsi Data
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kualitas dari dua variabel yaitu model pembelajaran dan hasil belajar siswa. Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1.        Rumus untuk Mencari Rata-rata/Mean (M)


 
                                               (Koyan, 2007: 13)                   
Keterangan:
M         = mean
            = jumlah frekuensi x skor
n          = jumlah sampel

2.        Rumus untuk Mencari Median (Md)
                             (Koyan, 2011: 112)                
Keterangan:
Md  =   median
b     =   batas bawah dari daerah median
p     =   panjang kelas (interval)
n     =   jumlah sampel/banyak data
F     =   f kumulatif sebelum kelas median (jumlah semua frekuensi sebelum kelas median)
f      =   frekuensi kelas/daerah median

3.        Rumus untuk Mencari Modus (Mo)
                                     (Koyan, 2011: 110)     
Keterangan:
Mo  =   modus
b     =   batas kelas interval dengan frekuensi terbanyak (batas bawah)
p     =   panjang kelas (interval) dengan frekuensi terbanyak
b1    =   frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas interval yang terbanyak) dikurangi frekuensi kelas interval terdekat yang lebih rendah
b2    =   frekuensi kelas modus dikurangi frekuensi kelas interval yang lebih tinggi

4.        Rumus untuk Mencari Standar Deviasi (s)
                                (Koyan, 2011: 114)
Keterangan:
s        =   standar deviasi
          =   jumlah skor
n        =   banyak sampel

5.        Teknik Penyajian Data
Deskripsi data (mean, median, modus) tentang hasil belajar matematika siswa selanjutnya disajikan ke dalam kurva poligon. Tujuan penyajian data ini adalah untuk menafsirkan sebaran data hasil belajar matematika pada kelompok eksperimen dan kontrol. Hubungan antara mean (M), median (Md), dan modus (Mo) dapat digunakan untuk menentukan kemiringan kurva poligon distribusi frekuens (Koyan, 2007). Ketentuan kemiringan kurva poligon distribusi frekuensi adalah sebagai berikut.
a.         Jika mean lebih besar dari median dan median lebih besar dari modus (M>Md>Mo), maka kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah
b.         Jika modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M), maka kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi.

6.        Skala Penilaian
Untuk menentukan tinggi rendahnya kualitas hasil belajar penelitian ini digunakan skala penilaian seperti pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Skala Penilaian atau Kategori Hasil Belajar pada Skala Lima
Rentang Skor
Kategori
Mi + 1,5 SDi MMi + 3,0 SDi
Sangat Tinggi
Mi + 0,5 SDi M< Mi + 1,5 SDi
Tinggi
Mi – 0,5 SDi M< Mi + 0,5 SDi
Sedang
Mi – 1,5 SDi  M< Mi – 0,5 SDi
Rendah
Mi – 3,0 SDi  M< Mi – 1,5 SDi
Sangat Rendah
(Dimodifikasi dari Koyan, 2011)
Keterangan:
M  =     rata-rata skor hasil belajar matematika siswa
Mi =     rata-rata ideal dihitung dengan rumus: 1/2 (skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
SDi =   standar deviasi ideal dihitung dengan rumus: 1/6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)

b.   Uji Prasyarat Analisis Data
Sebelum melakukan uji hipotesis, harus dilakukan beberapa uji prasyarat, yaitu sebagai berikut.
a.         Uji Normalitas Distribusi Data
Setelah mendapat data awal tentang hasil belajar matematika, data tersebut kemudian diuji normalitas distribusinya untuk mengetahui data kedua kelompok tersebut berdistribusi normal atau tidak. Hipotesis statistiknya, yaitu:
H0:
H1:
Uji normalitas distribusi untuk skor hasil belajar matematika digunakan analisis Chi-Kuadrat dengan rumus:
             (Koyan, 2011:105)
Keterangan:
fo   = frekuensi observasi
fe   = frekuensi harapan
Kriteria pengujian, jika  dengan taraf signifikasi 5% (dk = jumlah kelas dikurangi parameter, dikurangi 1), maka H0 diterima yang berarti data berdistribusi normal.
b.        Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui bahwa kedua kelompok mempunyai varians yang sama atau tidak. Jika kedua kelompok mempunyai varians yang sama maka kelompok tersebut dikatakan homogen. Hipotesis statistiknya, yaitu:
H0:
H1:
Keterangan:
= varians kelompok eksperimen
= varians kelompok control

Homogenitas varians untuk kedua kelompok digunakan uji F dengan menggunakan rumus:
                                     (Agung, 2011)
Kriteria pengujian, jika  pada taraf signifikan 5% dengan derajat kebebasan untuk pembilang n1 – 1 dan derajat kebebasan untuk penyebut n2 – 1, maka H0 ditolak yang berarti sampel tidak homogen.
c.    Uji Hipotesis
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah uji-t sampel independent (tidak berkorelasi) dengan rumus polled  varians sebagai berikut.
        
                                                                                                      (Agung, 2011: 34)



Keterangan:   
=   rata-rata skor post-test kelompok eksperimen
     =          rata-rata skor post-test kelompok kontrol
n1     =   banyak siswa kelompok eksperimen
n2    =   banyak siswa kelompok kontrol
s12   =   varians kelompok eksperimen
s22   =   varians kelompok kontrol

Kriteria pengujian, terima H0 jika thitung  ttabel dan tolak H0  jika thitung > ttabel. Harga t pengganti ttabel (dengan taraf signifikasi 5%) dengan db = (n1 + n2) -2.
Jika H1 diterima dan H0 ditolak, maka dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan Problem Centered Learning (PCL) dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. Jika eksperimen > kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan PCL berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Atau jika eksperimen < kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh pendekatan PCL tidak berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa.