A.
JUDUL
PENELITIAN
Pengaruh
Pendekatan Problem Centered Learning
(PCL) terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester Genap SD di Gugus I Desa Sakti
Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2013/2014.
B.
IDENTITAS
PENELITI
Nama : I Kadek Winaya
NIM :
1111031114
Jurusan : Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas : Ilmu Pendidikan
C.
LATAR
BELAKANG
Kualitas
sumber daya manusia merupakan hal yang vital dalam mewujudkan kemajuan bangsa,
sebab sumber daya manusia yang berkualitas merupakan wujud dari bangsa yang
maju dan bermartabat. Hal
ini sesuai dengan pasal 3 UU RI No. 20 tahun 2003 dinyatakan dengan tegas bahwa
fungsi pendidikan nasional adalah sebagai berikut.
pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Perwujudan
dari harapan ini harus dibangun dengan potensi yang sangat kuat melalui
pendidikan yang berkualitas pula. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak juga
hal yang dapat dilakukan untuk bangsa, karena secara umum manfaat pendidikan berorientasi
pada kecakapan hidup bagi siswa untuk bekal dalam menghadapi dan memecahkan
problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga
masyarakat, maupun sebagai warga Negara. Pendidikan diberi arti sebagai proses
yang terus menerus seumur hidup, berlangsung dimana dan kapan saja, serta tidak
terikat pada kelompok tertentu. Semiawan (1999: 245)
menyatakan bahwa “belajar merupakan aktivitas atau pengalaman yang menghasilkan
perubahan pengetahuan, prilaku dan pribadi yang bersifat permanen. Perubahan
itu dapat bersifat penambahan atau pengayaan pengetahuan, perilaku atau
kepribadian dan mungkin juga dapat bersifat pengurangan atau reduksi
pengetahuan”. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang kehidupan
manusia akan selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau tujuan yang ingin
dicapai.
Perubahan
pendidikan kearah yang positif ditentukan oleh peranan guru dalam proses
pembelajaran khususnya kemampuan guru dalam mengefektifkan penerapan
teori-teori belajar dengan mengintegrasikan konsep baru dengan konsep yang
sudah ada sehingga pembelajaran yang dilaksanakan lebih bermakna. Menurut teori
Ausubel (dalam Muhsetyo dkk 2007: 19), kebermaknaan pembelajaran akan membuat
kegiatan belajar lebih menarik, lebih bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga
penanaman konsep pada pembelajaran khususnya pembelajaran matematika akan lebih
mudah dipahami dan lebih tahan lama diingat oleh siswa.
Matematika
merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan yang sangat besar baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Matematika bukan hanya sekadar aktivitas penjumlahan, pengurangan, pembagian,
dan perkalian, melainkan beragam jenis topik dan persoalan yang akrab dengan
kehidupan sehari-hari. Dalam perdagangan
kecil-kecilan saja, orang dituntut untuk mengerti aritmetika, minimal
penjumlahan dan pengurangan. Selain itu, matematika merupakan ilmu yang
mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai
disiplin ilmu, dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan
matematika. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan
penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Sedangkan menurut Soedjadi (2001: 143) menyatakan bahwa “dewasa ini
matematika sering dipandang sebagai bahasa ilmu, alat komunikasi antara ilmu
dan ilmuwan, serta merupakan alat analisis”. Dengan demikian, matematika merupakan
ilmu dasar dari pengembangan sains (basic
of science) dan sangat berguna dalam kehidupan, sehingga matematika sangat
penting diajarkan di sekolah.
Pendidikan matematika, khususnya pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar
mempunyai peranan yang sangat penting, sebab jenjang ini merupakan pondasi bagi pembentukan konsep dalam diri siswa.
Konsep matematika yang diterima siswa pada jenjang sekolah dasar akan terus
dikembangkan pada jenjang selanjutnya dan memiliki keterhubungan dengan konsep
yang lain. Penguasaan konsep yang dimiliki siswa pada jenjang dasar akan
menentukan baik buruknya penguasaan konsep yang lainnya. Penguasaan konsep yang
dimiliki siswa dapat diketahui salah satunya dengan melihat kemampuannya dalam
memecahkan masalah matematika yang diberikan guru.
Budhayanti (2008: 1) menyatakan bahwa “pemecahan masalah merupakan
salah satu topik yang penting dalam mempelajari matematika”. Hal ini sejalan dengan pendapat
Suherman, dkk (2003: 89) yaitu,
pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang
sangat penting karena dalam proses pembelajaran, siswa akan memperoleh
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.
Masalah
matematika yang dapat dipecahkan tidak hanya bersifat rutin, melainkan juga
bersifat tidak rutin. Pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin membutuhkan
pemikiran yang lebih tinggi dibandingkan dengan soal rutin. Dengan kata lain,
dengan pemecahan masalah siswa dapat melatih keterampilan intelektual tingkat
tinggi, seperti yang dikatakan oleh Gagne (dalam Suherman, 2003: 89) bahwa “keterampilan intelektual tingkat
tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah”.
Banyak faktor yang
diduga menjadi penyebab rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dalam proses pembelajaran di kelas
hanya berorientasi pada target menuntaskan materi dan kurikulum. Dalam
pembelajaran yang berorientasi untuk menuntaskan materi kurikulum, guru
mengusahakan agar materi yang ada pada kurikulum habis disampaikan dan
disajikan di kelas tanpa memperhatikan apakah siswa sudah dapat menguasai
materi tersebut atau belum. Guru mengabaikan pemahaman siswa terhadap materi
yang telah disajikan. Pembelajaran yang hanya bertujuan menuntaskan materi,
akan berdampak pada siswa, yaitu siswa akan sulit menemukan atau mengaitkan
materi yang dipelajari dikelas dengan situasi nyata. Pembelajaran seperti ini
hanya berhasil mengembangkan kompetensi siswa
mengingat konsep yang diajarkan dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali siswa memecahkan masalah dalam jangka panjang. Siswa mengetahui
tentang konsep-konsep matematika dan dapat memecahkan soal-soal akademis secara
tepat, namun ketika menemui persoalan dalam kehidupan nyata siswa kebingungan
dalam menggunakan konsep-konsep yang telah dimiliki.
Kedua, pendidikan
matematika di sekolah pada umumnya masih berada pada pendidikan konvensional
yang banyak ditandai proses yang struktural dan mekanistik. Pada proses
pembelajaran konvensional tersebut, siswa diharapkan untuk memahami dan
menyususun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan
membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka pembelajaran lebih
berpusat pada guru sehingga terkesan kurang menarik dan menyenangkan.
Ketiga, penyajian
masalah/soal-soal matematika di sekolah pada umumnya lebih di dominasi oleh
soal dalam bentuk tertutup (closed problem) seperti yang terdapat di
buku-buku paket sekolah dasar (SD). Soal dalam bentuk tertutup maksudnya adalah
permasalahan matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga hanya
memiliki satu jawaban yang benar dan satu cara pemecahannya (Sudiarta, 2008).
Penyajian soal dalam bentuk tertutup biasanya akan menyebabkan siswa dengan
mudah menebak dan mendapat solusinya, tanpa melalui “proses mengerti”.
Sebaliknya, siswa akan mengalami masalah atau gagal mengerjakan soal
matematika, jika soalnya sedikit dirubah atau jika konteksnya dibuat sedikit
berbeda dari contoh-contoh yang telah diberikan. Oleh karena itu dalam
memecahkan masalah siswa cenderung terpaku pada contoh-contoh penyelesaian
masalah yang diberikan oleh guru. Siswa jarang diberikan kesempatan untuk
mengkonstruksi pengetahuannya. Sehingga hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa, yang nantinya akan sangat berpengaruh pada
hasil belajar matematika siswa.
Dari hasil observasi ke
lapangan, ternyata hasil belajar yang
diperoleh siswa kurang memuaskan. Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara
dan studi dokumen yang dilakukan ke seluruh SD di Gugus I Kecamatan Nusa Penida,
yaitu dengan 6 orang guru yang mengajarkan mata pelajaran matematika kelas V SD
diperoleh informasi bahwa soal
ulangan matematika siswa kelas V SD sudah mengacu pada soal pemecahan masalah.
Pada soal yang diberikan kepada siswa sudah terdapat beberapa soal cerita yang
menuntut pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Namun hasil ulangan
umum siswa kelas V menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesalahan
pada soal cerita. Kesalahan ini disebabkan karena siswa tidak mampu memahami
masalah yang diberikan dan tidak mampu mengubah soal cerita ke dalam bentuk
matematika sehingga siswa sulit menemukan penyelesaian dari soal tersebut
yang pada akhirnya nilai ulangan akhir semester matematika siswa kelas V
rendah. Hal ini dibuktikan dari dokumen hasil ulangan akhir matematika siswa
yang sebagian besar memperoleh nilai menengah kebawah, bahkan ada yang masih
memperoleh nilai dibawah Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah yang ada
di gugus I Kecamatan Nusa Penida. Berikut data rata-rata nilai ulangan akhir
semester (UAS) Matematika dan KKM pada seluruh SD yang ada di Gugus I Nusa
Penida dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Nilai Rata-rata UAS dan KKM pada Seluruh SD
yang ada di Gugus I Kecamatan Nusa Penida
No
|
Nama Sekolah Dasar
|
Rata-rata nilai ulangan akhir Matematika
|
KKM
|
1
|
SD
No. 1 Sakti
|
65,62
|
65
|
2
|
SD
No. 2 Sakti
|
66,07
|
65
|
3
|
SD
No. 3 Sakti
|
65,46
|
65
|
4
|
SD
No. 4 Sakti
|
66,18
|
65
|
5
|
SD
No. 5 Sakti
|
62,43
|
65
|
6
|
SD
No. 6 Sakti
|
61,71
|
65
|
(Sumber: Tata Usaha SD di Gugus I
Nusa Penida, 2013)
Berdasarkan
uraian di atas, maka proses pembelajaran matematika perlu dioptimalkan
kualitasnya dalam rangka membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah sehingga mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Strategi pembelajaran matematika hendaknya mempertimbangkan
keadaan siswa dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika
merupakan suatu aktivitas manusia (a human activity), dan harus ditemukan
kembali (re-invented), bukan disajikan sebagai sebuah produk siap pakai
(ready-made product) (Freudenthal, 1973: 114–121). Salah satu alternatif
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah matematika yaitu
pendekatan belajar berpusat masalah atau pendekatan PCL. Pendekatan ini terdiri
atas tiga tahapan utama yaitu: memecahkan masalah secara individu, membahas
masalah dalam kelompok, dan berbagi (sharing) masalah dalam kelas. Pendekatan
PCL merupakan suatu pembelajaran yang senantiasa menghadirkan ide-ide
matematika dalam situasi berpusat pada masalah. Pendekatan ini sebagai titik
tolak pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa melakukan identifikasi
masalah yang muncul, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan
masalah, dan mencoba memberikan alternatif solusi.
Siswa dalam pendekatan PCL, melakukan investigasi melalui
negosiasi dalam menentukan dan mengonstruksi ide-ide matematika yang tersirat
dalam situasi masalah yang diberikan, sehingga memperoleh
pengetahuan yang direncanakan. Pendekatan PCL
memungkinkan siswa menstimulasikan pikirannya untuk membuat konsep yang ada
menjadi logis berdasarkan masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan
konsep-konsep tersebut sesuai dengan aturan matematika yang diketahui menurut
bahasa atau pemahaman sendiri. Melalui aktivitas pembelajaran pada
masalah-masalah yang menarik, siswa selalu berusaha memecahkan masalah,
mementingkan komunikasi, memfokuskan pada proses-proses penyelidikan dan
penalaran, dan mengembangkan kepercayaan diri dalam menghadapi situasi
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dalam penelitian
ini mengkaji tentang Pengaruh Pendekatan PCL Terhadap Hasil Belajar Matematika
Siswa Kelas V Semester Genap SD di Gugus I Desa Sakti Kecamatan Nusa Penida
Kabupaten Klungkung Tahun Pelajaran 2013/2014?
D. PEMBATASAN MASALAH
Menyadari
banyak teridentifikasi permasalahan dalam proses pembelajaran Matematika seperti
yang diungkap sebelumnya, maka penelitian ini dilaksanakan terbatas pada
pengaruh model pembelajaran Pendekatan PCL dalam meningkatkan hasil belajar matematika
siswa. Hasil belajar dari penerapan model pembelajaran ini akan dibandingkan
dengan hasil belajar dari kegiatan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru
(konvensional). Hasil belajar siswa yang ditekankan adalah hasil belajar pada
ranah kognitif saja, namun tampa mengesampingkan pemerolehan hasil belajar pada
ranah afektif dan psikomotor. Hasil belajar berfokus pada keberhasilan belajar
peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Standar
kompetensi yang ditentukan terbatas pada kompetensi dasar membuat jaring-jaring bangun ruang sederhana, menunjukkan
sifat-sifat kesebangun antarbangun, menunjukkan dan menentukan sifat-sifat
simetri lipat dan simetri putar, dan menghitung masalah yang berkaitan dengan
bangun datar.
E.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai
berikut.
apakah terdapat perbedaan yang signifikan hasil
belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan pendekatan
PCL dan
siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada
siswa kelas V semester Genap tahun pelajaran
2013/2014 di SD Gugus I Kecamatan
Nusa Penida Kabupaten Klungkung?
F.
TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan
masalah yang telah diajukan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah ada perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang
mengikuti pembelajaran dengan pendekatan PCL dan siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V semester
Genap tahun pelajaran 2013/2014 di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida
Kabupaten Klungkung.
G.
MANFAAT PENELITIAN
Adapun
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Hasil
penelitian ini dapat member sumbangan atau menambah khazanah dalam ilmu
pengetahuan di bidang pendidikan, khususnya dalam pelajaran matematika di SD.
Melalui penelitian ini akan terkumpul informasi tentang ada tidaknya perbedaan
hasil belajar matematika siswa antara kelompok siswa yang belajar dengan
menggunakan pendekatan PCL dan kelompok siswa yang belajar dengan model
pembelajaran konvensional. Berdasarkan informasi yang diperoleh, maka secara
teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan dan
penelitan-penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Penelitian
ini bermanfaat bagi semua pihak yaitu bagi siswa, guru, sekolah dan peneliti,
dengan penjelasan sebagai berikut.
a.
Bagi Siswa
Meningkatkan hsail
belajar khususnya pada mata pelajaran matematika, dan lebih mengembangakn
kemampuannya menyelesaikan suatu permasalahan matematika.
b. Bagi Guru
Dengan mengetahui pembelajaran Pendekatan PCL, guru mampu mengembangkan
pembelajaran dengan mengembangakan pembelajaran dengan pendekatan yang tepat
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
- Bagi Sekolah
Dengan mengembangkan pembelajaran dan pendekatan yang tepat,
sekolah dapat meningkatkan mutu sekolah yang memiliki tenega pengajar yang
professional dan murid yang mampu berdaya saing.
- Bagi Peneliti
Dapat menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman mengenai pendekatan
PCL dalam upaya meningkatkan hasil belajar.
e. Bagi Peneliti lain
Dapat memberikan motivasi atau menginspirasi peneliti lain untuk
mengembangkan pendekatan PCL.
H.
KAJIAN PUSTAKA
1.
Hasil
Belajar
Belajar dan mengajar
merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Belajar
merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek dalam belajar,
sedangkan mengajar merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru
sebagai pengajar. Dua konsep belajar dan mengajar yang dilakukan oleh siswa dan
guru terpadu dalam satu kegiatan yang disebut proses
pembelajaran.
Dalam proses
pembelajaran tentunya ada suatu tujuan yang ingin dicapai, hasil pencapaian
tujuan pembelajaran inilah yang disebut sebagai hasil belajar. Banyak pakar
pendidikan dan psikologi yang telah mendefinisikan tentang hasil belajar.
Sebagaimana yang dikemukakan Sudjana (1989: 22) bahwa “hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya”. Sedangkan Sanjaya (2011) menjelaskan bahwa “hasil belajar adalah
kemampuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah menerima
perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat mengkonstruksikan pengetahuan
itu dalam kehidupan sehari-hari”. Demikian pula Arikunto mengatakan bahwa
“hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan
itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati dan dapat diukur” (Anonim, 2011).
Selain itu, Nasution juga mengemukakan bahwa “hasil belajar adalah suatu
perubahan pada diri individu” (Anonim, 2011). Perubahan yang dimaksud tidak
hanya perubahan pengetahuan, tetapi juga meliputi perubahan kecakapan, sikap,
pengertian, dan penghargaan diri pada individu tersebut.
Dari pengertian hasil
belajar yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh oleh siswa dalam bentuk kemampuan,
keterampilan, dan sikap setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar yang
diperoleh oleh siswa dapat diamati dan dapat diukur melalui kegiatan penilaian.
Penilaian dapat diartikan sebagai sutu tindakan atau kegiatan untuk menilai
sejauh mana tujuan-tujuan intruksional dapat tercapai dan sejauh mana materi
yang diberikan dikuasai siswa.
Pada tahun 1940-an,
tedapat beberapa pakar pendidikan di Amerika Serikat yaitu, Benjamin S. Bloom,
M.D. Englehart, E. Furst, W.H. Hill, Daniel R. Krathwohl dan didukung pula oleh
Ralph E. Tylor, untuk mengembangkan metode pengklasifikasian tujuan pendidikan
yang disebut taxonomy. Mereka
berkumpul kurang lebih lima tahun untuk mendiskusikan pengelompokan tujuan
pendidikan, yang pada akhirnya melahirkan sebuah karya Bloom dan kawan-kawan,
dengan judul: Taxonomy of Educational
Objectives (1956). Pendapat yang dimunculkan oleh Benjamin S. Bloom dan
kawan-kawan adalah bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan itu harus
senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain
(daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu:
Ranah proses berpikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective
domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain). Dalam konteks evaluasi
hasil belajar maka ketiga ranah itulah yang dijadikan sasaran dalam setiap
kegiatan evaluasi hasil belajar. Hal ini bertujuan agar evaluator mampu untuk
mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik.
a.
Ranah Kognitif
Ranah
kognitif merupakan ranah yang mencakup kegiatan mental. Menurut Bloom, segala
upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.
Dalam ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, dari tingkatan
terendah sampai tingkatan tertinggi, yaitu, pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis
(synthesis), penilaian (evaluation).
1. Pengetahuan
(knowledge)
Merupakan kemampuan seseorang untuk
mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah,
ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk
menggunakannya. Contohnya adalah siswa diberikan tugas/tes yang mampu menguji
kembali pengetahuan siswa tentang rumus luas segi empat (p x l) yang sudah
diajarkan.
2. Pemahaman
(comprehension)
Merupakan kemampuan seseorang untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah sesatu itu diketahui dan diingat.
Memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai
segi. Peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat menjelaskan
sesuatu lebih rinci tentang hal itu menggunakan kata-katanya sendiri. Contoh:
siswa dapat memverbalkan/membahasakan rumus luas segi empat (p x l) dengan
bahasanya sendiri.
3. Penerapan
atau Aplikasi (application)
Adalah kesanggupan seseorang untuk
menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara atau metode-metode,
prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebgaianya, dalam situasi yang
kongkret. Ini setingkat lebih tinggi dari pemahaman. Peserta didik dikatakan
mampu melakukan penerapan apabila peserta didik bisa menggunakan pengetahuan
dan pemahamannya terhadap masalah yang dihadapi di dunia nyata. Contoh: Siswa
mampu menerapkan rumus luas segiempat ( p x l ) untuk mencari luas dari lantai
yang berbentu segiempat dalam suatu ruangan
4. Analisis
(analysis)
Adalah kemampuan seseorang untuk
merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang
lebih kecil dan mampu memahami hubungan diantara bagian atau faktor-faktor
lainnya. Contoh: menganalisis bentuk, jenis atau arti suatu puisi
5. Sintesis
(synthesis)
Adalah kemampuan berpikir yang
merupakan kebalikan dari proses berpikir analisis. Sintesis merupakan suatu
proses yang memadukan bagian-bagian atau unsure secara logis, sehingga menjelma
menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru. Contoh:
mengformulasikan hasil penelitian di laboratorium
6. Penilaian
atau evaluasi (evaluation)
Adalah merupakan jenjang berpikir
paling tinggi dalam ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom. Penilaian atau
evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan
terhadap suatu situasi, nilai atau ide, misalnya seseorang dihadapkan dengan
suatu pilihan, ia akan mampu memilih pilihan yang terbaik, sesuai dengan
patokan atau kriteria yang sudah ada. Peserta didik dikatakan mampu
mengevaluasi apa bila dia tahu keputusan apa yang harus dia pilih dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi sesuai dengan karakteristik
masalahnya. Contoh: siswa diberikan suatu persoalan terkait dengan pemakaian
rumus volume dari prisma beralas segitiga, namun tidak tercantum berapa panjang
alas dari segitiga tersebut. Disini siswa harus mampu menerapkan pemahaman dan
pengetahuannya tentang segitiga dan prisma sebagi pertumbangan atau acuan dalam
menyelesaikan soal.
Keenam
jenjang berpikir pada ranah kognitif Taksonomi Bloom, jika diuraikan secara
herarki pyramidal adalah sebagaimana terlukis pada berikut.
GAMBAR 1. Enam jenjang
Berpikir pada Ranah Kognitif
Keenam
jenjang berpikir pada ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom itu bersifat
kontinum dan overlap (tumpang tindih), ranah yang paling tinggi meliputi semua
ranah di bawahnya.
GAMBAR
2. Ovelap
antara Enam Jenjang pada Ranah Kognitif
Keterangan:
Pengetahuan (1).
Pemahaman (2). Aplikasi atau Penerapan (3) Analisis (4) Sintesis (5) Evaluasi
(6)
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman serta
teknologi. Salah seorang murid Bloom yang bernama Lorin Anderson merevisi
taksonomi Bloom pada tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun
2001 dengan nama “Revisi Taksonomi Bloom”. Dalam revisi ini ada perubahan kata
kunci, pada kategori dari kata benda menjadi kata kerja. Masing-masing kategori
masih diurutkan secara hirarkis, dari urutan terendah ke yang lebih tinggi.
Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis diintegrasikan
menjadi analisis saja. Hal ini diakibatkan karena adanya pandangan bahwa
sintesis dan analisis memiliki kedudukan yang sama.
Misalnya, macam-macam bangun ruang adalah Kubus, Balok,
Prisma segitiga, Kerucut, Limas segi empat, Bola, dan lainya. Dari bangun
ruang-bangun ruang tersebut dapat di sintesiskan menjadi 3 bagian yang umum
yaitu Prisma, Limas, dan Bola. Kubus (prisma beralas persegi), Balok (Prisma
beralas persegi panjang), dan Prisma segitiga masuk ke katagori prisma sesuai
dengan ciri yang dimiliki yaitu alas dan tutupnya sama (sebangun), kemudian
Kerucut (limas beralas lingkaran) dan limas segi empat termasuk limas, dan bola
hanya terdiri dari bola. Setelah disintesis, bangun ruang diatas dapat di
analisis kembali bahwa Prisma memiliki ciri, tutup dan alas yang sebangun dan
semua bangun ruang yang memiliki cirri tersebut masuk kedalam katagori Prisma.
Bangun ruang iru antara lain Kubus, Balok, Prisma segitiga, Prisma segi lima,
Prisma segi duapuluh dan lainnya. Analisis seperti ini juga bisa di terapkan
pada Limas dan Bola.
Dari contoh diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa analisis adalah lawan dari sintesis. Dan apa yang dianalisis
bisa disintesiskan, serta apa yang disintesiskan bisa dianalisis. Untuk lebih
jelas bisa dilihat pada gambar berikut,
GAMBAR
3. Hubungan Sintesis dan Analisis
Disini Lorin Anderson memasukan kategori baru yaitu create
(menciptakan) yang sebelumnya tidak ada, sehingga jumlah komponen dari
taksonomi Bloom dan Revisi Taksonomi Bloom adalah sama yaitu enam.
Menciptakan/berkreasi berarti membuat sesuatu yang baru. Dan untuk menciptakan
sesuatu yang baru memerlukan kemampuan dalam memahami, menerapkan,
menganalisis, serta mengevaluasi. Misalnya siswa diberikan suatu persoalan
untuk mencari volume dari benda yang berbentuk prisma segi enam, disini siswa
harus memakai rumus tertentu untuk mencari luas alas dari prisma tersebut baru
kemudian menghubungkannya dengan pencarian volume. Jika siswa memiliki
kemampuan untuk menciptakan mungkin dia akan menemukan rumus yang langsung
mendapatkan hasil tanpa harus melalui prosedur yang sudah ada.
Berikut
adalah pyramidal dari Revisi Taksonomi Bloom.
GAMBAR 4. Jenjang kognitif
pada Revisi Taksonomi Bloom
b.
Aspek Non Kognitif
1.
Ranah
Afektif
Taksonomi
untuk daerah afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. krathwohl dan
kawan-kawan (1974) dalam buku yang berjudul Taxonomy
of Education Objectives: Affective Domain. Ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap
seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki
penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-cirinya adalah tampak pada perilaku,
seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran, kedisiplinannya dalam mengikuti
pelajaran, motivasinya yang tinggi, dan lain sebagainya. Ranah afektif oleh
Krathwohl (1974) dan kawan-kawan ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi ke dalam
lima jenjang, yaitu:
a. menerima
atau memperhatikan
Adalah
kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang
kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receving
atau ettenting juga diartikan sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu
kegiatan atau suatu obyek. Disini peserta didik dibina untuk bersedia menerima
nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mau menggabungkan diri ke dalam
nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai. Contoh: siswa menyadari bahwa
rajin wajib ditingkatkan, sedangkan sifat malas harus disingkirkan.
b. menanggapi
Kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam
fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.
Contoh: peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau
menggali lebih dalam lagi.
c. Menilai
atau menghargai
Merupakan
memberikan penilaian atau penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek,
sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian
atau penyesalan. Disini siswa tidak hanya menerima nilai yang diajarkan namun
juga dapat menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Contoh:
tumbuhnya kemauan untuk berlaku sopan santun di sekolah, rumah, maupun
masyarakat.
d.
Mengatur atau mengorganisasikan
Artinya
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih
universal, yang membawa kepada perbaikan umum.mengatur atau mengorganisasikan
merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu system organisasi, termasuk di
dalmnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai
yang telah dimilikinya. Contoh: siswa mendukung penegakan hukum atau aturan
yang berlaku di sekolah.
e.
Karakterisasi dengan suatu nilai atau
komplek nilai
Ini
merupakan keterpadukan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang, yang
mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi
nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hierarki nilai. Nilai itu
telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan mempengaruhi emosinya. Ini
tingkatan paling tinggi, peserta didik sikap batinnya benar-benar bijaksana, ia
telah memiliki philosofhy of life
yang mapan. Contoh: peserta didik disini telah memiliki kebulatan sikap, dalam
hubungannya dengan sikap santun, di sekolah, rumah, dan masyarakat.
2.
Ranah Psikomotor
Ranah
psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah
seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar ranah psikomotor
dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor
ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu.
Hasil belajar ini merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami
sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk
kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku. Hasil belajar kognitif dan
afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah
menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang
terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.
Ranah
psikomotor:
a. Meniru
(perception)
b. Menyusun
(manipulating)
c. Melakukan
dengan prosedur (precision)
d. Melakukan
dengan baik dan tepat (articulation)
e. Melakukan
tindakan secara alami ( naturalization)
Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil
(meliputi tiga ranah, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor) yang diperoleh
setelah mengikuti suatu program pembelajaran tertentu.
2.
Kemampuan
Memecahkan Masalah Matematika
Schoenfeld (dalam Budhayanti, 2008: 2) menyatakan bahwa “definisi masalah
selalu relatif bagi setiap individu.” Hal ini dikarenakan suatu pertanyaan
dapat menjadi masalah bagi seseorang tetapi bisa hanya menjadi pertanyaan biasa
bagi orang lain. Dengan kata lain, tidak semua pertanyaan dapat dikatakan
sebagai masalah. Seperti yang dikatakan oleh Cooney (dalam Budhayanti, 2008:2)
bahwa “suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukkan adanya tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur
rutin yang sudah diketahui oleh si pelaku.” Adanya tantangan dalam pertanyaan
yang diajukan akan menentukan apakah soal tersebut dapat dikatakan sebagai
masalah atau tidak oleh orang yang bersangkutan. Hal itu juga berlaku pada mata
pelajaran matematika. “Dalam matematika suatu pertanyaan akan merupakan masalah
hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat
dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut” (Hudojo, 2001: 162).
Beliau juga mengatakan bahwa,
syarat suatu
masalah bagi seorang siswa adalah, a) pertanyaan yang diajukan kepada seorang
siswa hendaknya dapat dimengerti oleh siswa dan menjadi sebuah tantangan bagi
siswa tersebut untuk dapat menjawabnya, b) pertanyaan yang diajukan tidak dapat
dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Jadi, masalah yang akan diajukan kepada seorang siswa,
khususnya siswa SD berbeda dengan yang akan ditujukan kepada orang dewasa.
Adanya masalah-masalah tersebut akan menuntut adanya suatu pemecahan. Jadi,
siswa akan dituntut untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah. Poyla (dalam
Budhayanti, 2008: 4) menyatakan bahwa “pemecahan masalah adalah usaha untuk
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai tujuan yang tidak dengan
segera dapat dicapai.” Dengan kemampuan pemecahan masalah ini, siswa akan dapat
memperdalam pemahaman konsep dan prinsip utama yang dimilikinya. Selain itu,
pemecahan masalah ini juga akan membantu siswa untuk menerapkan konsep dan
prinsip itu pada berbagai persoalan.
Suherman, dkk (2003: 89)
yang menyatakan bahwa,
pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang
sangat penting karena dalam proses pembelajaran, siswa akan memperoleh
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin.
Selain itu
dalam pemecahan masalah siswa dapat menerapkan semua pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya. Dengan begitu, pemecahan masalah dapat digunakan
untuk mentransfer konsep atau keterampilan yang telah dimiliki ke situasi baru
untuk mendapatkan suatu pengalaman baru. Penyajian materi matematika yang
berupa masalah akan memberikan motivasi kepada siswa untuk mempelajari
pelajaran tersebut, sebab jika masalah yang diberikan tersebut dapat mereka
pecahkan maka akan dapat menimbulkan rasa puas dalam diri siswa. Kepuasan
intelektual ini merupakan hadiah intrinsik bagi siswa.
Menurut
Polya (Suherman, 2003) solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah
penyelesaian, yaitu sebagai berikut. a) Memahami masalah, yang merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan. Jika kita tidak memahami masalah
tersebut, kita akan mengalami kesulitan dalam penyelesaiannya. b) Merencanakan
pemecahannya. Setelah kita memahami masalah yang diberikan, langkah kedua yang
harus dilakukan adalah menyusun rencana untuk memecahkannya. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan kita dalam penyelesaiannya dengan langkah atau urutan yang
jelas. c) Menyelesaikan masalah sesuai rencana yang telah disusun. Setelah
rencana telah siap, langkah selanjutnya adalah melaksanakan rencana tersebut.
Pada tahap ini kita akan mendapatkan suatu hasil dari apa yang telah dilakukan.
d) Memeriksa atau meninjau kembali
hasil yang diperoleh, merupakan langkah terakhir yang dilakukan. Hasil yang
telah didapatkan tadi diperiksa kembali. Begitu juga dengan langkah-langkah
yang telah dilewati, langkah pertama sampai ketiga dikaji dan diperiksa agar
mendapatkan hasil yang terjamin kebenarannya.
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mampu memecahkan suatu masalah
matematika, seorang siswa harus melalui tahapan-tahapan yang sangat penting,
yaitu memahami masalah yang diberikan, merencanakan, menyelesaikan, dan
memeriksa kembali hasil yang didapatkan. Jika siswa sudah mampu untuk
melaksanakan hal tersebut, maka siswa tersebut dapat dikatakan mampu memecahkan
masalah matematika dengan baik.
3.
Matematika SD
Matematika merupakan
salah satu ilmu yang sangat penting untuk dipelajari, baik pada tingkat dasar
maupun lanjut. “Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman
belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana
sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang
dipelajari” (Muhsetyo. 2008). Beliau juga mengemukakan bahwa,
salah satu
komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi
pembelajaran matematika, yang sesuai dengan 1) topik yang sedang dibicarakan,
2) tingkat perkembangan intelektual peserta didik, 3) prinsip dan teori
belajar, 4) keterlibatan aktif peserta didik sehari-hari, 5) keterkaitan dengan
kehidupan peserta didik sehari-hari, dan 6) pengembangan dan pemahaman
penalaran matematis.
Menurut Suherman (2003) penerapan strategi yang dipilih dalam
pembelajaran matematika haruslah mampu mengoptimalisasikan interaksi seluruh
unsur pembelajaran. Hal tersebut menandakan bahwa dalam pembelajaran
matematika, khususnya di SD tidak boleh sembarangan. Hal ini dikarenakan
pemilihan strategi pembelajaran akan memberikan dampak pada keberhasilan
pembelajaran tersebut. Seorang guru harus mampu memilih strategi pembelajaran
matematika yang sesuai dengan karakteristik siswa yang diajarnya dan juga
sesuai dengan materi pelajaran yang akan diajarkan. Selain itu, guru juga harus
mampu mengaitkan pelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari sehingga siwa
akan merasa tertarik untuk belajar dan cepat paham akan materi yang diajarkan.
Jika, semua itu telah terlaksana, maka apapun yang dijadikan tujuan
pembelajaran matematika tersebut akan terpenuhi.
Adapun tujuan umum
pendidikan matematika menurut Puskur Balitbang Depdiknas (2002) ditekankan pada
siswa untuk memiliki hal-hal sebagai berikut.
1)
Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun yang berkaitan dengan
kehidupan nyata. 2) Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat pemecahan
masalah. 3) Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis,
berpikir sistematis, bersikap objektif, bersikap jujur, dan disiplin dalam
memandang dan menyelesaikan suatu masalah.
Heruman (2008: 4)
menyatakan bahwa “dalam pembelajaran matematika di tingkat SD diharapkan
terjadi reinvention (penemuan
kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara
informal dalam pembelajaran di kelas”. Untuk beberapa orang yang telah
mengetahui suatu hal akan menganggap hal tersebut adalah penemuan yang
sederhana, namun bagi siswa SD penemuan tersebut sangatlah berarti dan
menganggap hal yang ditemukannya itu sebagai hal yang baru. Bruner (dalam
Heruman, 2008: 4) mengungkapkan bahwa “dalam pembelajaran matematika, siswa
harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya”. Dalam
pembelajaran ini, guru harus banyak berperan sebagai pembimbing. Tujuannya
adalah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih
berbagai kemampuan intelektual siswa, merangsang keinginan, dan memotivasi
kemampuan mereka.
Lebih
lanjut Heruman (2008: 2) menyatakan bahwa “pada pembelajaran matematika harus
terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep
yang akan diajarkan”. Dalam matematika, antar konsep yang satu dengan konsep
yang lain terdapat keterkaitan atau saling berhubungan atau menjadi syarat bagi
konsep selanjutnya. Artinya, jika suatu konsep sudah bisa dikuasai, maka kita
dapat melanjutkannya ke konsep yang lain. Begitu juga sebaliknya, jika suatu
konsep belum dapat dikuasai, maka kita tidak boleh melanjutkan ke konsep yang
lain. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Antonius. Menurut Antonius
(2006: 1) “matematika merupakan ilmu dasar yang sudah menjadi alat untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang lain”.
Dari
pemaparan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika sangatlah
penting untuk diajarkan kepada siswa sejak SD. Hal ini dikarenakan adanya
keterkaitan antar konsep dalam pemahaman matematika tersebut. Selain itu,
adanya keterkaitan antara pengalaman belajar siswa dengan konsep matematika
tersebut. Dengan pembelajaran matematika siswa akan dapat menemukan suatu pengetahuan baru dengan
berbagai cara yang menarik.
4. Pembelajaran
Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah
pembelajaran yang sering diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran.
“Pembelajaran konvensional merupakan metode yang paling efisien dalam mengajar
yang bersifat hafalan atau ingatan” (Sulaeman dalam Rasana 2009: 18).
Pembelajaran konvensional cenderung diberikan dengan metode ceramah. Ceramah
merupakan salah satu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang
(guru) kepada sejumlah pendengar (siswa) di suatu ruangan. Karena dalam
penerapan pembelajaran konvensional menggunakan metode ceramah, maka cenderung
kegiatan pembelajaran yang dilakukan akan berpusat pada guru (teacher centered) dan terjadi
komunikasi searah, yaitu dari guru kepada siswa. Guru mendominasi seluruh
kegiatan dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya memperhatikan dan membuat
catatan seperlunya.
Coleman (dalam Rasana, 2009) mengatakan
bahwa,
pembelajaran
konvensional merupakan asimilasi informasi dengan ciri-ciri (1) pemerolehan
informasi, (2) pengorganisasian informasi menjadi prinsip umum, (3) penggunaan
prinsip umum pada kasus-kasus yang spesifik, dan (4) penerapan prinsip umum
pada keadaan-keadaan baru. Berdasarkan pendapat Coleman, guru berperan sebagai
pemroses informasi yang diberikan kepada pebelajar. Sedangkan pebelajar
berperan memperoleh informasi tersebut dengan cepat dan tepat melalui
kegiatan-kegiatan mendengarkan dan membaca informasi.
Dalam pembelajaran konvensional biasanya memiliki kekhasan tertentu,
misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada
keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan dalam proses
pembelajaran siswa cenderung pasif. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program
pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yang ada
dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks dan
kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut.
Menurut Juliantara (2009) “pembelajaran konvensional memiliki beberapa
ciri-ciri yang dapat membedakan dengan model pembelajaran lainnya, diantaranya:
(1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak
ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis”.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional
adalah metode pembelajaran yang berpusat pada guru, tidak ada kelompok
kooperatif, dan interaksi siswanya kurang, sehingga pembelajaran cenderung
pasif. Jika pembelajaran cenderung pasif maka hasil belajar yang diharapkan
juga kurang optimal. Secara umum kegiatan dalam pembelajaran
konvensional terdiri dari 5 fase (Jihad & Haris, 2008) yaitu seperti pada
Tabel 2.
Tabel
2. Fase Pembelajaran Konvensional
Fase
|
Peran Guru
|
|
1.
|
Menyampaikan
tujuan dan mempersiapkan siswa
|
Menjelaskan
tujuan, materi prasyarat, memotivasi dan mempersiapkan siswa.
|
2.
|
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan keterampilan
|
Mendemonstrasikan
keterampilan
atau menyajikan informasi tahap demi tahap
|
3.
|
Membimbing
pelatihan
|
Guru
memberikan latihan terbimbing
|
4.
|
Mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik
|
Mengecek
kemampuan siswa dan memberikan umpan balik
|
5.
|
Memberikan
latihan dan penerapan konsep
|
Mempersiapkan
latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan
sehari-hari
|
5.
Pembelajaran
Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
a.
Pengertian
Pembelajaran Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Konsep jenis-jenis pembelajaran memiliki akar di dalam Teori
Howard Gardner (Kurniawan, 2008: 19) bahwa,
“Mengenai Intelegensi ganda yang menantang para pendidik untuk memperluas
konsep mereka mengeni kemampuan siswa dan bagaimana mereka akan terangsang
dalam mengembangkan kemampuannya”.
Menurut Dunn (
dalam Kurniawan, 2008: 19) mengemukakan bahwa,
Mengidentifikasi lima kategori jenis atau gaya pembelajaran,
yaitu reaksi pada lingkungan ruangan kelas, emosionalitas yang dimilki anak,
sosiologis (hubungan dengan masyarakat), pelajaran yang disukai, karakteristik
psikologis, dan menghadapi analisis global.
Memperhatikan lima kategori tersebut bisa dilihat pada
pendekatan PCL. pendekatan PCL merupakan pembelajaran matematika yang dapat
meningkatkan partisipasi dalam belajar dengan cara memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang potensial. Menurut Jakubowski
(Kurniawan, 2008: 19) bahwa, “PCL melibatkan siswa dalam akivitas-aktivitas
yang potensial untuk menstimulasi siswa dalam berpikir dan membuat pengertian
konsep matematika dengan cara mereka sendiri”.
Untuk menciptakan suatu kelas yang efektif, guru harus
mendesain pengalaman yang memungkinkan para siswa dapat mencapai tujuan yang
sudah direncanakan dan harus mengantarkan siswa sehingga siswa dapat belajar
dari pengalaman tersebut. Pengalaman ini harus ditemukan pada saat proses di
mana para siswa mengembangkan pemahaman matematika. Para siswa mengembangkan
pemahaman matematika ketika mereka diminta untuk memunculkan pengetahuan baru
dengan cara mempertimbangkan, menciptakan dan berargumen tentang matematika.
Para siswa harus mengalami permasalahan yang memerlukan
penggunaan pengetahuan yang fleksibel bukan sekedar pekerjaan matematika yang
rutin saja. Pertanyaan yang diarahkan dan dipusatkan harus memberikan tantangan
bagi para siswa untuk menggunakan berbagai strategi. Para siswa harus meneliti
permasalahan, menentukan informasi apa yang diperlukan untukk memecahkannya,
dan merancang solusi. Untuk hal itu sudah seharusnya guru melibatkan semua
siswa sehingga siswa ada kemungkinan terjadinya pengembangan-pengembanagan yang
boleh jadi akan mendorong para siswa mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga
pembelajaran menjadi optimal. Guru di sini berperan sebagai pelatih yang
memudahkan penyelidikan siswa terhadap masaah itu atau dengan kata lain guru
berperan sebagai fasilitator.
Terkait peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran,
maka soal yang akan diberikan kepada siswa harus lebih dari soal rutin sehingga
peran guru di sini akan benar-benar optimal. Hal ini tidak biasa dipandang sebagai
suatu pengayaan pengajaran dikelas, tetapi lebih menjadi suatu tujuan yang
penting. Pemecahan masalah harus dipandang sebagai suatu prosedur yang penting
untuk menuju kepada pemahaman matematika. Melibatkan pra siswa di dalam
pembelajaran berpusat pada masalah akan memberikan kemungkinan bagi para siswa
akan mengembangkan kemampuan itu untuk itu menyelesaikan dan memilih
bermacam-macam strategi yang cocok untuk merancang solusi. Pendekatan PCL
menciptakan suatu model dengan situasi di mana siswa biasa menjadi pemikir dan
sibuk dengan penyelidikan untuk menciptakan solusi.
b.
Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Menurut Von (Kurniawan, 2008: 20) bahwa, “Inspirasi teoritis
untuk sebuah lingkungan PCL adalah konstruktivisme”. Jakubowski (Kurniawan,
2008: 20) berpendapat bahwa, “PCL merupakan pendekatan pembelajaran yang
memfokuskan kemampuan siswa untuk mengkonstruksi pengertian yang dimilikinya
terhadap konsep-konsep matematika”. Selain itu Whetley (Kurniawan, 2008: 20)
berpendapat bahwa, “tujuan dari PCL adalah mengkonstruksi pengetahuan siswa
yaitu siswa dapat menjelaskan dan memberi alasan, mempunyai kekonsistenan,
dapat merefleksikan dan menanamkan ke dalam pengetahuan lain”.
Menurut Wheatley (Kurniawan, 2008: 21) menyatakan bahwa, pendekatan
PCL melibatkan tiga komponen, yaitu sebagai berikut.
1. Mengerjakan tugas. Pertama-tama guru
menyiapkan kelas, kemudian menugakan siswa untuk mengerjakan tugas. Guru harus
memilih tugas-tugas yang menantang, tetapi para siswa tidak ditunjukkan
prosedur-prosedur khusus untuk memecahakan soal-soal yang menantang. Berikut
ini salah satu contoh soal yang dapat menantang :Sebuah katak berada di dasar
sebuah galian tanah sedalam 3 m. setiap hari katak itu melompat ke atas
setinggi 90 cm dan malamnya turun 60 cm. dalam berapa hari katak tersebut dapat
keluar dari lubang galian tersebut?
2. Kegiatan kelompok. Guru
mengkondisikan siswa untuk melanjutkan kegiatan kelompok. Langkah kedua ini
guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan kemampuan
siswa, di sini siswa diharuskan melakukan kolaborasi dalam aktivitas kelompok
untuk menemukan pemecahan dari masalah dari hasil pemikiran meraka sendiri.
3. Berbagi (sharing). Pada langkah
terakhir ini, semua siswa disatukan menjadi diskusi kelas. Seluruh anggota dari
setiap kelompok bersama-sama berbagi strategi jalan keluar atau solusi yang
berbeda. Di sini peran guru hanya berperan sebagai fasilitator dan setiap
uasaha dibuat untuk tidak bersifat menilai tetapi hanya bersifat mendorong.
Dengan demikian, inti dari pendekatan
PCL adalah upaya siswa dapat melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri, dengan
temannya, ataupun dengan gurunya. Negosiasi ini berarti adanya
interaksi/komunikasi, baik itu dengan diri sendiri, dengan temannya, maupun
dengan gurunya dalam memecahkan suatu masalah. Seperti halnya seluruh teori
ilmiah bernegosiasi antara para ahli. Siswa-siswa juga dapat memperoleh
makna-makna matematik.
Pada saat siswa mengerjakan tugas mereka berarti sedang
melakukan negosiasi dengan dirinya sendiri. Lain halnya dengan kegiatan
diskusi. Pada saat kegiatan diskusi guru harus berperan sebagai fasilitator
agar kegiatan ini berlangsung denga baik. Selain itu, siswa diberi keleluasan
untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri agar diperoleh solusi berdasarkan
pemikiran sendiri.
Dilakukannya kerja kelompok dan diskusi kelas (sharing)
dalam pendekatan PCL berarti siswa dapat memperdalam permasalahannya suatu
konsep. Menurut Turmudi (Kholis, 2007: 9) bahwa, “Bekerja kelompok dapat
mengurangi salah konsep yang diperbuat siswa”. Kesalahan konsep ini dapat
membuat siswa mengalami kesalahan dalam merencanakan solusi dari masalah (soal)
yang diberikan dan juga dapat mengakibatkan jawabannya tidak sesuai dengan yang
harapkan. Selain itu menurut Marsigit, dkk. (Nuryati, 2000: 11) bahwa, “Kerja
kelompok juga dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan
menemukan pendekatan yang berbeda, melatih siswa menerima pendapat orang lain”.
Pendekatan
PCL didesain oleh Wheatley untuk memfasilitasi keterlibatan aktif siswa dalam proses
belajar dengan mendorong mereka.
1. Menemukan cara-cara mereka sendiri
dalam memecahkan masalah,
2. Saling bertukar pandangan yang tidak
hanya memperkuat jawaban-jawaban yang benar saja,
3. Untuk berpikir kreatif yang tidak hanya
sekedar menghitung alat tulis.
6.
Kerangka
Berpikir
Matematika
merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan yang cukup besar baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Namun
kenyataan menunjukkan banyaknya keluhan dari murid tentang pelajaran matematika
yang sulit, tidak menarik, dan membosankan. Keluhan ini secara langsung maupun
tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika
pada setiap jenjang pendidikan. Prestasi belajar ini sangat ditentukan oleh
beberapa faktor, salah satunya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika. Namun, kenyataan yang ada adalah hasil prestasi belajar siswa masih
tergolong rendah. Hal ini dikarenakan siswa kurang mampu memecahkan masalah
matematika yang diberikan oleh guru, seperti yang dialami oleh siswa-siswi SD
di Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida. Sebagian besar siswa SD Gugus 1 Kecamatan
Nusa Penida mengalami kesulitan dalam
memecahkan soal matematika, apalagi soal yang disajikan berupa soal cerita.
Padahal dengan adanya soal-soal seperti itu akan dapat merangsang siswa untuk
berpikir kreatif dalam memecahkannya. Meskipun upaya untuk mengatasi kemampuan
memecahkan soal matematika yang rendah telah dilakukan oleh guru yang mengajar
matematika di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa
Penida, namun itu semua tidak merubah keadaan. Hal itu sesuai dengan hasil
observasi awal dengan guru mata pelajaran matematika di SD Gugus 1 Kecamatan
Nusa Penida Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya harus dicarikan solusi
guna membantu siswa dalam memecahkan permasalahan matematika. Salah satu
solusinya adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang dapat merangsang
siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang
sesuai dengan masalah tersebut adalah pendekatan PCL. Pendekatan PCL, siswa diajarkan untuk dapat menyelesaikan suatu
permasalahan, terutama masalah matematika dengan baik, dari mulai merencanakan,
memantau, hingga merefleksi hasil yang didapatkan.
Berdasarkan
pemaparan kerangka berpikir di atas, diduga bahwa hasil kemampuan memecahkan
masalah matematika siswa sesudah diterapkannya pendekatan PCL akan
lebih tinggi daripada menggunakan model pembelajaran konvensional.
7.
Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir di atas, maka
dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut.
Ha.
Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar
matematika antara
sebelum dan sesudah diterapkan pendekatan
PCL pada siswa kelas V
semester II tahun pelajaran 2013/2014 SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida.
I.
METODE PENELITIAN
1.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SD Gugus 1 Nusa Penida pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014 mulai bulan Januari sampai
Maret.
2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:117). Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh kelas V SD Gugus 1 Kecamatan, Nusa Penida yang
terdiri dari SD No. 1 Sakti, SD No. 2 Sakti, SD No. 3 Sakti, SD No. 4 Sakti, SD
No. 5 Sakti, SD No. 6 Sakti. Jumlah siswa kelas V masing-masing sekolah SD
Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida pelajaran
2012/2013 yang disajikan pada Tabel 3
Tabel
3. Komposisi Anggota Populasi Penelitian
No
|
Kelas Populasi
|
Jumlah Siswa
|
1
|
SD No. 1 Sakti
|
30
|
2
|
SD No. 2 Sakti,
|
30
|
3
|
SD No. 2 Sakti,
|
35
|
4
|
SD No. 2 Sakti,
|
32
|
5
|
SD No. 2 Sakti,
|
33
|
6
|
SD No. 2 Sakti,
|
35
|
Jumlah total populasi
|
195
|
Jumlah populasi dalam penelitian ini cukup besar sehingga perlu
ditentukan sebagian dari jumlah populasi sebagai sumber data. “Bagian yang
dipilih dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi disebut
sampel” (Sugiyono, 2012: 118). Sampel diambil dengan cara group random sampling. Teknik ini
digunakan sebagai teknik pengambilan sampel karena individu-individu pada
populasi telah terdistribusi ke dalam kelas-kelas sehingga tidak memungkinkan
untuk melakukan pengacakan terhadap individu-individu dalam populasi.
Dari 6 sekolah
yang ada di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida dilakukan pengundian untuk diambil
dua kelas yang akan dijadikan subjek penelitian. Dua Sekolah yang dijadikan sampel penelitian
merupakan kelas yang memiliki kemampuan akademik relatif sama jika dilihat dari
perolehan nilai pada ulangan umum semester I. Untuk mengetahui sampel
benar-benar setara, dilakukan uji-t kesetaraan dengan rumus sebagai berikut.
(Koyan, 2012: 38)
Keterangan:
= rata-rata
skor ulangan Matematika semester I kelas V1
= rata-rata
skor ulangan Matematika semester I kelas V2
n1 = banyak siswa kelas V1
n2 = banyak siswa kelas V2
s12 = varians kelas V1
s22 =
varians kelas V2
Kriteria
pengujian, jika thitung > ttab, maka H0
ditolak dan H1 diterima, sehingga kelas tidak setara. Jika thitung ttab,
maka H0 diterima dan H1 ditolak sehingga kelas setara. Berdasarkan
uji kesetaraan yang telah dilakukan maka didapatkan data seperti Tabel 4.
Tabel 4. Uji Kesetaraan Kelas V SD di
Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida
No
|
Sekolah
|
t hitung
|
t tabel
|
Keterangan
|
1
|
SD No. 1 Sakti
|
0,13
|
2,00
|
Setara
|
2
|
SD No. 1 Sakti
|
0,13
|
2,00
|
Setara
|
3
|
SD No. 1 Sakti
|
-0,05
|
2,00
|
Setara
|
4
|
SD No. 1 Sakti
|
0,14
|
2,00
|
Setara
|
5
|
SD No. 1 Sakti
|
0,15
|
2,00
|
Setara
|
6
|
SD No. 1 Sakti
|
0,14
|
2,00
|
Setara
|
Berdasarkan
data hasil uji kesetaraan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh
kelas V yang ada di SD Gugus 1 Kecamatan Nusa Penida memiliki kemampuan yang setara. Peneliti
memilih dua sampel sekolah yaitu SD No.
1 Sakti dan SD No. 2 Sakti. Dalam menentukan kelas eksperimen dan kelas
kontrol, peneliti melakukan sistem undian. Berdasarkan sistem undian yang telah
dilakukan, diperoleh hasil Sekolah SD No. 1 Sakti sebagai kelompok eksperimen
dan Sekolah SD No. 2 Sakti sebagai kelompok control.
3.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen yang meneliti hubungan sebab akibat dengan memanipulasi satu atau
lebih variabel pada satu atau lebih kelompok eksperimental. Hasil yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang tidak
dimanipulasi). Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena tidak semua
variabel yang muncul dalam kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara
ketat.
4. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah non equivalent post-test only control
group design. Dalam desain non equivalent post-test only
control group design terdapat dua
kelompok yang dipilih sebagai kelas eskperimen dan kelas kontrol. Desain
eksperimennya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Non Equivalent Post-test Only Control Group Design
Kelas
|
Treatment
|
Post-test
|
Eksperimen
|
X
|
O1
|
Kontrol
|
–
|
O2
|
(Sugiyono,
2012: 112)
Keterangan:
E = kelompok eksperimen
K = kelompok control
O1 = post-test
terhadap kelompok eksperimen
O2 = post-test
terhadap kelompok control
X = treatment
terhadap kelompok eksperimen pendekatan
PCL
– = tidak memberikan treatment
Kelompok pertama yang merupakan
kelas eksperimen yang diberikan perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan PCL, sedangkan kelompok kedua merupakan kelas
kontrol yang mendapat perlakuan berupa pembelajaran Matematika dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional.
5.
Identifikasi Variabel dan Definisi Konseptual Variabel Penelitian
a.
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel
ialah objek penelitian atau segala sesuatu yang menjadi titik fokus perhatian
dalam suatu penelitian (Agung, 2011). Penelitian ini melibatkan variabel bebas dan
variabel terikat yang dijelaskan sebagai berikut.
1.
Variabel Bebas
Variabel bebas yaitu satu atau lebih
dari variabel-variabel
yang sengaja dipelajari pengaruhnya terhadap variabel tergantung (Agung, 2011).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan PCL yang diterapkan pada kelompok
eksperimen dan pembelajaran konvensional yang diterapkan pada kelompok kontrol.
2. Variabel Terikat/Tergantung
Variabel tergantung yaitu variabel yang keberadaanya
atau munculnya bergantung pada variabel bebas (Agung, 2011). Variabel
tergantung dalam penelitian ini adalah hasil
belajar. Hasil belajar yang dimaksud adalah hasil belajar pada mata pelajaran matematika.
b.
Definisi Konseptual Variabel
1.
Pendekatan Problem Centered Learning (PCL)
Pembelajaran dengan menerapkan pendekatan PCL merupakan
pembelajaran yang dapat menjamin keterlibatan total semua siswa,
dapat meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok ataupun
pembelajaran, dan mampu
membentuk karakter peserta didik.
2.
Model Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang
lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada keterampilan
berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan dalam proses pembelajaran
siswa cenderung pasif.
3.
Hasil Belajar
Hasil
belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa dalam mengikuti suatu program
pengajaran pada satu jenjang pendidikan tertentu. Dalam hasil belajar tersebut
diharapkan terjadi perubahan tingkah laku peserta didik meliputi semua aspek,
yaitu: pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor).
Pada penelitian ini, hasil belajar yang ditekankan adalah hasil belajar pada
aspek pengetahuan (kognitif).
c.
Definisi Operasional Variabel
Hasil
belajar matematika merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri
siswa setelah mengikuti pembelajaran matematiaka dalam kurun waktu tertentu
yang difokuskan pada aspek kognitif dan diukur dengan tes hasil belajar.
Indikator yang digunakan dalam mengukur hasil belajar Matematika antara lain, (1) membuat jaring-jaring bangun ruang sederhana, (2) menunjukkan
sifat-sifat kesebangun antarbangun, (3) menunjukkan dan menentukan sifat-sifat
simetri lipat dan simetri putar, dan (5) menghitung masalah yang berkaitan dengan
bangun datar. Perangkat tes yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang
hasil belajar matematika adalah tes objektif dalam bentuk pilihan ganda. Data
yang dikumpulkan berbentuk skor pada skala interval.
6.
Prosedur Penelitian dan Langkah-langkah Eksperimen
a.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan untuk menentukan tindakan-tindakan
yang mengarahkan peneliti menjalankan penelitian. Prosedur penelitian eksperimen dalam penelitian ini
mempergunakan prosedur penelitian yang disajikan pada Gambar berikut.
Dalam
penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu sebagai berikut.
a.
Menentukan sekolah yang akan
dijadikan tempat penelitian. Sekolah yang dipilih adalah sekolah yang belum
pernah menggunakan pembelajaran dengan pendekatan PCL Hal ini
dilakukan agar mendapat hasil yang signifikan dalam penelitian.
b.
Menentukan sampel berupa
kelas dari populasi yang tersedia dengan cara mengundi.
c.
Mengunjungi sekolah yang
telah terpilih dan meminta izin kepada kepala sekolah untuk melaksanakan
penelitian.
d.
Menyiapkan materi yang akan
dibahas selama penelitian. Pada penelitian ini dibahas pokok bahasan menentukan jaring-jaring berbagai bangun
ruang sederhana
e.
Menyiapkan alat dan bahan
pembelajaran, yaitu: (1) menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada
pokok menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana pendekatan
PCL, (2) menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) pada pokok bahasan
memahami kebebasan berorganisasi dengan pendekatan PCL dan (3)
menyiapkan alat dan media yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
f.
Menyiapkan instrumen penelitian,
yaitu: (1) menyiapkan tes dengan materi yang dikaji yaitu pada pokok bahasan
memahami menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana, dan (2) menyiapkan kunci
jawaban tes yang akan digunakan.
g.
Mengkonsultasikan perangkat
pembelajaran dan instrumen yang akan digunakan untuk penelitian dengan dosen
pembimbing. Kemudian menguji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya
beda instrumen tersebut.
h.
Memberikan perlakuan
pembelajaran yang diteliti. Pembelajaran dengan pendekatan PCL dan pembelajaran dengan strategi konvensional pada kelas kontrol.
i.
Memberikan post-test pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Post-test dilaksanakan
setelah perlakuan pembelajaran.
j.
Melakukan analisis data
hasil belajar sesuai data yang diperoleh.
k.
Menyusun laporan penelitian.
b.
Langkah-langkah Eksperimen
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan
atas kerja sama dengan guru pengampu mata pelajaran Matematika di kelas V
SD No. 1 dan 2 Sakti. Langkah-langkah dan perbandingan perlakuan antara kelas
eksperimen dengan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel
6. Langkah-langkah dan Perbedaan Perlakuan terhadap Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
No
|
Komponen Perlakuan
|
Kelas
Eksperimen
|
Kelas
Kontrol
|
1
|
Materi Pelajaran
|
menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana
|
menentukan jaring-jaring
berbagai bangun ruang sederhana
|
2
|
Waktu Pembatasan
|
Pembelajaran
dilakukan 1 kali seminggu, tiap pertemuan 2 jam pelajaran, selama 12 kali
pertemuan.
|
Pembelajaran
dilakukan 1 kali seminggu, tiap pertemuan 2 jam pelajaran, selama 12 kali
pertemuan.
|
3
|
Kegiatan Penelitian
|
1) Pertemuan
1-11
Penerapan pembelajaran dengan Pendekatan Problem Centered
Learning (PCL)
2) Pertemuan
12
Memberikan post-test.
|
1) Pertemuan 1-11
Penerapan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional.
2) Pertemuan 12
Memberikan post-test.
|
4
|
Tes Hasil Belajar Matematika
|
Tes Objektif (Pilihan Ganda)
|
Tes Objektif (Pilihan Ganda)
|
5
|
Jumlah Butir Tes
|
30
|
30
|
7.
Instrumen Penelitian
a.
Konsepsi
Instrumen yang digunakan
untuk memperoleh data tentang hasil belajar matematika dalam penelitian ini berupa tes objektif
(pilihan ganda) dengan satu jawaban benar yang berjumlah 30 butir soal. Setiap
soal disertai dengan empat alternatif jawaban (a, b, c, dan d) yang akan
dipilih siswa. Setiap butir item akan diberikan skor 1 untuk siswa yang
menjawab benar (jawaban dicocokkan dengan kunci jawaban) dan skor 0 untuk siswa
yang menjawab salah. Skor setiap jawaban kemudian dijumlahkan dan jumlah
tersebut merupakan skor variabel hasil belajar matematika. Rentang skor ideal yang mungkin diperoleh
siswa adalah 0-30. Skor 0 merupakan skor minimal ideal dan skor 30 merupakan
skor maksimal ideal tes hasil belajar matematiaka.
Berdasarkan
uraian di atas, metode pengumpulan data dan instrumen penelitian ini dapat
disimpulkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Metode Pengumpulan Data
Variabel
|
Metode
|
Instrumen
|
Sumber
Data
|
Sifat
Data
|
Hasil Belajar
|
Tes
|
Tes Objektif (Pilihan
Ganda)
|
Siswa Kelompok Eksperimen
dan Kontrol
|
Skor (Interval)
|
b.
Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen untuk mengukur variabel hasil belajar matematika
digunakan untuk memperjelas aspek yang akan dinilai.
c.
Uji Coba Instrumen Penelitian
Suatu instrumen penelitian akan dikatakan baik jika sudah
memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2002). Uji coba instrumen penelitian dilakukan untuk
mendapat gambaran secara empirik apakah instrumen hasil belajar layak digunakan sebagai instrumen penelitian.
Instrumen penelitian tersebut terlebih dahulu dianalisis
dengan menggunakan uji: validitas tes, reliabilitas tes, taraf kesukaran tes, dan daya beda tes.
1.
Validitas Tes
Validitas tes berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar dalam Rizkianto, 2009). Sebuah tes dikatakan valid atau sahih jika tes
tersebut dapat mengukur dan mampu
menyingkap objek yang
hendak diukur (ketepatan alat ukur dengan
hal yang diukur) (Agung, 2010). Suatu alat evaluasi disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi
yang seharusnya dievaluasi.
Suatu item dikatakan valid apabila
mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyatakan
skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
sebuah item mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran
antara validitas item dengan skor total
dapat diartikan sebagai korelasi, sehingga untuk mengetahui
validitas item digunakan rumus korelasi (Arikunto, 2002).
Rumus korelasi yang digunakan untuk menguji data
yang berbentuk dikotomi adalah teknik korelasi point biserial, dengan rumus sebagai berikut.
(Koyan, 2011: 129)
Keterangan:
rpbi = koefisien
korelasi point biserial
Mp
= rerata
skor dari subjek yang menjawab betul bagi butir yang dicari validitasnya
Mt = rerata
skor total
st
= standar
deviasi dari skor total
p = proporsi
peserta didik yang menjawab betul (banyaknya peserta didik yang menjawab betul
dibagi dengan jumlah seluruh peserta didik)
q = proporsi
peserta didik yang menjawab salah (q = 1 – p)
Suatu butir tes dinyatakan valid jika r
hitung lebih besar daripada r tabel dengan taraf signifikansi atau taraf
kekeliruan 5% (r-hit > r-tab dengan t.s. 5%).
2.
Reliabilitas Tes
Suatu tes dapat dikatakan
mempunyai tingkat kepercayan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan
hasil yang tetap (ajeg). Untuk menghitung reliabilitas konsistensi internal
yang datanya berbentuk dikotomi, digunakan rumus Kuder Richardson 20 (KR-20)
dengan rumus sebagai
berikut.
(Koyan, 2011:133)
Keterangan:
r1.1 = koefisien reliabilitas tes
k = banyak butir tes
p = proporsi testee yang menjawab betul
q = proporsi testee yang menjawab salah
=
varian total tes
pq = p x q
Untuk menentukan derajat reliabilitas
tes, dapat digunakan kriteria yang dikemukakan Guilford (dalam Koyan, 2011: 136)
sebagai berikut.
0 £ 0,20 :
sangat
rendah
0,20 £ 0,40 : rendah
0,40 £ 0,60 : sedang
0,60 £ 0,80 : tinggi
0,80 £ 1,00 : sangat tinggi
3.
