Klasifikasi
Alat Ukur
A.
Alat
Ukur Tes
1 1)
Hakikat
Tes
Salah satu alat untuk mengukur hasil belajar adalah tes. Tes
sebagai salah satu alat ukur adalah suatu prosedur yang sistematis untuk
membandingkan perilaku beberapa orang (Cronbach, 1960: 21). Tes adalah suatu
prosedur yang sistematis untuk mengamati perilaku seseorang dan
menggambarkannya dengan bantuan skala numerik atau sistem kategori tertentu
(Fernandez, 1984: 1). Tes adalah suatu instrument atau prosedur yang sistematis
untuk mengukur suatu perilaku tertentu (Gronlund dan Linn, 1995: 5).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tes adalah suatu alat atau
prosedur yang terencana dan sistematis untuk mengukur suatu perilaku tertentu
serta menggambarkannya dengan bantuan angka-angka atau katagori tertentu.
(Brown, 1983: 11) Pengukuran adalah pemberian tanda dengan
angka terhadap perilaku menurut aturan tartentu. Sedangkan Kerlinger menyatakan
bahwa pengukuran ialah pemberian angka pada objek-objek atau kejadia-kejadian
menurut suatu aturan (Kerlinger, 2000: 687). Nunnally menyatakan bahwa
pengukuran terdiri dari aturan-aturan untuk mengenakan bilangan kepada objek
sedemikian rupa guna menunjukkan kuantitas atibut pada objek itu (Nunnally,
1978: 3). Jadi dapat disimpulkan bahwa pngukuran adalah proses kuantifikasi
atau pemberian tanda dengan bilangan kepada objek atau perilaku tertentu
menurut aturan-aturan tertentu.
Gronlund menyatakan bahwa tes prestasi belajar adalah suatu
prosedur sistematis untuk mengukur sampel yang representatif tentang
tugas-tugas pembelajaran peserta didik (Grolund, 1993: 1). Salvia dan Ysseldyke
menyatakan bahwa tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk
menentukan bentuk-bentuk respon yang berkenaan dengan perilaku peserta didik
yang dicari (Salvia dan Ysseldyke, 1995: 32). Tes adalah suatu instrumen atau
prosedur yang sistematis untuk mengobservasi dan menggambarkan satu atau lebih
cirri-ciri peserta didik dengan menggunakan skala numerik atau klasifikasi
tertentu (Nitko, 1996: 6). Dari uraian pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan tes adalah instrumen atau alat atau prosedur yang
sistematis, yang terdiri atas seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk
mengukur suatu perilaku tertentu pada peserta didik dengan menggunakan bantuan
skala numerik atau kategori tertentu.
2.
Tes
Formatif
Tes formatif adalah alat atau seperangkat pertanyaan atau
tugas-tugas yang digunakan utuk melaksanakan evaluasi formatif. Evaluasi
formatif atau biasa disebut tes formatif adalah salah satu fungsi penilaian
untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu proses pembelajaran dengan tujuan
untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Tessmer
menyatakan bahwa evauasi for,atif adalah satu tahapan kegiatan yang dilakukan
pada saat suatu bagian materi pelajaran telah selesai diberikan kepada peserta
didik. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh umpan balik yang tepat sehingga
proses pembelajaran bisa disempurnakan sehingga menjadi lebih baik (Tessmer,
1995:11). Evaluasi formatif memiliki peranan penting untuk memonitor dan
memfasilitasi pembelajaran siswa, sehingga menjadi peduli terhadap pelaksanaan
tes formatif (Bailey, 2000:2).
Popham menyatakan bahwa evaluasi formatif menunjuk pada
proses penilaian program pembelajaran dengan maksud untuk memperbaiki program
pembelajaran tersebut (Popham 1995:246). Tessmer menyatakan ada empat tipe atau
bentuk dengan cirri-ciri: (1) pandangan ahli, (2) penilaian orang-perorang, (3)
kelompok kecil dan, (4) tes lapangan. Evaluasi atau tes formatif dilaksanakan
pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung atau setelah selesai membahas
satu sub pokok bahasan, misalkan ulangan harian atau kuis kecil. Sedangkan tes
sumatif dilaksanakan pada suatu periode tertentu setelah beberapa pokok bahasan
selesai diberikan. Hubungan tes formatif dan tes sumatif sebagai berikut,
Gambar
01. Diagram Hubungan antara Evaluasi Formatif dan Sumatif
Sumber:
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan
(Jakarta: Bina Aksara. 1986), pp, 33-34
Dalam
diagram di atas tampak bahwa tes formatif dapat dilakukan berkali-kali dalam
satu satuan program pembelajaran. Frekwensi pemberian tes disesuaikan dengan
sub pokok bahasan satu program pembelajaran.
Bloom, Hastings, dan Mandaus
menyatakan bahwa evaluasi formatif tidak hanya digunakan untuk pembuatan atau
perbaikan kurikulum, tetapi juga untuk memperbaiki proses pembelajaran dan cara
belajar peserta didik. Evaluasi formatif digunakan untuk menilai proses
pembuatan kurikulum, proses pembelajaran, dan cara belajar peserta didik dengan
tujuan untuk memperbaiki setiap proses-proses tersebut. Pendidik hendaknya
mengembangkan beberapa jenis petunjuk yang sangat berguna bagi proses
pembelajaran berlangsung, mencari metode tepat yang terkait dengan evaluasi.
Penggunaan evaluasi bertujuan supaya pengguna tes formatif menemukan car
menghubungkan hasil tes dengan tujuan pembelajaran yang dianggap penting
(Bloom, Hasting, dan Madaus, 1971:118).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa tes formatif adalah tes yang digunakan untuk mengukur
dalam memantau belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung
dalam satu program pembelajaran tertentu, misalnya dalam satu sub pokok bahasan
dalam pembelajaran. Tes formatif juga bermanfaat memberikan umpan balik kepada
peserta didik, guru, dan penyusun kurikulum guna memperbaiki kelemahan yang
terjadi dalam proses pembelajaran baik bagi peserta didik dan guru.
3.
Bentuk
Tes Formatif
Menurut
bentuknya tes formatif dapat berbentuk tes esai dan tes objektif dalam berbagai
variasi. Popham menyatakan bahwa bentuki tes tulis ada dua golongan besar,
yaitu: (1) soal-soal jawaban memilih (selected-response
items), yang terdiri dari butir
soal pilihan benar salah (true-false
items), butir soal pilihan ganda (multiple-choice
items), dan butir soal menjodohkan (matching
items), dan (2) soal-soal jawaban tesusun atau terstruktur (constructed-response tests), yang terdiri dari butir soal jawaban singkat (short-answer items), dan butir soal esai
(essay items) (Popham, 1995:101-132).
Sejalan dengan pendapat ini, Wiersma dan Jur menyatakan bahwa terdapat dua
bentuk utama butir tes, yang secara umum disebut tes objektif dan esai, yang
masing-masing memiliki format yang bervariasi. Istilah butir tes objektif
secara umum berhubungan dengan butir jawaban pilihan, sedangkan butir tes esai
adalah salah satu bentuk dari butir jawaban tersusun (Wiersma and Stephen G.
Jurs, 1990:41). Gronlund dan Linn menyatakan bahwa secara khusus tes yang
digunakan dalam kelas dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu: (1) butir tes
objektif, yang menuntut siswa untuk mengisi satu atau dua kata, atau memilih
jawaban benar dari sejumlah alternative, dan (2) tes esai, yang memberi
kesempatan siswa untuk memilih, mengatur, dan mengemukakan jawaban dalam bentuk
seai atau uraian. Selanjutnya masing-masing bentuk tes tersebut akan diuraiakan
secara lebih rinci pada bagian berikut.
a.
Tes
Objektif
Menurut Gronlund dan Linn, secara umum
dapat dibedakan menjadi butir tes sebagai berikut. (1) bentuk tes mengisi
jawaban (supply type), yakni butir
jawaban singkat dan butir soal melengkapi (completion),
(2) bentuk butir tes yang meminta siswa memilih jawaban, yakni butir soal
benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda (Gronlund dan Linn, 1993:122). Ebel
menyatakan bahwa bentuk tes yang paling umum dari tes objektif adalah bentuk
pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, dan jawaban singkat (Ebel, 1972:102).
Diantara ketiga bentuk tersebut, bentuk pilihan ganda yang paling banyak
digunakan (Salvia dan Ysseldyke, 1995:223).
Nitko mengemukakan bahwa tes bentuk
jawaban singkat meminta pada peserta didik untuk menjawab setiap butir
pertanyaan dangan sebuah kata, kalimat pendek, nomor atau symbol. Tiga butir
tes jawaban singakat biasanya dibedakan menjadi beberapa variasi, yaitu bentuk
pertanyaan, melengkapai, dan asosiasi. Variasi bentuk pertanyaan meminta
peserta didik secara langsung. Varisasi bentuk tes melengkapi meminta peserta
didik untuk menambahkan kata-kata untuk melengkapi suatu pernyataan yang tidak
lengkap. Variasi asosiasiterdiri dari daftar istilah atau gambar terhadap nama
siswa dapat menyebutkan nomor-nomor, label, symbol, atau lainnya. Tes benar
salah dibedakan menjadi enam, yaitu: benar salah (true-false), ya-tidak
(yes-no), betul-salah (right-wrong), pembetulan atau koreksi (correction),
pilihan salah-benar jamak (multiple true-false), dan ya-tidak dengan penjelasan
(yes-no with explanation). (Nitko, 1996:124-129).
Nitko menjelaskan bahwa butir tes pilihan
ganda terdiri dari satu atau lebih kalimat pengantar dan diikuti oleh daftar
tentang dua atau lebih jawaban sugestif. Kalimat pengantar disebut stem dan jawaban sugestif disebut
ialternatve, responses, choices, atau option. Alternative jawaban selalu harus
diurut secara bermakna, disusun secara logis, numeric, menurut abjad, dan
susunan lain (Nitko, 1996:138-153). Ebel memberi petunjuk tentang tes pilihan
ganda, (1) susun tes pilihan ganda berdasar ide-ide penting dan pernyataan
bermakna, relevan, dan independen, (2) pilih topik dan ide, tulis soal yang
mampu memaksimalkan daya beda soal tersebut, (3) susun draf awal dan adakan
revisi, sehingga menjadi sempurna, (4) awali pertanyaan dengan pernyataan yang
tidak lengkap, disertai jawaban jawaban tepat dan dilengkapi jawaban yang
salah, (5) susun jawaban benar sedemikian rupa atau acak, tanpa ada petunjuk ke
araha jawaban yang benar, (6) pilih susunan pengecoh sehingga menjadi salah,
tetapi tampak masuk akal, khususnya bagi siswa bodoh (Ebel, 1972:191-202).
Hopkins dan Antes memberi petunjuk lebih
rinci dan praktis dalam menyusun tes pilihan ganda, yaitu: (1) definisikan
tugas-tugas dalam stem secara jelas, (2) tulis alternatif jawaban pada akhir
pertanyaan. (3) tmpatkan sebanyak mungkin kata-kata dalam stem, (4) hindari
penggunaan kata-kata negativf, (5) hindari stem yang mengarah pada alternative
jawaban yang salah atau benar, (6) buat alternatif jawaban yang parallel, (7)
tulis pilihan jawaban secara vertical, (8) hindari jawaban “semua di atas”, (9)
buat alternative jawaban sama panjang, (10) hilangkan arah petunjk kea rah
jawaban benar, (11) buat pengecoh yang masuk akal, (12) usahakan stemnya dalam bentuk pertanyaan,
(13) control tingkat kesulitan soal sehingga presentase jawaban benar kira-kira
separuhnya, (14) hindari kemungkinan menebak, (15) gunakan jawaban “tidak ada
jawaban benar” hanya kalau tidak ada jawaban lain, (16) susun alternatif
jawaban sesuai dengan abjad atau urutan lainnya, (17) letakkan jawaban benar
secara acak, dan (18) usahakan memiliki empat samapi lima aternatif jawaban
(Hopkins dan Antes, 1990:185-191).
Masing-masing tes meiliki kelebihan dan
kekurangan, kelebihan tes objektif, antara lain, dapat mengurangi subjektivitas
dalam pemberian skor, menuntut kemampuan tertentu untuk membedakan pilihan yang
tepat, lebih cepat untuk mengoreksi pekerjaan peserta didik, bisa mencakup
materi pelajaran secara komprehensif, dan bisa menguji peserta didik dalam
jumlah besar sekaligus. Sedangkan kelemahannya adalah sulit untuk menyusun soal
yang baik, membutuhkan waktu cukup lama untuk menyusunnya, mengandung sifat
“coba-coba” (gussigi), dan kurang
bisa melatih peserta didik untuk memecahkan masalah serta kurang bisa melatih
berpikir evaluative, divergen bersifat holistic, lateral, intuitif, imajinatif,
dan kreatif. Gronlund dan Linn berpendapat kelebihan dan kekurangan tes
objektif adalah (1) kelebihan pada butir soal jawaban singkat adalah sangat
mudah menyusunnya, karena relative biasanya mengukur hasil belajar sederhana. Kelemahannya
adalah tes jawaban singkat tidak cocok untuk mengukur hasil belajar yang
komplek dan sulit memberi skor. (2) kelebihan pada butir benar-salah adalah butir tes benar-salah mudah disusun,
tetapi untuk menyusun butir tes benar-salah yang tidak ambigius yang diperlukan
keterampilan tertentu. Kelemhannya adalah bentuk hasil belajar yang dapat
diukur, dapat ditebak, dan peluang benarnya adalah 50 %. (3) kelebihan pada
butir tes menjodohkan adalah bentuknya yang kompak dan dapat mengukur sejumlah
hasil belajar yang berkaitan dengan fakta, dan mudah menyusunnya. Sedangkan
kelemahannya adalah bahwa butir tes menjodohkan terbatas untuk mengukur
informasi tentang fakta pada belajar hafalan dan kesulitan mendapatkan materi
yang homogen. (4) kelebihan butir pilhan ganda adalah efektif untuk mengukur
berbagai tipe pengetahuan dan hasil belajar yang kompleks. Kelemahannya adalah
bahwa sebagai tes tertulis memiliki keterbatasan untuk mengukur hasil belajar
yang bersifat verbal, mengukur keterampilan pemecahan masalah, mengukur
kecakapan dan mengemukakan pendapat. (Linn dan Gronlund, 1995:153-183).
Ebel menyarankan tes objektif hendaknya
digunakan dalam kondisi sebagai berikut, (1) kelompok yang diberikan dalam
jumlah besar, tes akan digunakan kembali, (2) reliabilitas slor tes yang tinggi
harus diperoleh seefisien mungkin, (3) kejujuran penilaian, keterbukaan, dan
bebas dari hao effect, (4) pengajar
atau pendidik lebih percaya akan kemampuannya untuk menyusun butir-buitr tes
objektif secara jelas dibandingkan dengan kemampuannya untuk menilai jawaban
tes esai secara jelas, dan (5a0 lenih menekankan pada kecepatan laporan skor
tes daripada kecepatannya meniapkan tes (Ebel, 1972:144).
Jadi kesimpulannya adalah butir tes
jawaban memilih, terdiri dari bentuk tes benar-salah, menjodohkan, dan pilihan
gandadalam berbgai variasi, dan butir tes yang menuntut jawaban mengisi,
terdiri dari tes jawaban singkat dan melegkapi. Tes objektif pilihan ganda
sering digunakan karena umum digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta
didik.
b.
Tes
Esai atau Uraian
Tes esai sering disebut tes subjektif,
karena proses pemberian skornya dipengaruhi oleh opini atau penilaian dari
pendidik atau pemeriksa tes tersebut. Tes esai menghendaki peserta didik untuk
mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Dengan kata
lain siswa tidak memilih jawaban namun memberikan jawaban dengan kata-kata mereka
sendiri secara bebas. Hopkins dan Antes menyatakan bahwa tes esai adalah tes
untuk mengembangkan jawaban atau respon peserta didik secara penuh. Keakuratan dan kualitas jawaban peserta didik
harus dinilai oleh orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang materi
yang diujikan, (orang yang mebuat soal).
Menurut Mahrens dan Lehmann, tes esai
dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu. Tes esai jawaban terbuka dan
jawaban terbatas, dan hal ini bergantung pada kebebasan peserta didik untuk
mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Tes esai
jawaban terbuka mengijinkan siswa untuk mendemonstrasikan kecakapannya untuk:
1) Menyebutkan
atas pengetahuan factual
2) Menilai
pengetahuan faktualnya
3) Menyusun
ide-idenya, dan
4) Mengemukakan
idenya secara logis dan koheren.
Sedangkan pada
tes jawaban terbatas peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup
jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus
diberikan oleh eserta didik (Mahrens dan Lehmann, 1973:206-207).
Tes esai juga memiliki
kelebihan dan kelemahan, yaitu:
1) Lebih
mudah meyiapkan soalnya,
2) Dapat
mengukur kecakapan peserta didikdengan penekanan pada kemampuan siswa,
3) Dapat
membantu pendidik untuk mengetahui kejujuran peserta didik,
4) Dapat
membantu merangsang hasil yang baik bagi pembelajaran peserta didik.
Sedangkan
kelemahannya adalah terbatas pada cakupan materi yang bisa diukur, khusus pada
tes jawaban terbuka, dan memiliki realibilitas keterbacaan yang rendah (Mahrens
dan Lehmann, 1973:73-76).
Menurut Wiersma
dan Jurs, kelebihan tes esai adalah memiliki potensi untuk mengukur hasil
belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Sedangkan kelemahannya
adalah berkaitan dengan penskoran, ketidak konsistenan pembaca merupakan
penyebab kurang objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya realibilitas
(Wiersma dan Jurs, 1990:73-76). Hopkins dan Stanley mengemukakan bahwa
keterbatasan tes esai adalah
a) Tidak
konsistennya pembaca
b) Adanya
efek penilaian yang dipengaruhi oleh keadaan lain
c) Akibat
yang timbul karena ada pengaruh dari jawaban sebelumnya
d) Akibat
yang timbul dari pengaruh tes sebelumnya
e) Akibat
yang timbul karena urutan penilaian
Sedangkan
kelebihan tes esai adalah mampu untuk mengukur tingkat berpikir lebih tinggi
dan kompleks, serta mengembangkan sikap untuk memecahkan masalah (Hopkins dan
Stanley, 1981:205-213).
Untuk menyusun tes esai sebaiknya
memperhatikan langkah-langkah berikut:
1) Siapkan
perlengkapan yang diperlukan dalam menyiapkan peserta didik mengikuti tes esai
2) Yakinkan
bahwa pertanyaan-pertanyaan telah terfokus dan disiapkan secara hati-hati
3) Isi
dan panjang pertanyaan perlu disusun sedemikian rupa
4) Gunakan
teman sejawat untuk memberi masukan
5) Hindari
pertanyaan pilihan
6) Batasi
penggunaan tes esai pada tujuan pembelajaran yang sesuai
7) Umumnya
pertanyaan singkat lebih baik disiapkan untuk mengurangi pertanyaan yang
digunakan untuk mengukur prestasi secara umum
(Hopkins dan Stanley,
1981:216-220).
Linn dan
Gronlund menyatakan bahwa untuk menyusun tes esai hendaknya memperhatikan beberapa
petunjuk berikut, (1) Batasi penggunaan esai pada hasil belajar yang tidak bisa
diukur, (2) Susun pertanyaan yang yang akan mengungkap perilakuku yang akan
menentukan hasil belajar, (3) Susun pertanyaan sedemikian rupa sehingga tugas
yang dikerjakan oleh siswa dapat dipahami dengan jelas, (5) Hindari pertanyaan
yang bersifat pilihan. Untuk pemberian skor hendaknya memperhatikan hal sebagai
berikut: (1) siapkan garis besar jawaban yang diharapkan dikuasai, (2) gunakan
metode penskoran yang paling tepat, yakni metode analitik atau holistik, (3)
tentukan bagaimana menangani faktor yang tidak relevan dengan hasil belajar
yang diukur, (4) Berikan penilaian untuk semua jawaban peserta didik pada satu
nomor pertanyaan sebelum beralih pada nomor berikutnya, (5) jika memungkinkan,
berikan nilai pada jawaban peserta didik tanpa memperhatikan identitas atau
nama siswa, (6) Gunakan dua atau lebih peilai bebas jika keputusan penting akan
diambil (Linn dan Gronlund, 1995:225-234).
Mahrens dan
Lehmann memberikan beberapa petunjuk tentang penyusunan tes esai yang baik,
yaitu:
1) Berikan
waktu dan pikiran yang cukup untuk menyusun pertanyaan
2) Pertanyaan
disusun sedemikian rupa sehingga memperoleh perilaku yang akan diukur
3) Pertanyaan
yang baik akan membuat peserta didik mengerti tentang kerangka jawaban yang
harus dikerjakan
4) Tentukan
dengan jelas penguasaaan fakta yang akan dipertimbangkan menilai jawaban tes
esai
5) Hindari
pemberian pertanyaan pilihan tes esai
6) Gunakan
sejumlah besar pertanyaan yang menuntut jawaban singkat (sekitar setengah
halaman)
7) Jangan
memulai pertanyaan dengan kata-kata, sepertiL: daftarlah, siapkah, apakah,
tahukah anda,
8) Sesuaikan
kompleksitas dan panjang jawaban yang diharapkan dengan singkat kematangan
peserta didik
9) Jika
memungkinkan, gunakan pertanyaan bentuk novel,
10) Siapkan
kunci jawaban.
Dalam memeriksa
jawaban hendaknya memperhatikan hal sebagai berikut: (1) gunakan metode yang
tepat (analitik atau global), (2) berikan perhatian hanya pada aspek jawaban
yang signifikan dan relevan, (3) hati-hati dan jangan terpengaruh oleh aspek
pribadi yang dinilai, (4) terapkan patokan yang sama untuk semua lembar jawaban
siswa. Dalam hubungan penyusunan tes esai, terdapat kata kunci yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1) Analisis
2) Berikan
komentar
3) Bandingkan
4) Perbedaan
antara dua hal atau lebih
5) Berikan
kritik, intepretasikan, dan berikan pandangan
6) Definisikan
7) Buat
diagram dan ilustrasi
8) Diskusikan
9) Berikan
penilaian
10) Jelaskan
dan hubungkan
11) Berikan
alas an dan bukikan
12) Buat
daftar dan sebut satu persatu
13) Buat
garis besar
14) Buat
ringkasan dan
15) Berikan
deskripsi tentang kemajuan secara runtut
Wiersma dan Jurs menyatakan bahwa prosedur
pemberian skor butir tes esai hendaknya mengikuti langkah0langkah berikut:
a) Siapkan
daftar yang jelas tentang konsep, fakta, dan lain-lain yang dianggap penting
yang termasuk dalam jawaban soal, serta bekerjalah berdasarkan garis besar
model jawaban yang diinginkan
b) Bacalah
sejumlah sampel (lima atau enam orang) dari jawaban-jawaban tersebut tanpa
memberikan skor dengan maksud untuk memperoleh gambaran tentang kualitas
jawaban yang bisa diharapkan
c) Jika
memungkinkan bacalah lembaran peserta didik tanpa memperhatikan identitas siswa
menghindari halo effect
d) Beri
skor untuk semua jawaban peserta didik pada satu nomor soal sebelum memberi
skor pada butir soal berikutnya, sehingga konsisten
e) Atur
kembali lembar kerja siswa secara random setelah pemberian skor untuk butir
soal, sehingga posisinya tidak sama
f) Jika
soal yang akan diberi skor bnayak aturlah waktu pemeriksaan tersebut sedemikian
rupa dengan maksud mengurangi kelelahan dan kebosanan (Wiersma dan Jurs
1990:84-85).
Jadi dapat
disimpulkan bahwa tes esai adalah butir tes yang menuntut peserta didik untuk
menyusun, merumuskan, mengemukakan sendiri secara bebas. Tes esai ada dua
yaitu: tes esai yang menginginkan jawaban yang luas atau terbuka dan tes esai
yang menginginkan jawaban terbatas atau terstruktur. Keunggulannya adalah dapat
mengukur aspek kemampuan yang tinggi dan kompleks. Sedangkan kelemahannya
adalah sulit memberikan skor objektif, sehingga tingkat realibilitasnya lebih
rendah dari tes objektif.
c.
Perbandingan
antara Tes Esai dan Tes Objektif
Kedua tes
tersebut memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
sama-sama alat untuk mengukur sebagaian besar hasil pendidikan yang dapat
diukur dengan tes tertulis. Selain itu baik tes objektif maupun tes esai dapat
digunakan untuk mendorong peserta didik untuk belajar memahami prinsip-prinsip
menyusun dan memadukan ide-ide, dan penerapan pengetahuan pada proses pemecahan
masalah. Sedangkna perbedaannya adalah tampak pada berbagai aspek, misalnya
dilihat dari tujuan pengukuran, ranah atau jenis kemampuan yang diukur, cara
penulisan butir soal, dan cara pemberian skor untuk setiap butir soal.
Mengenai
perbedaan antara tes objektif dengan tes esai, Ebel menyatakan sebagai berikut:
1) Pada
tes esai, meminta peserta didik mengemukakan jawabannya dengan menggunakan
bahasanya sendiri, sedangkan tes objektif, siswa diminta untuk memilih
alternative jawaban yang tersedia.
2) Tes
esai, relative terdiri dari sedikit pertanyaan bersifat umum dan memerlukan
jawaban luas, sedangkan tes objektif terdiri dari banyak pertanyaan dan
menuntut jawaban singkat
3) Tes
esai, siswa menghabiskan waktu berpikir dan menulis untuk menjawab soal,
sedangkan tes objektif waktu lebih banyak digunakan untuk membaca dan berpikir
mengerjakan soal
4) Tes
esai sebgaian besar ditentukan oleh keterampilan membaca membaca jawaban,
sedangkan tes objektif kualitas tes ditentukan oleh pembuat soal
5) Ujian
tes esai lebih mudah disiapkan, tetapi membosankan serta sulit memberi skor
akurat, sedangkan ujian tes objektif relative membosankan dan sulit disiapkan,
tetapi mudah memberi skor
6) Ujian
tes esai, siswa bebas mengemukakan jawabannya secara individual, dan bebas
memberi skor sesuai pandangan pemeriksa, sedangkan ujian tes objektif memberi
banyak kebebasan bagi penyusun soal mengemukakan pengetahuan dan nilainya,
tetapi siswa diberi kebebasan untuk memilih proporsi jawaban benar yang ia
berikan
7) Tes
esai yang digunakan dasar penentuan derajat peserta didik, kurang jelas, pada
tes objektif tugas-tugas peserta didik dijadikan dasar penentu derajat
penguasaan
8) Tes
esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpura-pura mengerjakan
soal, sedangkan tes objektif memberi kesempatan pendidik untuk menebak
9) Distribusi
skor hasil tes esai dapat dikontrol oleh kesungguhan penilai, sedangkan tes
objektif distribusi skor ditentukan oleh banyaknya butir tes
(Ebel, 1972: 123-138).
Tes objektif
dapat mengukur pengetahuan tentang fakta-fakta, tetapi tes esai mengukur kemampuan
berpikr yang lebih kompleks, dan berpikir pada tingkat tinggi. Tes objektif
tidak dapat mengembangkan kualitas penalaran, kemampuan menyusun ide-ide,
merancang, dan pemahaman yang kompleks pada peserta didik (Hopkins dan Stanley,
1981:205).
Gronlund dan
Linn (1990:124) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek yang dapat dibandingkan
antara tes esai dan tes objektif, seperti tercantum dalam table pada halaman
berikut:
|
Tes
Objektif
|
Tes
Esai
|
1.Hasil
belajar yang diukur
|
Baik
untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan tentang fakta,
pemahaman, keterampilan berpikir dan hasil belajar yang komplek. Tetapi tidak
mampu untuk mengukur kemampuan untuk memilah dan menyusun ide-ide, kecakapan
menulis dan beberapa bentuk keterampilan untuk memecahkan masalah
|
Tidak
efisien untuk mengukur pengetahuan tentang fakta. Dapat mengukur pemahaman,
ketreampilan berpikir dan hasil belajar kompleks lainnya. Cocok untuk memilih
dan menyusun ide-ide keterampilan menulis, dan memecahkan masalah yang
menuntut pemikiran orisinil.
|
2.
Penyiapan butir soal
|
Banyak
memerlukan waktu untuk menyusun butir soal. Sukar mempersiapkan butir soal
yang baik dan memerlukan waktu lama
|
Hanya
sedikit pertanyaan yang diperlukan untuk seperangkat tes. Menyiapkan butir
soal relative mudah, tetapi sulit dari pada anggapan orang
|
3.Mengambil
sampel materi pelajaran
|
Dapat
mewakili semua materi pelajaran dan dapat membuat butir soal yang banyak
dalam seperangkat tes
|
Tidak
dapat mewakili seluruh materi pelajaran, karena hanya sedikit pertanyaan dalam
perangkat tes
|
4.Kontrol
terhadap jawaban peserta didik
|
Tinggi
memilih jawaban yang telah tersedia. Menghindari gertak sambal dan pengaruh
keterampilan menulis, bisa menebak jawaban
|
Bebas
menjawab atas dasar kata-katanya sendiri dan keterampilan menulis
mempengaruhi skor, menebak bisa dikurangi
|
5.
Pemberian skor
|
Penskoran
secara objektif dan cepat, mudah dan konsisten
|
Penskoran
subjektif dan lambat, sulit dan tidak konsisten
|
6.
Pengaruh pada proses pembelajaran
|
Biasanya
mendorong peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan tentang fakta khusus
dan kemampuan untuk pembedaan diantara fakta tersebut. Dapat mendorong
pengembangan pemahaman, keterampilan berpikir, dan hasil belajar kompleks
|
Mendorong
peserta didik untuk memusatkan pikiran pada sejumlah besar materi pelajaran,
dengan penekanan khusus pada kemampuan untuk menyusun, mengintegrasikan dan
mengemukakan ide-ide secara efektif. Dapat mendorong kebiasaan menulis buruk
jika waktunya mendesak.
|
7.
Reliabilitas
|
Reliabilitas
yang tinggi mungkin dicapai, khususnya jika tes disusun secara baik
|
Reliabilitasnya
lebih rendah, terutama karena penskoran yang tidak konsisten
|
|
|
|
4.
Prinsip-prinsip
Umum
1) Tes
hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar yang telah ditetapkan
sesuai dengan tujuan instruksional. Tujuan merupakan landasan sekaligus sebagai
penentu kriteria penilaian.
2) Mengukur
sampel yang representatif dari hasil belajar dan dari bahan pelajaran yang
telah dipelajari.
3) Mencakup
bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur hasil belajar
yang diinginkan sesuai dengan tujuan.
4) Didesain
sesuai kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan.
5) Dibuat
seandal mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik.
6) Digunakan
untuk memperbaiki cara mengajar guru dan belajar siswa.
5.
Tujuan
Tes
Menurut Gronlund (1982):
1) Untuk
menilai kemampuan belajar murid.
2) Untuk
memberikan bimbingan belajar kepada murid.
3) Untuk
mengecek kemampuan belajar.
4) Untuk
memahami kesulitan belajar.
5) Untuk
menilai efektivitas (keberhasilan) mengajar (shertzer & Stone, 1971:235)
6.
Bentuk
Tes
Bentuk-bentuk tes yaitu:
1)
Tes
subjektif
a.
Pengertian
Pada umumnya
berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar
yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata.
Ciri-ciri pertanyaanya didahului dengan kata-kata seperti; uraikan, jelaskan,
mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan sebagainya. Soal-soal bentuk
esai ini menuntut kemampuan siswa untuk dapat mengorganisir,
menginterpretasikan, menghubungkan pengertian-pengertian yang telah dimiliki.
Tes esai menuntut siswa untuk dapat mengingat-ingat dan mengenal kembali, dan
terutama harus mempunyai daya kreativitas yang tinggi.
b.
Kelebihan
tes subyektif
a) Mudah
disiapkan dan disusun.
b) Tidak
memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan.
c) Mendorong
siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat
yang bagus.
d) Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa dan
caranya sendiri.
e) Dapat
diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diteskan.
c.
Kekurangan
tes subjektif
1) Kadar
validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dari
pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai.
2) Kurang
representatif dalam hal mewakili seluruh scope bahan pelajaran yang akan
diteskan karena soalnya hanya beberapa saja (terbatas).
3) Cara
memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subjektif.
4) Pemeriksaanya
lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari
penilai.
5) Waktu
untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain.
d.
Petunjuk
penyusuanan
a) Hendaknya
soal-soal tes dapat meliputi ide-ide pokok dari bahan yang diteskan dan kalau
mungkin disusun soal yang bersifat komprehensif.
b) Hendaknya
soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin langsung dari buku catatan.
c) Pada
waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci jawaban serta
pedoman penilaian
d) Hendaknya
diusahakan agar pertanyaanya bervariasi antara jelaskan, mengapa, bagaimana,
seberapa jauh, agar dapat diketahui lebih jauh penguasaan siswa terhadap bahan
atau materi.
e) Hendaknya
rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh siswa.
f) Hendaknya
ditegaskan model jawaban apa yang dikehendaki oleh penyusun tes. Untuk ini
pertanyaan tidak boleh terlalu umum, tetapi spesifik.
2)
Tes
objektif
a. Pengertian
Tes objektif adalah tes
yang dalam pemeriksaanya dapat dilakukan secara objektif. Dalam pengunaan tes
objektif ini jumlah soal yang diajukan jauh lebih banyak daripada tes esai.
b. Kebaikan tes objektif
a)
Mengandung lebih
banyak segi-segi positif, misalnya lebih representatif mewakili isi dan luas
bahan, lebih obyektif, dapat dihindari campur tangan unsur-unsur subjektif baik
dari segi siswa maupun segi guru yang memeriksa.
b)
Lebih mudah dan cepat
cara memeriksanya karena dapat mengunakan kunci tes bahkan alat-alat hasil
kemajuan teknologi.
c)
Pemeriksaanya dapat
diserahkan kepada orang lain.
d)
Dalam pemeriksaan,
tidak ada unsur subjektif yang mempengaruhi.
c. Kekurangan tes
objektif
1) Persiapan
untuk menyusunnya jauh lebih sulit daripada tes esai karena soalnya banyak dan
harus teliti untuk menghindari kelemahan-kelemahan lainnya.
2) Soal-soalnya
cendrung untuk mengungkapkan ingatan dan daya pengenalan kembali saja, dan
sukar untuk mengukur proses mental yang tinggi.
3) Banyak
kesempatan untuk main untung-untungan.
4) Kerjasama
antar siswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih terbuka.
d.
Cara
mengatasi kelemahan
a) Kesulitan
menyusun tes objektif dapat diatasi dengan jalan banyak berlatih terus-menerus
hingga betul-betul mahir.
b) Menggunakan
tabel spesifikasi untuk mengatasi kelemahan.
c) Menggunakan
norma (standar) penilaian yang memperhitungan faktor tebakan yang bersifat
spekulatif.
e.
Macam-macam
bentuk Tes Objektif
a) Tes benar-salah (true-false)
Soal-soalnya berupa pernyataan-pernyataan. Pernyataan
tersebut ada yang benar dan ada yang salah. Orang yang ditanya bertugas untuk
menandai masing-masing pernyataan itu dengan melingkari huruf B jika pernyataan
itu betul menurut pendapatnya dan melingkari S jika pernyataannya salah.
Pada umumnya tes benar-salah digunakan
untuk mengukur kemampuan siswa untuk mengidentifikasi kebenaran suatu
pernyataan mengenai: fakta, definisi, prinsip, teori, hukum, dan sebagainya.
b) Tes
Pilihan Ganda (multiple choice test)
Tes pilihan ganda terdiri atas suatu
keterangan atau pemberitahuan tentang suatu pengertian yang belum lengkap. Dan
untuk melengkapinya harus memilih satu dari beberapa kemungkinanan jawaban yang
telah disediakan. Atau tes pilihan ganda terdiri atas bagian keterangan dan
bagian kemungkinan jawaban atau alternatif. Kemungkinan jawaban terdiri atas
satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan beberapa pengecoh.
c) Menjodohkan
(matching test)
Matching test dapat diganti dengan
istilah membandingkan, mencocokan, memasangkan, atau menjodohkan. Matching test
terdiri atas satu seri pertanyaan dan satu seri jawaban. Masing-masing
pertanyaan mempunyai jawabannya yang tercantum dalam seri jawaban. Tugas murid
ialah mencari dan menempatkan jawaban-jawaban, sehingga sesuai atau cocok
dengan pertanyaanya.
d) Tes
Isian (completion test)
Tes isian
disebut juga istilah tes isian, tes menyempurnakan, atau tes melengkapi. Tes
isian terdiri tas kalimat-kalimat yang ada bagian-bagiannya yang dihilangkan.
Bagian yang dihilangkan atau yang harus
diisi oleh siswa ini adalah merupakan pengertian yang kita minta dari siswa.
7.
Pemilihan
atau Penyusunan Tes Hasil Belajar
Prinsip dasar
menyusun tes hendaknya penyusun tes menuliskan satu atau lebih tes untuk setiap
tujuan pembelajaran. Setiap soal tes harus menunjukkan dengan tegas tujuan
pembelajaran (kompetensi dasar) yang hendak di tes. Soal yang tak ada hubungan
dengan tujuan pembelajaran sebaiknya tidak digunakan. Untuk dapat memperoleh
alat penilaian (tes) yang memenuhi persyaratan, setiap penyusun tes hendaknya dapat
mengikuti langkah-langkah penyusunan tes. Sax (1980), mengidentifikasi
langkah-langkah pengembangan tes ke dalam sembilan langkah sebagai berikut:
a. Menyusun
kisi-kisi (tabel spesifikasi) tes, yang memuat: materi pokok yang akan
diteskan, aspek perilaku atau tingkatan kognitif yang akan diukur, dan
penentuan jumlah butir tes untuk setiap aspeknya.
b. Menulis
butir-butir soal dengan mendasarkan pada aspek-aspek yang telah tercantum pada
tabel spesifikasi (kisi-kisi) tersebut.
c. Melakukan
telaah soal tes (analisis tes secara logis);
d. Melakukan
uji coba soal;
e. Analisis
soal secara empiris;
f. Memperbaiki
atau merevisi tes;
g. Merakit
tes, dengan menyiapkan komponen-komponen pendukung untuk penyelenggaraan tes,
yang meliputi:(a) buku tes; (b) lembar jawaban tes; (c) kunci jawaban tes; dan
(d) pedoman penilaian atau pedoman pemberian skor. 8. Melaksanakan tes; dan 9.
Menafsirkan hasil tes.
Berikut ini
akan dijelaskan secara singkat langkah-langkah penyusunan alat ukur tes.
a. Menyusun spesifikasi alat ukur
Dalam
menyusun spesifikasi alat ukur tes terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah menentukan tujuan pengukuran, menyusun kisi-kisi alat ukur,
memilih skala pengukuran, dan menentukan panjang instrumen. Demikian hal yang
sama dengan merencanakan dan mengembangkan alat ukur non tes. Jenis data yang
digali dengan menggunakan alat ukur non tes adalah : data fisik (misal: jumlah
siswa, jumlah guru, dsb) dan data non fisik (misal: kegiatan belajar-mengajar,
sikap, minat, keyakinan, dan atribut). Jenis instrumen yang biasa dipakai:
kuesioner (angket, skala, inventori) dan lembar observasi. Ketika menentukan
jenis instrumen perlu untuk diperhatikan tujuan pengukuran, jumlah responden,
dan waktu yang tersedia. Menyusun kisi-kisi sangat penting bagi pendidik
sebelum menyusun suatu penilaian. Kisi-kisi penilaian adalah deskripsi mengenai
ruang lingkup dan isi dari apa yang akan diujikan, serta memberikan perincian
mengenai teknik dan bentuk instrument yang diperlukan dalam penilaian tersebut.
Langkah-langkah menyusun kisi-kisi alat ukur tes adalah sebagai berikut:
menyusun definisi konseptual/standar kompetensi, menyusun definisi operasional/
kompetensi dasar, menentukan indikator, menentukan domain/ranah pencapai
belajar, dan menentukan bentuk tes.
Pemilihan
bentuk tes yang perlu diperhatikan adalah tentang cakupan materi tes, jumlah
peserta tes, dan waktu untuk memeriksa tes tersebut. Skala pengukuran penting direncanakan
karena akan dipergunakan untuk melakukan penafsiran pada hasil
penilaian.
Adapun jenis-jenis dari skala pengukuran tersebut, yaitu skala ratio, Interval (misal:
0 – 10 atau 0 – 100), ordinal (misal ranking), dan nominal (misal lulus-tidak
lulus). Skala pengukuran untu jenis alat ukur non tes yaitu: ratio (misal :
tinggi badan, berat badan), interval (misal: suhu udara, hasil skala Likert
yang disesuaikan), ordinal (misal: ranking, skala Likert yang tidak disesuaikan
), dan nominal (misal: jenis kelamin, jenis binatang dan sebagainya. Pada alat
ukur non tes menentukan panjangnya instrument harus memperhatikan representaivitas,
responden, waktu yang tersedia, kelelahan, dan kebosaanan responden
b. Menulis butir tes
Penulisan
butir tes merupakan salah satu langkah penting untuk dapat menghasilkan alat
ukur yang baik. Penulisan butir tes adalah penjabaran indicator tentang jenis
dan tingkat perilaku yang hendak diukur menjadi soal ataupun
pertanyaanpertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan perincian yang ada
dalam kisi-kisi. Dengan demikian, setiap butir soal perlu dibuat jelas apa yang
ditanyakan dan jelas pula jawaban yang akan dituntut. Mutu butir tes akan
menentukan mutu penilaian secara keseluruhan.
c. Menelaah butir tes
Tahapan
ini merupakan hal penting untuk diperhatikan, karena seringkali kekurangan yang
terdapat pada suatu instrumen tidak terlihat oleh penyusun tes. Review dan
revisi ini ideal dilakukan oleh orang lain dan terdiri dari suatu tim penelaah
yang terdiri dari ahli-ahli bidang studi, pengukuran, dan bahasa. Berikut ini
rambu-rambu telaah butir untuk macam-macam jenis tes.
d. Melakukan Ujicoba
Setelah
tes dipakai (ada data hasil kerja peserta didik), setiap item tes dan perangkat
tes dianalisis kualitas butirnya untuk mendapatkan soal yang baik. Pada
prinsipnya ujicoba instrumen dilakukan untuk memperoleh informasi empirik
mengenai sejauh mana instrumen penilaian dapat mengukur apa yang hendak diukur.
Validitas set butir tes dapat diketahui dari kisi-kisi soal, sedangkan
reliabilitas soal baru dapat diketahui keajegannya setelah perangkat soal
tersebut diuji cobakan. Dalam melakukan ujicoba biasanya dibantu dengan
menggunakan perhitungan statistik. Informasi hasil empirik tersebut pada
umumnya juga menyangkut segala hal yang dapat mempengaruhi validitas seperti
faktor-faktor keterbacaan, tingkat kesukaran, tingkat daya pembeda, efektivitas
distraktor, pola jawaban dan sebagainya. Penjelasan lebih lanjut uji coba untuk
mengkaji kualitas instrumen akan dijelaskan tersendiri pada sub bab
yang berbeda.
e. Menganalisis untuk merevisi butir tes
Sebagai
seorang pendidik perlu melakukan analisis butir tes yang telah dibuatnya,
karena sebetulnya pendidik akan memperoleh banyak informasi yang bermanfaat
tentang keadaan peserta didik dan proses pembelajaran yang telah dilakukannya.
Melakukan analisis butir secara empiris akan diketahui, item-item butir yang baik
untuk mengukur kemampuan sesuai dengan kompetensi yang diukur. Dengan
menganalisis butir tes seorang pendidik akan akan dapat meningkatkan kualitas
butir tes tersebut. Dengan kualitas butir yang lebih baik, pendidik akan dapat
mengukur hasil belajar peserta didik dengan tepat. Analisis butir tes penting
untuk dilakukan oleh pendidik karena akan
bermanfaat
untuk: a) mengetahui apakah butir tes yang disusun sudah berfungsi sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh penyusun tes, b) sebagai umpan balik bagi peserta
didik untuk mengetahui kemampuan mereka dalam menguasai suatu materi, c) umpan
balik pendidik untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik
dalam memahami suatu materi, d) acuan merevisi butir tes, e) memperbaiki
kemampuan pendidik dalam menyusun alat ukur.
f. Merakit instruman
Setelah
melakukan analisis, kemudian mengelompokkan bentuk-bentuk jenis tes yang sama
apabila dalam satu perangkat penilaian terdapat lebih dari satu bentuk.
Diurutkan dari nomor soal yang mudah ke yang sulit, Perhatikan juga tata layout
dalam perakitan instrumen penilaian.
g. Melakukan pengukuran
Setelah
perangkat tes tersusun, tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran.
Pelaksanaan pengukuran dapat diselenggarakan secara tertulis, lisan maupun
dengan perbuatan sesuai dengan tujuan tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pengukuran adalah waktu penyajian tes, petunjuk yang jelas cara
mengerjawakan, ruangan, dan tempat duduk peserta didik. Setelah ada data hasil
kerja peserta didik, kemudian pemeriksaan terhadap jawaban dan pemberian skor
sebagai langkah untuk mendapatkan informasi kuantitatif dari masing-masing
peserta didik. Sistem skoring seharusnya sudah disusun sebelum instrumen
dipakai.
Melakukan
skoring berdasarkan aturan yang telah dirumuskan yang sesuai untuk tes
tertulis, lisan, maupun perbuatan. Pada prinsipnya, skoring ini harus
diusahakan agar dapat dilakukan secara obyektif.
h. Manafsirkan hasil pengukuran
Data
hasil pengukuran kemudian diolah atau ditata agar data tersebut mudah dibaca
dan dapat memberikan informasi kepada pendidik mengenai hasil pengukuran
tersebut. Hasil olahan data dapat dianalisis secara statistik deskriptif yang
berbentuk prosentase, mean, median, kuartil maupun statistik inferensial yaitu
korelasi. Informasi hasil pengukuran dapat dimanfaatkan untuk perbaikan atau
penyempurnaan sistem, proses atau kegiatan belajar mengajar, maupun sebagai
data untuk mengambil keputusan atau menentukan kebijakan.
8.
Jenis
Tagihan
Untuk
memperoleh data dan informasi sebagai dasar penentuan tingkat keberhasilan
belajar diperlukan adanya tes. Dalam setiap tes tentunya memerlukan seperangkat
alat penilaian. Berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
alat penilaian atau jenis tagihan yang dapat digunakan antara lain:
1. Kuis: digunakan untuk menanyakan
hal-hal yang prinsip dari pelajaran yang lalu secara singkat,
bentuknya berupa isian singkat, dan dilakukan sebelum pelajaran.
2. Pertanyaan Lisan: digunakan untuk
mengungkap penguasaan peserta didik tentang pemahaman konsep, prinsip, atau teorema.
3. Ulangan harian: dilakukan secara
periodik pada akhir pengembangan kompetensi, untuk mengungkap penguasaan
pemahaman, sampai evaluasi, atau untuk mengungkap penguasaan pemakaian alat
atau prosedur.
4. Tugas individu: dilakukan secara
periodik untuk diselesaikan oleh setiap peserta didik dan dapat berupa tugas
rumah. Tugas individu dipakai untuk mengungkap kemampuan aplikasi sampai
evaluasi atau untuk mengungkap penguasaan hasil latihan dalam menggunakan alat
tertentu, melakukan prosedur tertentu.
5. Tugas kelompok: digunakan untuk menilai
kemampuan kerja kelompok dalam upaya pemecahan masalah. Jika mungkin kelompok
peserta didik diminta melakukan pengamatan atau merencanakan suatu proyek
menggunakan data informasi dari lapangan.
6. Ulangan semester: digunakan untuk
menilai ketuntasan penguasaan kompetensi pada akhir program semester.
Kompetensi yang diujikan berdasarkan kisi-kisi yang mencerminkan kompetensi
dasar yang dikembangkan dalam semester yang bersangkutan.
7. Ulangan Kenaikan: digunakan untuk
mengetahui ketuntasan peserta didik utnuk menguasai materi dalam satu tahun
ajaran. Pemilihan kompetensi ujian harus mengacu pada kompetensi dasar,
berkelanjutan, memiliki nilai aplikatif, atau dibutuhkan untuk belajar pada
bidang lain
9.
Pengembangan
Tes
Cara pengembangan
tes adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan
tujuan tes
Tes
dapat dibuat untuk bermacam-macam tujuan, seperti:
1) tes yang bertujuan untuk mengadakan evaluasi
belajar tahap akhir (EBTA) atau ujian lain yang sejenis dengan EBTA.
2) tes
yang bertujuan untuk mengadakan seleksi , misalnya untuk saringan masuk
perguruan tinggi atau untuk penerimaan beasiswa untuk murid yang berbakat.
3) tes
yang bertujuan untuk mendiagnosis kesulitan belajar murid, yang dikenal dengan
tes diagnostik.
b. Analisis
Kurikulum atau Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
Analisis
kurikulum bertujuan untuk menentukan bobot setiap pokok bahasan yang akan
dijadikan dasar dalam menentukan item atau butir soal dalam membuat kisi-kisi
soal
c. Analisis
Buku Pelajaran dan Sumber dari Materi Belajar Lainnya
Analisis
buku pelajaran digunakan untuk menentukan bobot setiap pokok bahasan
berdasarkan jumlah halaman materi yang termuat dalam buku pelajaran atau sumber
materi belajar lainnya.
d. Mengidentifikasi
materi-materi yang cocok untuk dibuat dengan soal uraian
Tes
uraian biasanya dibuat dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan menganalisis
yang dimiliki oleh siswa, atau menjelaskan prosedur, hubungan sebab-akibat,
atau memberikan argumen-argumen yang relevan.
e. Membuat
kisi-kisi
Manfaat
kisi-kisi adalah untuk menjamin sampel soal yang baik, dalam arti mencakup
semua pokok bahasan secara proporsional.
f. Penulisan
soal disertai pembuatan kunci jawaban dan pedoman penskoran
Ada
beberapa petunjuk dalam penulisan butir-butir soal seperti valid, dapat
dikerjakan dengan kemampuan yang spesifik, dan berikan petunjuk pengerjaan soal
secara lengkap dan jelas.
g. Penelaahan
kembali rumusan soal (oleh sendiri atau orang lain)
h. Reproduksi
tes terbatas
Tes
yang sudah dibuat diperbanyak dalam jumlah yang cukup menurut jumlah sampel uji
coba atau jumlah peserta
i.
Uji Coba Tes
Sampel
uji coba harus mempunyai karakteristikyang kurang lebih sama dengan
karakteristik peserta tes yang sesungguhnya.
j.
Analisis hasil uji coba
Berdasarkan
data hasil uji coba dilakukan analisis, terutama analisis butir soal yang
meliputi validitas butir, tingkat kesukaran, dan fungsi pengecoh.
k. Revisi
soal
Apabila
soal-soal yang valid belum memenuhi syarat berdasarkan hasil konfirmasi dengan
kisi-kisi, dapat dilakukan perbaikan atau revisi soal.
l.
Merakit soal menjadi tes
10.
Pengembangan
Instrumen Non-tes
Pengukuran
penilaian hasil belajar menggunakan instrumen non tes untuk mengevaluasi hasil
belajar aspek afektif dan keterampilan motorik. Bentuk penilaian yang
menggunakan alat ukur/instrumen non tes yaitu meliputi penilaian unjuk
kerja/performance, penilaian proyek/produk, penilaian potfolio, dan penilaian
sikap. Alat penilaian yang tergolong teknik non-tes antara lain:
a.
Kuesioner/angket f.
Portofolio
b. Wawancara (interview) g. Jurnal
c. Daftar Cocok
(check-list) h.
Inventori
d.
Pengamatanatau observasi i.
Penilaian diri (self-assessment)
e. Penugasan j. Penilaian
oleh teman (peer assessment).
B.
Alat
Ukur Non Tes
1.
Skala
(alat ukur kiraan)
Adalah
seperangkat angka atau lambang melalui aturan yang mampu menempatkan individu
(sasaran) pada skala tersebut.
Ada
beberapa tipe skala yaitu: (1) skala kategoris à skala yang
menunjukan kategori individu (sasaran), (2) skala kualitatif berperingkat Ã
skala yang mmenunjukan peringkat objek ukur, (3) skala kiraan (rating) Ã
model likert, frekuensi verbal, ordinal, komparatif, numeric, kata sifat,
staple, peringkat, deferential semantic, dan thurstone.
a. Skala
Likert
Setiap butir terdiri
atas suatu pernyataan dimana sasaran dapat memilih satu jawaban diantara lima
tawaran yakni:
SS =
Sangat Setuju
S =
Setuju
R =
Ragu-ragu
TS =
Tidak Setuju
STS =
Sangat Tidak Setuju
*SS tidak selalu
positif, tergantung kepada pernyataannya.
Cara pemberian skor:
Pilihan
Jawaban
|
Pertanyaan/Pernyataan
|
Positif
|
Negatif
|
Sangat
Setuju (SS)
Setuju (S)
Ragu-Ragu (R)
Tidak
Setuju (TS)
Sangat
Tidak Setuju (STS)
|
5
4
3
2
1
|
1
2
3
4
5
|
b. Skala
Frekuensi Verbal
Sama dengan skala
likert, hanya saja skala yang dipilih adalah: 1 = selalu, 2 = sering, 3 = kadang-kadang,
4 = jarang, 5 =tidak pernah.
c. Skala
Ordinal
data hasil pengamatan
diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori, dan diantara kategori ada suatu
urutan. Skala ordinal merupakan skala pengukuran yang sifatnya membedakan dan
mengurutkan. Misalnya seseorang diminta untuk mengurutkan tiga buah
produk berdasarkan tingkat kepuasan terhadap produk.
d. Skala
Komparatif
Digunakan untuk
membandingkan sasaran dengan data yang sudah diiliki sebelumnya. Misalnya untuk
membandingkan rasa manis dari buah jeruk yang dijual di warung buah A, B dan C
dengan jeruk yang didapat di kebun.
Warung
|
Sangat
asam
|
Kira-kira
sama
|
Sangat
manis
|
A
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
B
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
C
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Misalnya hasilnya
adalah:
Warung
|
Sangat
asam
|
Kira-kira sama
|
Sangat
manis
|
A
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
B
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
C
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
e. Skala
Numerik
Pemakaian angka
sebagai tingkat perhitungan terhadap objek oleh sasaran. Misalnya alasan
seseorang untuk berkuliah di Undiksha.
Skala:
Sangat
Tidak Penting Sangat
Penting
1 2
3 4 5
PERNYATAAN
|
SKALA
|
|
PERNYATAAN
|
SKALA
|
Kampus
dekat dengan rumah
|
|
|
Kampus
dekat dengan rumah
|
1
|
Terkenal
|
|
|
Terkenal
|
5
|
Lulus
dijamin dapat kerja
|
|
|
Lulus
dijamin dapat kerja
|
2
|
Sesuai
keinginan
|
|
|
Sesuai
keinginan
|
1
|
Kemampuan
dosen
|
|
|
Kemampuan
dosen
|
4
|
Uang
Semester
|
|
|
Uang
Semester
|
1
|
Fasilitas
yang dimiliki
|
|
|
Fasilitas
yang dimiliki
|
3
|
f. Pilihan
Kata Sifat
Untuk mengetahui
pendapat sasaran terhadap hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Misalnya:
Beri tanda centang (√)
sesuai dengan kesan anda terhadap makanan anda sehari-hari:
(…) enak (…)
haram
(…) halal (…)
aman
(…) berbahaya (…) tidak enak
(…) bersih (…) kotor
Misalnya hasilnya
adalah:
( √ ) enak (
√ ) haram
(…) halal (…)
aman
( √ ) berbahaya (…)
tidak enak
(…) bersih ( √ ) kotor
g. Skala
Stapel
Bisa dikatakan skala
ini adalah penyempurnaan dari skala kata sifat dengan cara menggabungkan skala
kata sifat dengan skala numeric. Misalnya:
Beri skor di setiap
kata sehingga mampu menggambarkan kesan anda terhadap makanan anda sehari-hari:
Skala:
Tidak
Sama Sekali
Sangat Sesuai
1 2
3 4 5
(…) enak (…)
haram
(…) halal (…)
aman
(…) berbahaya (…) tidak enak
(…) bersih (…) kotor
Misal hasilnya adalah:
( 4 ) enak (
5 ) haram
( 1 ) halal (
2 ) aman
( 3 ) berbahaya (
1 ) tidak enak
( 2 ) bersih (
4 ) kotor
h. Skala
Peringkat
Adalah skala untuk mengetahui minat sasaran sesuai kesan
yang dimiliki akan suatu objek. Misalnnya: Berilah tanda 1,2,3, dan 4 pada
daftar dibawah ini.
(…) Sepeda (
1 ) Sepeda
(…) Sepeda Motor (
3 ) Sepeda Motor
(…) Jalan Kaki (
2 ) Jalan Kaki
(…) Mobil (
4 ) Mobil
i.
Skala Deferential
Semantik dari OSGOOD
Memberi pengukuran
terhadap data melalui berbagai kreteria. Misalnya:
Berilah tanda terhadap
pendapat anda tentang Gedung Perkuliahan PGSD Undiksha.
Dingin 1 2 3 4 5 Panas
Bersih 1 2 3 4 5 Kotor
Hening 1 2 3 4 5 Bising
Misal hasilnya adalah:
Dingin 1 2 3 4 5 Panas
Bersih 1 2 3 4 5 Kotor
Hening 1 2 3 4 5 Bising
j.
Skala Thurstone
Skala
Thurstone atau sering juga disebut metode equal appearing interval. Penyusunan
skala dengan model ini memang relatif agak rumit dibandingkan dengan penyusunan
skala model Likert.
Ada beberapa langkah
awal yang mungkin sama dengan model likert, seperti :
1)
penetapan
tujuan atau kawasan ukur,
2)
melakukan
pendefinisian secara konseptual,
3)
menyusun
definisi operasional,
4)
mengidentifikasi
indikator perilaku,
5)
membuat
blue print alat ukur, dan
6)
penyusunan
item-item per indikator yang juga disusun dengan item favorable dan unfavorable
sebanyak mungkin.
Yang
menjadi pembeda dalam penyusunan skala antara Likert dan Thurstone terletak
pada perlakuan setelah item jadi. Setelah item tersusun langkah selanjutnya
yang harus dilakukan adalah membuat format untuk proses penilaian oleh Judges.
Setiap item diberikan alternatif respon dengan rentang skala 11, ke sebelas
rentang skala tersebut diberikan keterangan dengan huruf A sampai K seperti
contoh di bawah ini.
Saya
baru akan memulai aktivitas ketika waktu mendesak
Langkah selanjutnya adalah mencari penilai
atau Judges minimal 30 orang untuk memberikan penilaian item. Instruksi
yang diberikan ke penilaian sebelum melakukan penilaian adalah penilai atau Judges
diminta meletakkan item pada rentang huruf tersebut, semakin ke arah huruf
A maka item tersebut menyatakan item yang Unfavorable demikian pula
sebaliknya apabila item tersebut diletakkan semakin mendekati huruf K maka item
tersebut menyatakan item yang Favorable. Proses penilaian ini dilakukan
pada semua item yang telah disusun satu per satu.
Apabila
seluruh item sudah dilakukan penilaian oleh seluruh penilaian atau Judges, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi data seperti menghitung frekuensi,
menghitung persentase, menghitung persentase kumulatif. Selanjutnya melakukan
penghitungan nilai S (median) dan nilai Q dari penghitungan nilai percentile 25
dan percentile 75.
Contoh:
No
Item
|
Alternatif
Pilihan
|
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
I
|
J
|
K
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
1
|
F
|
4
|
5
|
6
|
8
|
10
|
12
|
30
|
6
|
8
|
9
|
2
|
P
|
0.04
|
0.05
|
0.06
|
0.08
|
0.10
|
0.12
|
0.30
|
0.06
|
0.08
|
0.09
|
0.02
|
Pk
|
0.04
|
0.09
|
0.15
|
0.23
|
0.33
|
0.45
|
0.75
|
0.81
|
0.89
|
0.98
|
1.00
|
Keterangan :
F = Frekuensi,
jumlah penilai yang memilih tiap-tiap alternatif
P = Proporsi tiap
Frekuensi pilihan dengan jumlah penilai/penjawab
F dibagi N (F : N)
Pk = Proporsi
Kumulatif yaitu penambahan besarnya proporsi dengan
proporsi sebelumnya,
misal 0.09 = 0.04 + 0.05
karena penentuan
nilai/skor skala menggunakan ukuran tendency central Median, maka setiap
item perlu dicari mediannya dengan menggunakan Rumus Median yang diberi lambang
S sebagai berikut:
Keterangan :
S = Skala nilai
dari pernyataan (Median)
Bb = Batas bawah
median
Pkb = Proporsi
kumulatif di bawah posisi median
pm = Proporsi pada
posisi Median
i = Interval
(dalam hal ini sama dengan 1)
apabila diterapkan
pada contoh pada data tabel di atas akan nampak sebagai berikut :
Nilai 6.67 ini
merupakan nilai skala untuk item nomor 1 tersebut, pencarian nilai ini
dilakukan sebanyak item-item yang tertuang dalam Skala sikap yang akan
dipergunakan dalam penelitian. Disamping itu untuk mengetahui variasi
distribusi dapat dilakukan perhitungan rentang antar kuartil (K75 - K25) dengan
rumus :
Bila diterapkan pada
item tersebut di atas diperoleh nilai
K25 = 4.7
K75 = 7
Q = 2.3 (Rentang
antar Kuartil)
Langkah selanjutnya
adalah melakukan pemilihan item dengan cara :
·
Cari
butir dng nilai “Q” kecil
·
Usahakan
ada variasi nilai “S”
·
Tiap
skala ada 2 butir
·
Pernyataan
minimal ada 22 butir
Item-tem
yang terpilih disusun ulang secara acak dalam format skala dengan jawaban “ya”
dan “Tidak”. Skoring dilakukan hanya pada respon “Ya” dengan memberikan nilai
sebesar nilai S pada item yang dijawab “Ya”, sementara yang menjawab “Tidak”
tidak diberi skor (nilai 0).
Untuk
keperluan interpretasi, hitunglah total nilai kemudian hitung mean (rata-rata)
dari nilai S yang dijawab “Ya”, selanjutnya nilai mean (rata-rata) tersebut
letakkan pada rentang skala 1 s/d 11. Maka di situlah posisi subyek untuk
variabel yang anda ukur.
2.
Alat
Ukur Observasi
Menurut
Sudijono (2009) observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang
dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.
Tujuan utama
observasi antara lain :
a. Mengumpulkan
data dan inforamsi mengenai suatu fenomena, baik yang berupa peristiwa maupun
tindakan, baik dalam situasi yang sesungguhnya maupun dalam situasi buatan
b. Mengukur
perilaku kelas (baik perilaku guru maupun peserta didik), interaksi antara
peserta didik dan guru, dan faktor-faktor yang dapat diamati lainnya, terutama kecakapan
sosial (social skill)
c. Menilai
tingkah laku individu atau proses yang tejadi dalam situasi sebenarnya maupun
situasi yang sengaja dibuat.
Dalam
evaluasi pembelajaran, observasi dapat digunakan untuk menilai proses dan hasil
belajar peserta didik pada waktu belajar belajar, berdiskusi, mengerjakan
tugas, dan lain-lain. Selain itu, observasi juga dapat digunakan untuk menilai
penampilan guru dalam mengajar, suasana kelas, hubungan sosial sesama, hubungan
sosial sesama peserta didik, hubungan guru dengan peserta didik, dan perilaku
sosial lainnya
Selain itu,
observasi mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
a. Mempunyai
arah dan tujuan yang jelas.
b. Bersifat
ilmiah, yaitu dilakukan secara sistematis, logis, kritis, objektif, dan
rasional.
c. Terdapat
berbagai aspek yang akan diobservasi.
d. Praktis
penggunaannya.
Jika
kita melihat dari dari kerangka kerjanya, observasi dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
a. Observasi
berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai observer telah ditetapkan
terlebih dahulu berdasarkan kerangka kerja yang berisi faktor yang telah diatur
kategorisasinya. Isi dan luas materi observasi telah ditetapkan dan dibatasi
dengan jelas dan tegas.
b. Observasi
tak berstruktur, yaitu semua kegiatan guru sebagai obeserver tidak dibatasi
oleh suatu kerangka kerja yang pasti. Kegiatan obeservasi hanya dibatasi oleh
tujuan observasi itu sendiri.
Apabila dilihat
dari teknis pelaksaannya, observasi dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu:
a. Observasi
langsung, observasi yang dilakukan secara langsung terhadap objek yang
diselidiki.
b. Observasi
tak langsung, yaitu observasi yang dilakukan melalui perantara, baik teknik
maupun alat tertentu.
c. Observasi
partisipasi, yaitu observasi yang dilakukan dengan cara ikut ambil bagian atau
melibatkan diri dalam situasi objek yang diteliti.
Sebagai
instrumen evaluasi yang lain, observasi secara umum mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Menurut Arifin (2009) Kelebihan dan kekurangan observasi antara
lain:
a. Kelebihan
1) Observasi
merupakan alat untuk mengamati berbagai macam fenomena.
2) Observasi
cocok untuk mengamati perilaku peserta didik maupun guru yang sedang melakukan
suatu kegiatan.
3) Banyak
hal yang tidak dapat diukur dengan tes, tetapi lebih tepat dengan observasi.
4) Tidak
terikat dengan laporan pribadi.
b. Kekurangan
1) Seringkali
pelaksanaan observasi terganggu oleh keadaan cuaca, bahkan ada kesan yang
kurang menyenangkan dari observer ataupun observasi itu sendiri.
2) Biasanya
masalah pribadi sulit diamati.
3) Jika
yang diamati memakan waktu lama, maka observer sering menjadi jenuh.
Adapaun
langkah-langkah penyusunan pedoman observasi menurut Arifin (2009)
adalah sebagai
berikut:
a. Merumuskan
tujuan observasi
b. Membuat
lay-out atau kisi-kisi observasi
c. Menyusun
pedoman observasi
d. Menyusun
aspek-aspek yang akan diobservasi, baik yang berkenaan proses belajar peserta
didik dan kepribadiaanya maupun penampilan guru dalam pembelajaran
e. Melakukan
uji coba pedoman observasi untuk melihat kelemahan-kelemahan pedoman observasi
f. Merifisi
pedoman obsevasi berdasarkan hasil uji coba
g. Melaksanakan
observasi pada saat kegiatan berlangsung
h. Mengolah
dan menafsirkan hasil observasi
3.
Wawancara
Menurut
Sudijono (2009) wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang
dilaksanakan dengan melakukan Tanya jawab lisan secara sepihak, berhadapan
muka, dan dengan arah tujuan yang terlah ditentukan. Sedangkan menurut Bahri
(2008) Wawancara adalah komunikasi langsung antara yang mewancarai dan yang
diwancarai. Dari pengertian tersebut kita dapat simpulkan bahwa wawancara
adalah suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan
sumber.
Komunikasi
tersebut dilakukan dengan dialog (Tanya jawab) secara lisan, baik langsung
maupun tidak langsung (menggunakan alat komunikasi). Ada dua jenis wawancara
yang dapat dipergunakan sebagai alat dalam evaluasi, yaitu:
a. Wawancara
terpimpin (guided interview), biasanya juga dikenal dengan istilah
wawancara berstruktur (structured interview) atau wawancara sistematis (systematic
interview), dimana wawancara ini selalu dilakukan oleh evaluator dengan
cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu dalam
bentuk panduan wawancara (interview guide). Jadi, dalam hal ini
responden pada waktu menjawab pertanyaan tinggal memilih jawaban yang sudah
disediakan.
b. Wawancara
tidak terpimpin (un-guided interview), biasanya juga dikenal dengan
istilah wawancara sederhana (simple interview) atau wawancara tidak
sistematis (nonsystematic interview) atau wawancara bebas, diamana
responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi
oleh patokan-patokan yang telah dibuat oleh evaluator. Dalam wawancara bebas,
pewancara selaku evaluator mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada peserta
didik atau orang tuanya tanpa dikendalikan oleh pedoman tertentu, mereka dengan
bebas mengemukakan jawabannya. Hanya saja pada saat menganilis dan menarik
kesimpulan hasil wawancara bebas ini evaluator akan dihadapkan
kesulitan-kesulitan, terutama apabila jawaban mereka beraneka ragam. Mengingat
bahwa daya ingat manusia itu dibatasi ruang dan waktu, maka sebaiknya hasil
wawancara itu dicatat seketika.
Dalam
melaksanakan wawancara, ada beberapa hal yang harus diperhatikan evaluator
dalam pelaksanaan wawancara antara lain ; evaluator harus mendengar, mengamati,
menyelidiki, menanggapi, dan mencatat apa yang sumber berikan. Sehingga
informasi yang disampaikan oleh narasumber tidak hilang dan informasi yang
dibutuhkan dapat ditangkap dengan baik. Selain itu evaluator harus meredam
egonya dan melakukan pengendalian tersembunyi. Kadang kala banyak evaluator yang
tidak dapat meredam egonya sehingga unsur subyektivitas muncul pada saat
menganalisis hasil wawancara yang telah dilaksanakan.
Menurut Zainal
(2009) ada 3 tujuan dalam melaksanakan wawancara yakni :
a. Untuk
memperoleh informasi secara langsung guna menjelaskan suatu hal atau situasi
dan kondisi tertentu.
b. Untuk
melengkapi suatu penyelidikan ilmiah.
c. Untuk
memperoleh data agar dapat mempengaruhi situasi atau orang tertentu.
Berbeda
dengan observasi, wawancara memiliki kelebihan antara lain ; (1) dapat
secara luwes
mengajukan pertanyaan sesuai dengan situasi yang dihadapi pada saat itu ; (2)
mengetahui perilaku nonverbal, misalnya rasa suka, tidak suka atau perilaku
lainnya pada saat pertanyaan diajukan dan dijawab oleh sumber ; (3) Pertanyaan
dapat diajukan secara berurutan sehingga sumber dapat memahami maksud
penelitian secara baik, sehingga dapat menjawab pertanyaan dengan baik pula ;
(4) Jawaban tidak dibuat oleh orang lain tetapi benar oleh sumber yang telah
ditetapkan ; (5) Melalui wawancara, dapat ditanyakan hal-hal yang rumit dan
mendetail.
Namun,
wawancara juga memiliki kelemahan antara lain ; (1) memerlukan banyak waktu dan
tenaga dan juga mungkin biaya ; (2) dilakukan secara tatap muka, namun
kesalahan bertanya dan kesalahan dalam menafsirkan jawaban, masih bisa terjadi
; (3) keberhasilan wawancara sangat tergantung dari kepandaian pewawancara.
4.
Kuosioner
(Angket)
Pada
dasarnya, angket adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang
yang akan diukur (responden). Pada umumnya tujuan penggunaan angket atau
kuesioner dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk memperoleh data
mengenai latar belakang peserta didik sebagai salah satu bahan dalam
menganalisis tingkah laku dan proses belajar mereka. Hal ini juga disampaikan
oleh Yusuf (dalam Arniatiu, 2010) yang menyatakan kuisioner adalah suatu
rangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang dinilai dengan maksud
untuk mendapatkan data. Selain itu, data yang dihimpun melalui angket biasanya
juga berupa data yang berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
siswa dalam mengikuti pelajaran. Misalnya: cara belajar, bimbingan guru dan
orang tua, sikap belajar dan lain sebagainya. Angket pada umumnya dipergunakan
untuk menilai hasil belajar pada ranah afektif. Angket dapat disajikan dalam
bentuk pilihan ganda atau skala sikap. Adapun beberapa tujuan dari pengembangan
angket adalah :
a. Mengumpulkan
informasi sebanyak mungkin dari siswa tentang pembelajaran matematika.
b. Membimbing
siswa untuk belajar efektif sampai tingkat penguasaan tertentu.
c. Mendorong
siswa untuk lebih kreatif dalam belajar.
d. Membantu
anak yang lemah dalam belajar.
e. Untuk
mengetahui kesulitan – kesulitan siswa dalam pembelajaran matematika.
Jenis-jenis
kuesioner (menurut Yusuf , dalam Artiatiu, 2010)
a. Kuesioner
dari segi isi dapat dibedakan atas 4 bagian yaitu:
1) Pertanyaan
fakta adalah pertanyaan yang menanyakan tentang fakta antara lain seperti
jumlah sekolah, jumlah jam belajar, dll.
2) Pertanyaan
perilaku adalah apabila guru menginginkan tingkah laku seseorang siswa dalam
kegiatan di sekolah atau dalam proses belajar mengajar.
3) Pertanyaan
informasi adalah apabila melalui instrument itu guru ingin mengungkapkan
berbagai informasi atau menggunakan fakta.
4) Pertanyaan
pendapat dan sikap adalah kuesioner yang berkaitan dengan perasaan, kepercayaan
predisposisi, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan objek yang dinilai.
b. Kuesioner
dari jenisnya dapat dibedakan atas 3 yaitu :
1) Tertutup,
kuesioner yang alternative jawaban sudah ditentukan terlebih dahulu. Responden
hanya memilih diantara alternative yang telah disediakan.
2) Terbuka,
kuesioner ini memberikan kesempatan pada siswa untuk mengemukakan pendapatnya
tentang sesuatu yang ditanyakan sesuai dengan pandangan dan kemampuannya.
Alternative jawaban tidak disediakan. Mereka menciptakan sendiri jawabannya dan
menyusun kalimat dalam bahasa sendiri
3) Tertutup
dan terbuka, kuesioner ini merupakan gabungan dari kedua bentuk yang telah
dibicarakan. Yang berarti bahwa dalam bentuk ini, disamping disediakan
alternative, diberi juga kesempatan keoada siswa/mahasiswa untuk mengemukakan
alternative jawabannya sendiri, apabila alternative yang disediakan tidak
sesuai dengan keadaan yang bersangkutan.
c. Kuesioner
dari segi yang menjawab dapat dibedakan atas 2, yaitu :
1) Kuesioner
langsung, yaitu kuesioner yang langsung dijawab/diisi oleh individu yang akan
diminta keterangannya.
2) Kuesioner
tidak langsung, yaitu kuesioner yang diisi oleh orang lain, (orang yang tidak
diminta keterangannya).
d. Kuesioner
dari sisi bagaimana kuesioner itu diadministrasikan pada responden dapat
dibedakan atas 2, yaitu :
1) Kuesioner
yang dikirimkan (Mail Questionaire)
2) Kuesioner
yang dapat dibagikan langsung pada responden.
Ada beberapa
hal yang menjadi kelebihan angket sebagai instrument evaluasi, diantaranya
yaitu:
a. Dengan
angket kita dapat memperoleh data dari sejumlah anak yang banyak yang hanya
membutuhkan waktu yang sigkat.
b. Setiap
anak dapat memperoleh sejumlah pertanyaan yang sama
c. Dengan
angket anak pengaruh subjektif dari guru dapat dihindarkan
Sedangkan
kelemahan angket, antara lain:
a. Pertanyaan
yang diberikan melalui angket adalah terbatas, sehingga apabila ada hal-hal
yang kurang jelas maka sulit untuk diterangkan kembali
b. Kadang-kadang
pertanyaan yang diberikan tidak dijawab oleh semua anak, atau mungkin dijawab
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena anak merasa bebas
menjawab dan tidak diawasi secara mendetail.
c. Ada
kemungkinan angket yang diberikan tidak dapat dikumpulkan semua, sebab banyak
anak yang merasa kurang perlu hasil dari angket yang diterima, sehingga tidak
memberikan kembali angketnya.
5.
Studi
Kasus
Studi
kasus adalah mempelajari individu dalam proses tertentu secara terus menerus
untuk melihat perkembangannya (Djamarah : 2000). Misalnya peserta didik yang
sangat cerdas, sangat lamban, sangat rajin, sangat nakal, atau kesulitan dalam
belajar. Untuk itu guru menjawab tiga pertanyaan inti dalam studi kasus, yaitu:
a. Mengapa
kasus tersebut bisa terjadi?
b. Apa yang
dilakukan oleh seseorang dalam kasus tersebut?
c. Bagaimana
pengaruh tingkah laku seseorang terhadap lingkungan?
Studi
kasus sering digunakan dalam evaluasi, bimbingan, dan penelitian. Studi ini
menyangkut integrasi dan penggunaan data yang komprehensif tentang peserta
didik sebagai suatu dasar untuk melakukan diagnosis dan mengartikan tingkah laku
peserta didik tersebut. Dalam melakukan studi kasus, guru harus terlebih dahulu
mengumpulkan data dari berbagai sumber dengan menggunakan berbagai teknik dan
alat pengumpul data. Salah satu alat yang digunakan adalah depth-interview ,
yaitu melakukan wawancara secara mendalam, jenis data yang diperlukan antara
lain, latar belakang kehidupan, latar belakang keluarga, kesanggupan dan
kebutuhan, perkembangan kesehatan, dan sebagainya.
Namun,
seperti halnya alat evaluasi yang lain, studi kasus juga mempunyai kelebihan
dan kelemahan. Kelebihannya adalah dapat mempelajari seseorang secara mendalam
dan komprehensif, sehingga karakternya dapat diketahui selengkap-lengkapnya.
Sedangkan kelemahannya adalah hasil studi kasus tidak dapat digeneralisasikan,
melainkan hanya berlaku untuk peserta didik itu saja.
6.
Daftar
Cocok
Sejumlah
pernyataan (biasanya singkat), dimana sasaran yang dinilai membubuhkan tanda
centang (√) pada tempat yang telah disediakan.
7.
Riwayat
Hidup
Dengan mempelajari daftar riwayat hidup dari sasaran,
pengukur akan mampu mengetahui sejauh mana kepribadian, sikap dan kebiasaan
dari sasaran.
8.
Sosiometri
Adalah suatu
metode yang dipakai dalam mencari tahu seberapa besar hubungan sosial di dalam
suatu kelompok. Dalam sosiometri, akan ada beberapa hasil yang ditemukan antara
lain:
a. Star
(orang yang paling popular atau digemari)
b. Isolate
(orang yang paling tidak populer)
c. Pair
(dua orang yang saling berhubungan sosial dengan erat)
d. Triangle
(tiga orang yang saling berhubungan sosial dengan erat)
e. Clique
(lebih dari 3 orang yang berhubungan sosial dengan erat)