Taraf Kesukaran Tes
Derajat kesukaran adalah kemampuan tes
tersebut dalam menjaring banyaknya subjek peserta tes yang dapat menjawab
dengan betul (Arikunto, 2002). Koyan (2011: 139) menyatakan ”taraf kesukaran
adalah kesulitan tes dipandang dari kemampuan peserta didik untuk menjawab soal
tersebut; artinya, tes tersebut akan lebih banyak dijawab benar oleh peserta
didik yang pandai dan lebih banyak dijawab salah oleh peserta didik yang
bodoh”.
Tingkat kesukaran butir tes merupakan
bilangan yang menunjukkan proporsi peserta ujian (testee) yang dapat menjawab betul butir soal tersebut. Sedangkan
tingkat kesukaran perangkat tes adalah bilangan yang menunjukkan rata-rata
proporsi testee yang dapat menjawab
seluruh (perangkat) tes tersebut. Tingkat kesukaran perangkat tes dapat diukur
dengan rumus sebagai berikut.
(Koyan, 201: 139)
Keterangan:
Pp = tingkat kesukaran
perangkat tes
P = tingkat kesukaran tiap
butir
n = banyaknya butir tes
Tingkat kesukaran tiap butir, dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
(Koyan,
2011:140)
Keterangan:
P = tingkat kesukaran butir
tes
nB = banyaknya subjek yang
menjawab soal dengan betul
n = jumlah subjek (testee)
seluruhnya
Kriteria tingkat kesukaran
(P):
0,00 – 0,29 = sukar
0,30 – 0,70 = sedang
0,71 – 1,00 = mudah
Fernandes (dalam Koyan, 2011: 140)
menyatakan ”tes yang baik adalah tes yang memiliki taraf kesukaran antara
0,25-0,75”.
4.
Daya Beda Tes
Daya beda butir tes adalah kemampuan
butir tes tersebut membedakan antara testee kelompok atas (pinter) dan testee kelompok bawah (lemah). Daya beda
perangkat tes adalah rata-rata kemampuan tiap butir tes membedakan
antara testee kelompok atas (pinter) dan testee
kelompok bawah (lemah) (Agung, 2010).
Koyan
(2011: 140) menyatakan,
daya pembeda tes adalah
kemampuan tes untuk membedakan antara peserta didik yang pandai dan bodoh;
artinya, jika tes tersebut diberikan kepada anak yang tergolong pandai akan
lebih banyak dapat dijawab dengan benar, sedangkan jika diberikan kepada
peserta didik yang tergolong bodoh akan lebih banyak dijawab salah.
Rumus untuk menghitung tingkat daya beda tes adalah sebagai
berikut.
(Koyan, 2011:1 41)
Keterangan:
Dp = daya
beda tes
n = jumlah butir tes
Rumus untuk menghitung daya beda butir tes adalah sebagai berikut.
(Koyan,
2011:141)
Keterangan:
nBA = jumlah
subjek yang menjawab betul pada kelompok atas
nBB = jumlah
subjek yang menjawab betul pada kelompok bawah
nA = jumlah
subjek kelompok atas
nB = jumlah
subjek kelompok bawah
Kriteria daya beda tes (D):
0,00 – 0,19 = kurang
baik
0,20 – 0,39 = cukup
baik
0,40 – 0,70 = baik
0,71 – 1,00 = sangat
baik
Fernandes (dalam Koyan, 2011: 141) menyatakan ”jika ’D’ negatif, soal
tersebut sangat buruk dan harus dibuang”. Tes yang baik, apabila memiliki D
antara 0,15-0,20 atau lebih.
8.
Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial.
a.
Deskripsi Data
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kualitas dari dua variabel yaitu model
pembelajaran dan hasil belajar siswa. Analisis deskriptif yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1.
Rumus untuk Mencari Rata-rata/Mean
(M)
(Koyan,
2007: 13)
Keterangan:
M = mean
= jumlah frekuensi x skor
n = jumlah sampel
2.
Rumus untuk Mencari Median (Md)
(Koyan, 2011: 112)
Keterangan:
Md = median
b = batas
bawah dari daerah median
p = panjang
kelas (interval)
n = jumlah
sampel/banyak data
F = f
kumulatif sebelum kelas median (jumlah semua frekuensi sebelum kelas median)
f = frekuensi kelas/daerah median
3.
Rumus untuk Mencari Modus (Mo)
(Koyan, 2011: 110)
Keterangan:
Mo = modus
b = batas
kelas interval dengan frekuensi terbanyak (batas bawah)
p = panjang
kelas (interval) dengan frekuensi terbanyak
b1 = frekuensi
pada kelas modus (frekuensi pada kelas interval yang terbanyak) dikurangi
frekuensi kelas interval terdekat yang lebih rendah
b2 = frekuensi
kelas modus dikurangi frekuensi kelas interval yang lebih tinggi
4.
Rumus untuk Mencari Standar Deviasi (s)
(Koyan, 2011: 114)
Keterangan:
s = standar
deviasi
= jumlah
skor
n = banyak
sampel
5.
Teknik Penyajian Data
Deskripsi data (mean, median, modus) tentang hasil belajar matematika siswa
selanjutnya disajikan ke dalam kurva poligon. Tujuan
penyajian data ini adalah untuk menafsirkan sebaran data hasil belajar
matematika pada kelompok eksperimen dan kontrol. Hubungan antara
mean (M), median (Md), dan modus (Mo) dapat digunakan untuk menentukan
kemiringan kurva poligon distribusi frekuens (Koyan, 2007). Ketentuan
kemiringan kurva poligon distribusi frekuensi adalah sebagai berikut.
a.
Jika mean lebih besar dari median dan median
lebih besar dari modus (M>Md>Mo), maka kurva juling positif yang berarti
sebagian besar skor cenderung rendah
b.
Jika modus
lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M), maka
kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi.
6.
Skala Penilaian
Untuk menentukan tinggi
rendahnya kualitas hasil belajar penelitian ini digunakan skala penilaian
seperti pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Skala Penilaian atau Kategori Hasil Belajar pada Skala Lima
Rentang Skor
|
Kategori
|
Mi + 1,5 SDi MMi + 3,0 SDi
|
Sangat Tinggi
|
Mi + 0,5 SDi M< Mi + 1,5 SDi
|
Tinggi
|
Mi – 0,5 SDi M< Mi + 0,5 SDi
|
Sedang
|
Mi – 1,5 SDi M< Mi – 0,5 SDi
|
Rendah
|
Mi – 3,0 SDi M< Mi – 1,5 SDi
|
Sangat Rendah
|
(Dimodifikasi dari
Koyan, 2011)
Keterangan:
M = rata-rata skor hasil belajar matematika
siswa
Mi = rata-rata ideal dihitung dengan rumus: 1/2
(skor maksimal ideal + skor minimal ideal)
SDi = standar deviasi ideal dihitung dengan rumus:
1/6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal)
b.
Uji Prasyarat Analisis Data
Sebelum melakukan uji hipotesis, harus dilakukan beberapa
uji prasyarat, yaitu sebagai berikut.
a.
Uji Normalitas Distribusi Data
Setelah mendapat data awal tentang hasil belajar
matematika, data tersebut kemudian diuji normalitas distribusinya untuk
mengetahui data kedua kelompok tersebut berdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis statistiknya, yaitu:
H0:
H1:
Uji normalitas distribusi untuk skor hasil belajar matematika
digunakan analisis Chi-Kuadrat dengan
rumus:
(Koyan, 2011:105)
Keterangan:
fo =
frekuensi observasi
fe = frekuensi harapan
Kriteria pengujian, jika dengan taraf signifikasi 5% (dk =
jumlah kelas dikurangi parameter, dikurangi 1), maka H0 diterima
yang berarti data berdistribusi normal.
b.
Uji Homogenitas
Varians
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui bahwa kedua
kelompok mempunyai varians yang sama atau tidak. Jika kedua kelompok mempunyai
varians yang sama maka kelompok tersebut dikatakan homogen. Hipotesis statistiknya, yaitu:
H0:
H1:
Keterangan:
= varians kelompok eksperimen
= varians kelompok control
Homogenitas varians untuk kedua kelompok digunakan uji F dengan menggunakan rumus:
(Agung, 2011)
Kriteria pengujian, jika pada taraf signifikan 5% dengan derajat
kebebasan untuk pembilang n1
– 1 dan derajat kebebasan untuk penyebut n2 – 1, maka H0
ditolak yang berarti sampel tidak homogen.
c.
Uji Hipotesis
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah uji-t sampel independent
(tidak berkorelasi) dengan rumus polled
varians sebagai berikut.
(Agung,
2011: 34)
Keterangan:
= rata-rata skor post-test
kelompok eksperimen
= rata-rata skor post-test
kelompok kontrol
n1 = banyak siswa kelompok eksperimen
n2 = banyak siswa kelompok kontrol
s12 = varians kelompok eksperimen
s22 = varians kelompok kontrol
Kriteria pengujian, terima H0
jika thitung ttabel
dan tolak H0 jika thitung
> ttabel. Harga t pengganti ttabel (dengan taraf signifikasi 5%) dengan db = (n1
+ n2) -2.
Jika H1 diterima dan H0 ditolak,
maka dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan pendekatan
Problem Centered Learning (PCL) dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran
konvensional. Jika eksperimen > kontrol,
maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan PCL
berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Atau jika eksperimen < kontrol,
maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh pendekatan
PCL tidak berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa.